Search This Blog
Sunday, August 7, 2016
NAKULA
Resminya, Nakula atau Pinten adalah putra dari Prabu Pandu dan Dewi Madrim. Namun karena Prabu Pandu tak dapat behubungan tubuh dengan istrinya, maka Dewi Madrim yang telah diajari ilmu
Adityaredhaya oleh Dewi Kunti memanggil dewa tabib kayangan yang juga dikenal sebagai dewa kembar. Batara Aswan-Aswin. Nakula adalah putra dar Batara Aswan sedang Sadewa adalah putra dari Batara Aswin.
Raden Nakula memiliki perwatakan jujur, setia, taat pada orang tua dan tahu membalas budi serta dapat menjaga rahasia.
Setelah 12 tahun menjadi buangan di hutan, Nakula beserta saudara-saudaranya menyamar di negri Wirata. Di sana Nakula menjadi seorang pelatih kuda kerajaan bernama Darmagrantika.
Aji-aji yang dimiliki oleh Nakula adalah Aji Pranawajati yang berhasiat tak dapat lupa akan hal apapun. Aji ini ia dapat dari Ditya Sapujagad, seorang perwira Kerajaan Mertani di bawah kekuasaan Prabu Yudistira yang menyatu dalam tubuhnya. Nakula pun mendapat wilayah yang dulu diperintah oleh Sapujagad yaitu Sawojajar. Nakula juga memiliki cupu yang berisi Banyu Panguripan dari Batara Indra, cupu berisi Tirta Manik yang merupakan air kehidupan dari mertuannya Begawan Badawanganala.
Raden Nakula menikah dengan Dewi Retna Suyati, putri dari Prabu Kridakerata dari Awu-Awu Langit dan berputra Bambang Pramusinta dan Dewi Pramuwati. Ia juga menikah dengan Dewi Srengganawati, putri Dari Begawan Badawanganala dari Gisik Samudra berputri Dewi Sritanjung. Saat perang Baratayuda berlangsung, Nakula dan Sadewa diutus Prabu Kresna untuk menemui Prabu Salya dengan membawa patrem (semacam pisau kecil) dan minta dibunuh karena tidak tahan melihat saudara-saudaranya mati karena tak ada satupun manusia yang sanggup menandingi Aji Candabirawa Prabu Salya. Prabu Salya yang terharu lalu memberikan rahasia kelemahannya kepada si kembar bahwa yang sanggup membunuhnya adalah Puntadewa yang berdarah putih.
Setelah Baratayuda selesai, Nakula diangkat menjadi raja di Mandrapati menggantikan Prabu Salya karena semua putranya tewas dalam perang Baratayuda. Diceritakan bahwa Nakula mati moksa bersama empat saudaranya dan Dewi Drupadi.
Nakula (Sansekerta: नकुल, Nakula), adalah seorang tokoh protagonis dari wiracarita Mahabharata. Ia merupakan putera Dewi Madri, kakak ipar Dewi Kunti. Ia adalah saudara kembar Sadewa dan dianggap putera Dewa Aswin, Dewa tabib kembar.
Menurut kitab Mahabharata, Nakula sangat tampan dan sangat elok parasnya. Menurut Dropadi, Nakula merupakan suami yang paling tampan di dunia. Namun, sifat buruk Nakula adalah membanggakan ketampanan yang dimilikinya. Hal itu diungkapkan oleh Yudistira dalam kitab Prasthanikaparwa.
Secara harfiah, kata nakula dalam bahasa Sansekerta merujuk kepada warna Ichneumon, sejenis tikus atau binatang pengerat dari Mesir. Nakula juga dapat berarti “cerpelai”, atau dapat juga berarti “tikus benggala”. Nakula juga merupakan nama lain dari Dewa Siwa.
Menurut Mahabharata, si kembar Nakula dan Sadewa memiliki kemampuan istimewa dalam merawat kuda dan sapi. Nakula digambarkan sebagai orang yang sangat menghibur hati. Ia juga teliti dalam menjalankan tugasnya dan selalu mengawasi kenakalan kakaknya, Bima, dan bahkan terhadap senda gurau yang terasa serius. Nakula juga memiliki kemahiran dalam memainkan senjata pedang.
Saat para Pandawa mengalami pengasingan di dalam hutan, keempat Pandawa (Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa) meninggal karena meminum air beracun dari sebuah danau. Ketika sesosok roh gaib memberi kesempatan kepada Yudistira untuk memilih salah satu dari keempat saudaranya untuk dihidupkan kembali, Nakula-lah dipilih oleh Yudistira untuk hidup kembali. Ini karena Nakula merupakan putera Madri, dan Yudistira, yang merupakan putera Kunti, ingin bersikap adil terhadap kedua ibu tersebut. Apabila ia memilih Bima atau Arjuna, maka tidak ada lagi putera Madri yang akan melanjutkan keturunan.
