Search This Blog

Saturday, September 28, 2019

Ki Ageng Selo-Dandhanggulo V

Kawruhana pambengkasing kardi,
Pakuning rat lélananging jagad,
Pambekasing jagad kabeh,
Amung budi rahayu,
Sétya tuhu marang Hyang Widi.
Warastra pira-pira,
Kang hanggung ginunggung,
Kasor dening tyas raharja.
Harjaning rat punika pakuning bumi,
Kabeh kapiyarsakna...................
*) Ketahuilah penyelesai segala kuwajiban,
Poros Alam, si Jantan didunia,
Pembebas seluruh dunia,
Tak lain ialah yang berbudi rahayu,
Setia sungguh kepada Yang Maha Kuasa.
Senjata ber-macam-macam,
Yang selalu dipuji-puji,
Kalah dengan hati lurus.
Keadilan alam ialah pusat peredaran bumi,
Dengarkanlah semua ini.....................!

1     2     3     4     5     6     7     8     9     10......

Sunday, September 15, 2019

Batara Yamadipati

Batara Yamadipati atau Sang hyang Yamadipati adalah dewa pencabut nyawa. Dalam pewayangan, Batara Yamadipati adalah putera Batara Ismaya alias Semar dengan Dewi Kanastri atau Dewi Kanastren. Namun dalam kitab Mahabarata, Batara Yamadipati adalah putera Batara Surya.

Ia juga disebut Batara Petraraja atau Yamakingkarapati. Petra artinya adalah neraka atau raja neraka dan Kingkara berarti makhluk penjaga neraka.

Istrinya bernama Dewi Mumpuni, seorang bidadari cantik pemberian batara Guru. Dewi Mumpuni sebenarnya tidak mencintai Batara Yamadipati. Ia pun tidak merasa bahagia bersuamikan dewa yang berwajah buruk dan menakutkan. Oleh karena itu, Dewi Mumpuni menjalin cinta dengan Bambang Nagatatmala, putra Sang Hyang Antaboga. Akibat skandal itu, terjadilah keonaran di kahyangan. Akhirnya, Bathara Yamadipati rela melepaskan Dewi Mumpuni untuk diperistri Nagatatmala.
Dengan kepergian isterinya, membuat Batara Yamadipati sedih. Karenanya saat berjumpa dengan Dewi Sawitri yang amat mencintai dan setia dengan suaminya, Setiawan, ia sangat kagum dan hormat.

Karena kagum dengan kesetian wanita itu, Yamadipati dengan kewenangannya membatalkan tugasnya untuk mencabut nyawa Setiawan, suami Sawitri. Bahkan Batara Yamadipati memeberi berkah pada pasangan Sawitri-setiawan sehingga mereka berumur panjang dan memiliki 40 orang anak.

Berbeda dengan dewa yang lain, kahyangan Batara yamadipati tidak tetap. Kahyangan itu dibangung oleh Batara Wismakarma, bisa berpindah-pindah sesuai kehendak pemiliknya.
Suatu ketika, Batara yamadipati pernah bertempur melawan dasamuka, raja Alengka. Untuk mengukur kesaktiannya setelah berguru kepada Resi Subali, Dasamuka menaiki Wimana Puspaka membawa pasukannya ke Yamaloka, yakni neraka bagi orang-orang yang selama hidupnya berbuat kejahatan.
Dalam perjalanan, Batara Narada berusaha mencegqah niat Dasamuka. Namun nasihat itu hanya dianggap angin lalu saja oleh Rahwana.

Pertempuran terjadi antara pasukan Alengka dengan para Yamakingkara, makhluk penjaga neraka. Ternyata anak buah Yamadipati tak sangguop menahan serangan pasukan raksasa dari Alengka. Akibatnya, banyak para penghuni neraka yang membantu para raksasa memerangi para Yamakingkara.