Ketika para Pandawa harus menjalani masa penyamaran di Kerajaan Wirata, Nakula menyamar sebagai perawat kuda dengan nama samaran “Grantika”. Nakula turut serta dalam pertempuran akbar di Kurukshetra, dan memenangkan perang besar tersebut.
Dalam kitab Prasthanikaparwa, yaitu kitab ketujuh belas dari seri Astadasaparwa Mahabharata, diceritakan bahwa Nakula tewas dalam perjalanan ketika para Pandawa hendak mencapai puncak gunung Himalaya. Sebelumnya, Dropadi tewas dan disusul oleh saudara kembar Nakula yang bernama Sadewa. Ketika Nakula terjerembab ke tanah, Bima bertanya kepada Yudistira, “Kakakku, adik kita ini sangat rajin dan penurut. Ia juga sangat tampan dan tidak ada yang menandinginya. Mengapa ia meninggal sampai di sini?”. Yudistira yang bijaksana menjawab, “Memang benar bahwa ia sangat rajin dan senang menjalankan perintah kita. Namun ketahuilah, bahwa Nakula sangat membanggakan ketampanan yang dimilikinya, dan tidak mau mengalah. Karena sikapnya tersebut, ia hanya hidup sampai di sini”. Setelah mendengar penjelasan Yudistira, maka Bima dan Arjuna melanjutkan perjalanan mereka. Mereka meninggalkan jenazah Nakula di sana, tanpa upacara pembakaran yang layak, namun arwah Nakula mencapai kedamaian.
Nakula dalam pewayangan Jawa
Nakula dalam pedalangan Jawa disebut pula dengan nama Pinten (nama tumbuh-tumbuhan yang daunnya dapat dipergunakan sebagai obat). Ia merupakan putera keempat Prabu Pandudewanata, raja negara Hastinapura dengan permaisuri Dewi Madri, puteri Prabu Mandrapati dengan Dewi Tejawati, dari negara Mandaraka. Ia lahir kembar bersama adiknya, Sahadewa atau Sadewa. Nakula juga menpunyai tiga saudara satu ayah, putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti, dari negara Mandura bernama Puntadewa (Yudistira), Bima alias Werkudara dan Arjuna
Nakula adalah titisan Batara Aswin, Dewa tabib. Ia mahir menunggang kuda dan pandai mempergunakan senjata panah dan lembing. Nakula tidak akan dapat lupa tentang segala hal yang diketahui karena ia mepunyai Aji Pranawajati pemberian Ditya Sapujagad, Senapati negara Mretani. Ia juga mempunyai cupu berisi “Banyu Panguripan” atau “Air kehidupan” pemberian Bhatara Indra.
Nakula mempunyai watak jujur, setia, taat, belas kasih, tahu membalas guna dan dapat menyimpan rahasia. Ia tinggal di kesatrian Sawojajar, wilayah negara Amarta. Nakula mempunyai dua orang isteri yaitu:
- Dewi Sayati puteri Prabu Kridakirata, raja negara Awuawulangit, dan memperoleh dua orang putera masing-masing bernama Bambang Pramusinta dan Dewi Pramuwati.
- Dewi Srengganawati, puteri Resi Badawanganala, kura-kura raksasa yang tinggal di sungai Wailu (menurut Purwacarita, Badawanangala dikenal sebagai raja negara Gisiksamodra alias Ekapratala) dan memperoleh seorang putri bernama Dewi Sritanjung. Dari perkawinan itu Nakula mendapat anugrah cupu pusaka berisi air kehidupan bernama Tirtamanik.
Setelah selesai perang Bharatayuddha, Nakula diangkat menjadi raja negara Mandaraka sesuai amanat Prabu Salya kakak ibunya, Dewi Madrim. Akhir riwayatnya diceritakan, Nakula mati moksa di gunung Himalaya bersama keempat saudaranya.
Tuesday, August 2, 2016
SEMAR RESPATI
Semar (Betara Ismaya) seorang Dewa, saudara Betara Manikmaya (Guru), anak Sang Hyang Tunggal.
Sang Hyang Tunggal menganggap Semarlah yang tua dan meramalkan dia takkan bisa bergaul dengan para Dewa dan bertitah, supaya ia tinggal di dunia untuk mengasuh keturunan Dewa-dewa yang berwujud dan bersifat manusia. Sesudah Semar tinggal di Marcapada (dunia), berobahlah parasnya yang elok menjad sangat jelek Segala tanda kejelekan pada tubuh manusia terdapat pada Semar, sehingga Semar dianggap sebagai manusia biasa saja.