Akhirnya, Batara Yamadipati turun ke gelanggang, para raksasa kalang kabut lari pulang ke Alengka. Kini tinggal Dasamuka berhadapan dengan Batara Yamadipati. Perang tanding antara keduanya berlangsung imbang. Karena tidak dapat menahan amarahnya, Batara Yama lalu menyiapkan senjata pamungkas bernama Kaladenda.

Betara Brama yang menyaksikan perang tanding itu buru-buru mencegah, karena jika Kaladenda dilepaskan, bukan hanya dunia yang akan hancur lebur karena kiamat, kahyangan pun akan porak-poranda dibuatnya. Sebagai gantinya, Batara Brama menyerahkan senjata Hamoga untuk digunakan.

Dengan senjata Hamoga itu Batara Yamadipati berhasil mengusir Dasamuka.

1     2     3     4     5     6     7     8     9     10......

Saturday, June 23, 2018

SASTRÅJÉNDRÅ.

"SASTRÅJÉNDRÅ." 
(BSW09102017)

Sastrarjéndra hayuningrat , 
(sastra hati penyelamat dunia) 

Pangruwat barang sakalir , 
(pelebur segala sesuatu) 
Kapungkur sagung rarasan , 
(sejak dulu jadi pembicaraan) 
Ing kawruh tan wontên malih , 
(dalam pengetahuan tiada yg melampaui) 
Wus kawêngku sastradi , 
(sudah terkandung dalam sastra mulia) 
Pungkas-pungkasaning kawruh, 
(puncak dari pengetahuan) 
Ditya diyu raksasa , 
(segala jenis raksasa) 
Myang sato sining wanadri , 
(hingga binatang dan isi lautan) 
Lamun wêruh artiné kang sastrarjéndra. 
(jika mengerti arti dari sang sastra hati)

Rinuwat dèning bathara , 
(diruwat oleh dewa) 
Sampurna patiniréki , 
(sempurna kematiannya) 
Atmane wor lan manusa , 
(jiwanya menyatu dengan manusia) 
Manusa kang wus linuwih , 
(manusia yang luar biasa) 
Yèn manusa udani , 
(jika manusia yg mumpuni) 
Wor lan dèwa patinipun , 
(menyatu dengan dewa matinya) 
Jawata kang minulya , 
(dewa yang dimuliakan) 
Mangkana prabu Sumali , 
(demikianlah Prabu Sumali) 
Duk miyarsa tyasira andhandhang sastra.
(saat mendengar hatinya menyimpan sastra)

1     2     3     4     5     6     7     8     9     10......

Sunday, August 7, 2016

BATARA ANTABOGA & BATARI NAGAGINI

(versi pawukon)
Gambar Candhi di depan yakni senang semadi, meditasi dengan laku seperti pandhita
Pohonnya adalah pohon Wijayakusuma, bagus parasnya, tetapi tidak senang bergaul dengan orang banyak.
Burungnya adalah burung Gogik, pemalu.


1     2     3     4     5     6     7     8     9     10......

NAKULA

Resminya, Nakula atau Pinten adalah putra dari Prabu Pandu dan Dewi Madrim. Namun karena Prabu Pandu tak dapat behubungan tubuh dengan istrinya, maka Dewi Madrim yang telah diajari ilmu
Adityaredhaya oleh Dewi Kunti memanggil dewa tabib kayangan yang juga dikenal sebagai dewa kembar. Batara Aswan-Aswin. Nakula adalah putra dar Batara Aswan sedang Sadewa adalah putra dari Batara Aswin.
Raden Nakula memiliki perwatakan jujur, setia, taat pada orang tua dan tahu membalas budi serta dapat menjaga rahasia.
Setelah 12 tahun menjadi buangan di hutan, Nakula beserta saudara-saudaranya menyamar di negri Wirata. Di sana Nakula menjadi seorang pelatih kuda kerajaan bernama Darmagrantika.

Aji-aji yang dimiliki oleh Nakula adalah Aji Pranawajati yang berhasiat tak dapat lupa akan hal apapun. Aji ini ia dapat dari Ditya Sapujagad, seorang perwira Kerajaan Mertani di bawah kekuasaan Prabu Yudistira yang menyatu dalam tubuhnya. Nakula pun mendapat wilayah yang dulu diperintah oleh Sapujagad yaitu Sawojajar. Nakula juga memiliki cupu yang berisi Banyu Panguripan dari Batara Indra, cupu berisi Tirta Manik yang merupakan air kehidupan dari mertuannya Begawan Badawanganala.

Raden Nakula menikah dengan Dewi Retna Suyati, putri dari Prabu Kridakerata dari Awu-Awu Langit dan berputra Bambang Pramusinta dan Dewi Pramuwati. Ia juga menikah dengan Dewi Srengganawati, putri Dari Begawan Badawanganala dari Gisik Samudra berputri Dewi Sritanjung. Saat perang Baratayuda berlangsung, Nakula dan Sadewa diutus Prabu Kresna untuk menemui Prabu Salya dengan membawa patrem (semacam pisau kecil) dan minta dibunuh karena tidak tahan melihat saudara-saudaranya mati karena tak ada satupun manusia yang sanggup menandingi Aji Candabirawa Prabu Salya. Prabu Salya yang terharu lalu memberikan rahasia kelemahannya kepada si kembar bahwa yang sanggup membunuhnya adalah Puntadewa yang berdarah putih.
Setelah Baratayuda selesai, Nakula diangkat menjadi raja di Mandrapati menggantikan Prabu Salya karena semua putranya tewas dalam perang Baratayuda. Diceritakan bahwa Nakula mati moksa bersama empat saudaranya dan Dewi Drupadi.

Nakula (Sansekerta: नकुल, Nakula), adalah seorang tokoh protagonis dari wiracarita Mahabharata. Ia merupakan putera Dewi Madri, kakak ipar Dewi Kunti. Ia adalah saudara kembar Sadewa dan dianggap putera Dewa Aswin, Dewa tabib kembar.
Menurut kitab Mahabharata, Nakula sangat tampan dan sangat elok parasnya. Menurut Dropadi, Nakula merupakan suami yang paling tampan di dunia. Namun, sifat buruk Nakula adalah membanggakan ketampanan yang dimilikinya. Hal itu diungkapkan oleh Yudistira dalam kitab Prasthanikaparwa.

Secara harfiah, kata nakula dalam bahasa Sansekerta merujuk kepada warna Ichneumon, sejenis tikus atau binatang pengerat dari Mesir. Nakula juga dapat berarti “cerpelai”, atau dapat juga berarti “tikus benggala”. Nakula juga merupakan nama lain dari Dewa Siwa.
Menurut Mahabharata, si kembar Nakula dan Sadewa memiliki kemampuan istimewa dalam merawat kuda dan sapi. Nakula digambarkan sebagai orang yang sangat menghibur hati. Ia juga teliti dalam menjalankan tugasnya dan selalu mengawasi kenakalan kakaknya, Bima, dan bahkan terhadap senda gurau yang terasa serius. Nakula juga memiliki kemahiran dalam memainkan senjata pedang.