Semar selalu mengikuti dan mengemong keturunan Dewa yang bernama Pendawa. Semar berwatak sabar, pengasih, penyayang dan tak pernah susah. Tetapi kalau dia sudah marah, tak ada seorang pun yang bisa mencegahnya dan Dewa-dewa pun dianggapnya lebih rendah daripada telapak kakinya. Tanda-tanda pada waktu ia marah ialah bercucurnya air matanya, mengalir dengan derasnya ingusnya dan keluar tak berhenti-berhentinya kentutnya, selagi ia berteriak-teriak kepada Dewa, meminta kembali kebagusan rupanya.
Semar selalu merendahkan diri terhadap anak-anak asuhannya dan berbahasa lemah-lembut sebagaimana layaknya seorang hamba, bila bercakap-cakap dengan tuannya. Tetapi jika bergaul dengan para Dewa, ia bersikap seperti menghadapi orang-orang sejajarnya.
Semar beristrikan Dewi Kanastren dan mempunyai sepuluh orang anak yang semuanya adalah Dewa.
Semar melambangkan akhlak manusia sesejati-sejatinya.
Semar bermata rembesan (sakit mata), berhidung nyunti (seperti umbi selederi), bibir bawah mulutnya agak panjang, berjambul, berpusar burut, bergelang, kedua tangannya bisa digerakkan, tetapi selalu dibelakangkan. Berpantat besar menjolok ke belakang.
Semar cengeng, gampang menangis. Kalau ksatria yang diiringkannya menghadapi bahaya, menangislah ia, tetapi menangisnya berlagu dengan menggunakan wangsalan, berkata-kata samar-samar dan mengandung arti seperti misalnya dalam kata-kata: roning mlinjo (nama daun mlinjo ialah aso). Lalu kata-kata roning mlinjo tadi disambung dengan katakata: sampun sayah nyuwun ngaso, sudah penat mohon mengaso.
Pada waktu menangis menghadapi bahaya, berkataiah Semar sebagai berikut: Lae bapa benderaku, mangga Raden sami nyenthe jurang”, senthe jurang berati: kajar, sebangsa tales yang tumbuh di jurang. Dan disambunglah kata-kata tersebut dengan: Mangga Raden sami lumajar yang berarti. Marilah, Raden kita lan bersama-sama.
Di dalam lakon Srikandi berguru memanah, pada suatu ketika Arjuna keliru mendukung Dewi Wara Sumbadra yang sedang marah, karena dikiranya Sumbadra adalah Srikandi dan waktu itu Arjuna sedang tergila-gila pada Srikandi. Salah bopong ini menyebabkan murkanya Sumbadra dan berkatalah ia kepada Anjuna, “Ayo lekas, pulangkan badanku ke Dwarawati. Datangku ke sini dulu lantaran kamu. Aku tak tergesa-gesa menyerahkan badanku kepadamu, orang Madukara dan hanya menyerahkannya karena kamu menjemputnya.”
Peristiwa ini terjadi karena Semar, sebab Semarlah yang membenitahukan tempat Srikandi kepada Sumbadra. Lalu pada gilirannya marahlah Arjuna pada Semar dan sesudah Semar kena marah Arjuna, berkatalah dia, “Selagi Raden yang berpenglihatan terang bisa berbuat keliru, lebih-lebih hamba yang bermata kabur, tentu lebih berkemungkinan untuk berbuat salah.
Demikianlah sekedar gambaran mengenai tingkah laku Raden Arjuna.
Sekarang pun peristiwa seperti ini bisa terjadi juga.
Sewaktu dimainkan di waktu sore, wayang Semar yang digunakan ialah yang mukanya dan seluruh badannya bercat prada dan sewaktu dimainkan menjelang pagi yang digunakan ialah wayang yang mukanya bercat putih dan badannya bercat hitam. Di mana Semar dimainkan bersama dengan kedua orang anaknya, Gareng dan Petruk, maka Semar berwanda: 1. Gilut, 2. Dunuk, 3. Watu, 4. Mega, 5. Dukun, 6. Miling, dan 7. Brebes.
Konon Semar yang berwanda demikian adalah karangan Sri Sultan Agung di Mataram.
Adapun Semar yang dimainkan dengan Bagong, berwanda Brebes dan Jetung.
Sumber : Sejarah Wayang Purwa - Hardjowirogo - PN Balai Pustaka - 1982
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10......