Saat para Pandawa mengalami pengasingan di dalam hutan, keempat Pandawa (Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa) meninggal karena meminum air beracun dari sebuah danau. Ketika sesosok roh gaib memberi kesempatan kepada Yudistira untuk memilih salah satu dari keempat saudaranya untuk dihidupkan kembali, Nakula-lah dipilih oleh Yudistira untuk hidup kembali. Ini karena Nakula merupakan putera Madri, dan Yudistira, yang merupakan putera Kunti, ingin bersikap adil terhadap kedua ibu tersebut. Apabila ia memilih Bima atau Arjuna, maka tidak ada lagi putera Madri yang akan melanjutkan keturunan.
Ketika para Pandawa harus menjalani masa penyamaran di Kerajaan Wirata, Nakula menyamar sebagai perawat kuda dengan nama samaran “Grantika”. Nakula turut serta dalam pertempuran akbar di Kurukshetra, dan memenangkan perang besar tersebut.
Dalam kitab Prasthanikaparwa, yaitu kitab ketujuh belas dari seri Astadasaparwa Mahabharata, diceritakan bahwa Nakula tewas dalam perjalanan ketika para Pandawa hendak mencapai puncak gunung Himalaya. Sebelumnya, Dropadi tewas dan disusul oleh saudara kembar Nakula yang bernama Sadewa. Ketika Nakula terjerembab ke tanah, Bima bertanya kepada Yudistira, “Kakakku, adik kita ini sangat rajin dan penurut. Ia juga sangat tampan dan tidak ada yang menandinginya. Mengapa ia meninggal sampai di sini?”. Yudistira yang bijaksana menjawab, “Memang benar bahwa ia sangat rajin dan senang menjalankan perintah kita. Namun ketahuilah, bahwa Nakula sangat membanggakan ketampanan yang dimilikinya, dan tidak mau mengalah. Karena sikapnya tersebut, ia hanya hidup sampai di sini”. Setelah mendengar penjelasan Yudistira, maka Bima dan Arjuna melanjutkan perjalanan mereka. Mereka meninggalkan jenazah Nakula di sana, tanpa upacara pembakaran yang layak, namun arwah Nakula mencapai kedamaian.

Nakula dalam pewayangan Jawa
Nakula dalam pedalangan Jawa disebut pula dengan nama Pinten (nama tumbuh-tumbuhan yang daunnya dapat dipergunakan sebagai obat). Ia merupakan putera keempat Prabu Pandudewanata, raja negara Hastinapura dengan permaisuri Dewi Madri, puteri Prabu Mandrapati dengan Dewi Tejawati, dari negara Mandaraka. Ia lahir kembar bersama adiknya, Sahadewa atau Sadewa. Nakula juga menpunyai tiga saudara satu ayah, putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti, dari negara Mandura bernama Puntadewa (Yudistira), Bima alias Werkudara dan Arjuna
Nakula adalah titisan Batara Aswin, Dewa tabib. Ia mahir menunggang kuda dan pandai mempergunakan senjata panah dan lembing. Nakula tidak akan dapat lupa tentang segala hal yang diketahui karena ia mepunyai Aji Pranawajati pemberian Ditya Sapujagad, Senapati negara Mretani. Ia juga mempunyai cupu berisi “Banyu Panguripan” atau “Air kehidupan” pemberian Bhatara Indra.

Nakula mempunyai watak jujur, setia, taat, belas kasih, tahu membalas guna dan dapat menyimpan rahasia. Ia tinggal di kesatrian Sawojajar, wilayah negara Amarta. Nakula mempunyai dua orang isteri yaitu:
  1. Dewi Sayati puteri Prabu Kridakirata, raja negara Awuawulangit, dan memperoleh dua orang putera masing-masing bernama Bambang Pramusinta dan Dewi Pramuwati.
  2.  Dewi Srengganawati, puteri Resi Badawanganala, kura-kura raksasa yang tinggal di sungai Wailu (menurut Purwacarita, Badawanangala dikenal sebagai raja negara Gisiksamodra alias Ekapratala) dan memperoleh seorang putri bernama Dewi Sritanjung. Dari perkawinan itu Nakula mendapat anugrah cupu pusaka berisi air kehidupan bernama Tirtamanik.
Setelah selesai perang Bharatayuddha, Nakula diangkat menjadi raja negara Mandaraka sesuai amanat Prabu Salya kakak ibunya, Dewi Madrim. Akhir riwayatnya diceritakan, Nakula mati moksa di gunung Himalaya bersama keempat saudaranya.

1     2     3     4     5     6     7     8     9     10......

Tuesday, August 2, 2016

SEMAR RESPATI

Semar (Betara Ismaya) seorang Dewa, saudara Betara Manikmaya (Guru), anak Sang Hyang Tunggal.
Sang Hyang Tunggal menganggap Semarlah yang tua dan meramalkan dia takkan bisa bergaul dengan para Dewa dan bertitah, supaya ia tinggal di dunia untuk mengasuh keturunan Dewa-dewa yang berwujud dan bersifat manusia. Sesudah Semar tinggal di Marcapada (dunia), berobahlah parasnya yang elok menjad sangat jelek Segala tanda kejelekan pada tubuh manusia terdapat pada Semar, sehingga Semar dianggap sebagai manusia biasa saja.
Semar selalu mengikuti dan mengemong keturunan Dewa yang bernama Pendawa. Semar berwatak sabar, pengasih, penyayang dan tak pernah susah. Tetapi kalau dia sudah marah, tak ada seorang pun yang bisa mencegahnya dan Dewa-dewa pun dianggapnya lebih rendah daripada telapak kakinya. Tanda-tanda pada waktu ia marah ialah bercucurnya air matanya, mengalir dengan derasnya ingusnya dan keluar tak berhenti-berhentinya kentutnya, selagi ia berteriak-teriak kepada Dewa, meminta kembali kebagusan rupanya.
Semar selalu merendahkan diri terhadap anak-anak asuhannya dan berbahasa lemah-lembut sebagaimana layaknya seorang hamba, bila bercakap-cakap dengan tuannya. Tetapi jika bergaul dengan para Dewa, ia bersikap seperti menghadapi orang-orang sejajarnya.
Semar beristrikan Dewi Kanastren dan mempunyai sepuluh orang anak yang semuanya adalah Dewa.
Semar melambangkan akhlak manusia sesejati-sejatinya.
Semar bermata rembesan (sakit mata), berhidung nyunti (seperti umbi selederi), bibir bawah mulutnya agak panjang, berjambul, berpusar burut, bergelang, kedua tangannya bisa digerakkan, tetapi selalu dibelakangkan. Berpantat besar menjolok ke belakang.
Semar cengeng, gampang menangis. Kalau ksatria yang diiringkannya menghadapi bahaya, menangislah ia, tetapi menangisnya berlagu dengan menggunakan wangsalan, berkata-kata samar-samar dan mengandung arti seperti misalnya dalam kata-kata: roning mlinjo (nama daun mlinjo ialah aso). Lalu kata-kata roning mlinjo tadi disambung dengan katakata: sampun sayah nyuwun ngaso, sudah penat mohon mengaso.
Pada waktu menangis menghadapi bahaya, berkataiah Semar sebagai berikut: Lae bapa benderaku, mangga Raden sami nyenthe jurang”, senthe jurang berati: kajar, sebangsa tales yang tumbuh di jurang. Dan disambunglah kata-kata tersebut dengan: Mangga Raden sami lumajar yang berarti. Marilah, Raden kita lan bersama-sama.
Di dalam lakon Srikandi berguru memanah, pada suatu ketika Arjuna keliru mendukung Dewi Wara Sumbadra yang sedang marah, karena dikiranya Sumbadra adalah Srikandi dan waktu itu Arjuna sedang tergila-gila pada Srikandi. Salah bopong ini menyebabkan murkanya Sumbadra dan berkatalah ia kepada Anjuna, “Ayo lekas, pulangkan badanku ke Dwarawati. Datangku ke sini dulu lantaran kamu. Aku tak tergesa-gesa menyerahkan badanku kepadamu, orang Madukara dan hanya menyerahkannya karena kamu menjemputnya.”
Peristiwa ini terjadi karena Semar, sebab Semarlah yang membenitahukan tempat Srikandi kepada Sumbadra. Lalu pada gilirannya marahlah Arjuna pada Semar dan sesudah Semar kena marah Arjuna, berkatalah dia, “Selagi Raden yang berpenglihatan terang bisa berbuat keliru, lebih-lebih hamba yang bermata kabur, tentu lebih berkemungkinan untuk berbuat salah.
Demikianlah sekedar gambaran mengenai tingkah laku Raden Arjuna.
Sekarang pun peristiwa seperti ini bisa terjadi juga.
Sewaktu dimainkan di waktu sore, wayang Semar yang digunakan ialah yang mukanya dan seluruh badannya bercat prada dan sewaktu dimainkan menjelang pagi yang digunakan ialah wayang yang mukanya bercat putih dan badannya bercat hitam. Di mana Semar dimainkan bersama dengan kedua orang anaknya, Gareng dan Petruk, maka Semar berwanda: 1. Gilut, 2. Dunuk, 3. Watu, 4. Mega, 5. Dukun, 6. Miling, dan 7. Brebes.
Konon Semar yang berwanda demikian adalah karangan Sri Sultan Agung di Mataram.
Adapun Semar yang dimainkan dengan Bagong, berwanda Brebes dan Jetung.
Sumber : Sejarah Wayang Purwa - Hardjowirogo - PN Balai Pustaka - 1982