Sang Hyang Tunggal menganggap Semarlah yang tua dan meramalkan dia takkan bisa bergaul dengan para Dewa dan bertitah, supaya ia tinggal di dunia untuk mengasuh keturunan Dewa-dewa yang berwujud dan bersifat manusia. Sesudah Semar tinggal di Marcapada (dunia), berobahlah parasnya yang elok menjad sangat jelek Segala tanda kejelekan pada tubuh manusia terdapat pada Semar, sehingga Semar dianggap sebagai manusia biasa saja.
Semar selalu mengikuti dan mengemong keturunan Dewa yang bernama Pendawa. Semar berwatak sabar, pengasih, penyayang dan tak pernah susah. Tetapi kalau dia sudah marah, tak ada seorang pun yang bisa mencegahnya dan Dewa-dewa pun dianggapnya lebih rendah daripada telapak kakinya. Tanda-tanda pada waktu ia marah ialah bercucurnya air matanya, mengalir dengan derasnya ingusnya dan keluar tak berhenti-berhentinya kentutnya, selagi ia berteriak-teriak kepada Dewa, meminta kembali kebagusan rupanya.
Semar selalu merendahkan diri terhadap anak-anak asuhannya dan berbahasa lemah-lembut sebagaimana layaknya seorang hamba, bila bercakap-cakap dengan tuannya. Tetapi jika bergaul dengan para Dewa, ia bersikap seperti menghadapi orang-orang sejajarnya.
Semar beristrikan Dewi Kanastren dan mempunyai sepuluh orang anak yang semuanya adalah Dewa.
Semar melambangkan akhlak manusia sesejati-sejatinya.
Semar bermata rembesan (sakit mata), berhidung nyunti (seperti umbi selederi), bibir bawah mulutnya agak panjang, berjambul, berpusar burut, bergelang, kedua tangannya bisa digerakkan, tetapi selalu dibelakangkan. Berpantat besar menjolok ke belakang.
Semar cengeng, gampang menangis. Kalau ksatria yang diiringkannya menghadapi bahaya, menangislah ia, tetapi menangisnya berlagu dengan menggunakan wangsalan, berkata-kata samar-samar dan mengandung arti seperti misalnya dalam kata-kata: roning mlinjo (nama daun mlinjo ialah aso). Lalu kata-kata roning mlinjo tadi disambung dengan katakata: sampun sayah nyuwun ngaso, sudah penat mohon mengaso.
Pada waktu menangis menghadapi bahaya, berkataiah Semar sebagai berikut: Lae bapa benderaku, mangga Raden sami nyenthe jurang”, senthe jurang berati: kajar, sebangsa tales yang tumbuh di jurang. Dan disambunglah kata-kata tersebut dengan: Mangga Raden sami lumajar yang berarti. Marilah, Raden kita lan bersama-sama.
Di dalam lakon Srikandi berguru memanah, pada suatu ketika Arjuna keliru mendukung Dewi Wara Sumbadra yang sedang marah, karena dikiranya Sumbadra adalah Srikandi dan waktu itu Arjuna sedang tergila-gila pada Srikandi. Salah bopong ini menyebabkan murkanya Sumbadra dan berkatalah ia kepada Anjuna, “Ayo lekas, pulangkan badanku ke Dwarawati. Datangku ke sini dulu lantaran kamu. Aku tak tergesa-gesa menyerahkan badanku kepadamu, orang Madukara dan hanya menyerahkannya karena kamu menjemputnya.”
Peristiwa ini terjadi karena Semar, sebab Semarlah yang membenitahukan tempat Srikandi kepada Sumbadra. Lalu pada gilirannya marahlah Arjuna pada Semar dan sesudah Semar kena marah Arjuna, berkatalah dia, “Selagi Raden yang berpenglihatan terang bisa berbuat keliru, lebih-lebih hamba yang bermata kabur, tentu lebih berkemungkinan untuk berbuat salah.
Demikianlah sekedar gambaran mengenai tingkah laku Raden Arjuna.
Sekarang pun peristiwa seperti ini bisa terjadi juga.
Sewaktu dimainkan di waktu sore, wayang Semar yang digunakan ialah yang mukanya dan seluruh badannya bercat prada dan sewaktu dimainkan menjelang pagi yang digunakan ialah wayang yang mukanya bercat putih dan badannya bercat hitam. Di mana Semar dimainkan bersama dengan kedua orang anaknya, Gareng dan Petruk, maka Semar berwanda: 1. Gilut, 2. Dunuk, 3. Watu, 4. Mega, 5. Dukun, 6. Miling, dan 7. Brebes.
Konon Semar yang berwanda demikian adalah karangan Sri Sultan Agung di Mataram.
Adapun Semar yang dimainkan dengan Bagong, berwanda Brebes dan Jetung.
Sumber : Sejarah Wayang Purwa - Hardjowirogo - PN Balai Pustaka - 1982
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10......
Subscribe to:
Posts (Atom)