1     2     3     4     5     6     7     8     9     10......

Sunday, November 1, 2015

LAHIRNYA KURAWA

Destarastra adalah seorang kakak dari Pandu Dewanata. Desasatra memiliki kekurangan, yakni tidak dapat melihat. Namun, itu sama sekali tidak mengurangi rasa hormat Pandu Dewanata kepada kakaknya tersebut. Karena saking hormatnya ia kepada kakaknya, Prabu Dewanata membawa 3 putri yang nantinya salah satu dari mereka akan dipersunting Destarastra.
3 putri tersebut yakni
  1. Dewi Kunthi,
  2. Dewi Madrim,
  3. Dewi Gendari.
Akhirnya, Destarastra memilih Dewi Gendari untuk dijadikan istrinya. Dewi Gendari merasa kecewa. Seharusnya putri cantik sepertinya menjadi istri Pandu Dewanata, bukan Destarastra yang buta itu. Dalam hati ia bersumpah bahwa anak keturunannya dengan Destarastra tidak akan pernah akur dengan anak keturunan Pandu Dewanata.
Tak lama, Dewi Gendari hamil. Namun, Destarastra merasa sangat bersedih hati, Kesedihan mereka disebabkan kandungan Dewi Gendari yang telah mencapai usia tiga tahun lamanya. Walau telah mencapai 1000 hari lebih, melampaui batas kenormalan usia hamil, akan tetapi belum juga ada tanda-tanda akan melahirkan si jabang bayi.

Selama mengandung, angan-angan Dewi Gendari tak pernah lepas dari rasa dendam dan sakit hati kepada Pandu Dewanata. Ambisi untuk menumpas keturunan sang pandu sebagai pelampiasan dendam sakit hatinya selalu tak pernah lupa diucapkan dalam permohonan doa Dewi Gendari kepada dewata. Akan tetapi saat itu belum juga ada dampak terkabulnya doa permintaan isteri adipati negara Ngastinapura ini. Pagi, siang, sore hingga malam hari, hatinya senantiasa dirundung perasaan resah gelisah, gundah gulana. dan bahkan hampir putus asa, Mengingat antara apa yang menjadi cita-cita dendam hatinya, maupun ingat akan kandungannya yang telah melampaui kenormalan itu, sama sekali belum membawa hasil seperti apa yang diharapkannya.
Pendek kata, selama masa kehamilan, Dewi Gendari tak pernah memiliki ketentraman di hati. Apalagi setelah mengetahui Dewi Kunthi, permaisuri Pandu telah melahirkan puteranya yang pertama, yang diberi nama Raden Puntadewa atau juga disebut Raden Wijakangka. bahkan Dewi Kunthi kini telah dan hampir melahirkan puteranya yang kedua. Kecemasan serta seribu satu macam perasaan gelisah dan tidak enak terkandung dalam hati Dewi Gendari ini semakin menjadi-jadi.

Ketiadamenentuan perasaan hati Dewi Gendari yang sedang berbadan dua itu, mengakibatkan tubuhnya terasa gerah dan tidak betah tinggal dalam bangsal Kaputren. Dewi Gendari kemudian melangkahkan kakinya, dengan langkah-langkah gontai menuruni tangga pualam di bangsalnya menulusuri jalan setapak di antara hijaunya rerumputan, menuju ke taman sari kerajaan Ngastinapura yang luas dan asri, diikuti oleh empat orang emban sebagai abdi pengiringnya. Kala itu surya telah condong ke barat, saat Dewi Gendari beserta empat orang abdinya menulusuri jalan setapak yang terbuat dari pualam, diantara semerbak harum aneka bunga, serta rimbunnya pohon buah-buahan yang menghiasi taman kerajaan, gerbang-gerbang sebagai batas bagian-bagian taman yang luas itu, pandangan matanya yang sayu lurus memandang ke depan seakan-akan tak peduli dengan segala keindahan taman di sekelilingnya. Tak lama kemudian Dewi Gendari telah melalui gerbang taman yang ke tujuh dan merupakan bagian taman yang terakhir.

Dalam bagian taman ini berisi aneka macam binatang buas maupun jinak serta beragam unggas sebaga hiasannya, tak ubahnya seperti isi kebun binatang layaknya namun tampat terawat bersih dan rapi. Di tengah petamanan margasatwa ini terdapat sebuah kolam besar yang terbuat dari batu pualam dengan dihiasi kelompok bunga teratai nan mekar dengan indahnya. ikan-ikan yang berwarna-warni berlari berpasangan berkejar-kejaran d bawah warna biru jernihnya air. tanpa sepengetahuan Dewi Gendari bahwa kedatangannya di taman satwa itu, telah membuat seluruh binatang buas yang ada di taman menjadi beringas, sementara binatang yang jinak serta unggas seperti gelisah dan ketakutan,semua ini merupakan firasat buruk.

Hembusan angin keras membuyarkan lamunan Dewi Gendari, mengetahui cuaca buru, Dewi Gendari mengajak para emban kembali ke kaputren. Langkah Dewi Gendari semakin dipercepat karena renai gerimis telah mulai turun. Tiba tiba saja Dewi Gendari yang sedang mengandung ini tersentak kaget saat mendengar suara harimau mengaum begitu keras. Karena rasa kaget yang teramat sangat tubuh Dewi Gendari gemetar, wajah pucat, tak terasa Dewi Gendari telah melahirkan di tempat di mana ia berdiri, yaitu bebrapa jengkal sebelum mencapai gerbang kaputren tempat tinggalnya. Dewi Gendari bukan melahirkan bayi sehat dan mungil, melainkan adalah segumpal daging yang bercampur darah mengental, berwarna mrah kehitam-hitaman, daging yang baru lahir dari rahim Dewi Gendari itu bergerak-gerak serta berdenyut-denyut seakan-akan bernyawa.
Setelah melihat dan mengetahui hal ini, bukan main marah Dewi Gendari, karena emosinya gumpalan daging itu diinjak injah hingga terpecah belah, lalu ditendang-tendang dengan kakinya ke arah yagn tak menentu, pecahan serta serpihan daging yang dilahirkan Dewi Gendari tercerai berai berserakan di atas rerumputan taman. Dewi Gendari merasa emosi, geram dan marah. Setelah itu ia pun menjerit dan mengangis histeris, lalu pingsan. Setelah itu ia lalu dibawa masuk ke Kaputren tempat kediamannya. Anehnya, setiap serpihan daging yang berserakan itu besar atau kecil tetap berdenyut dan bergerak-gerak.
Atas nasehat Begawan Abiyasa yang telah datang secara gaib dari pertapaannya, meminta agar Destarasta memerintahkan para abddinya untuk menutupi setiap serpihan daging itu dengan daun jati.

Dengan was-was serta perasaan takut yang tertahan, maka para emban serta beberapa orang prajurit penjaga taman melaksanakan tugas yang diperintahkan Destarasta, menutupi serpihan daging itu dengan daun jati, jumlahnya mencapai 100 keping. Bersamaan dengan kejadian itu, suasana taman di Ngastinapura berubah menjadi sangat menyeramkan. Binatang buas mengeluarkan suaranya, disusul dengan lolongan anjing hutan yang berkepanjangan bersahutan, burung hantu, kelelawar, burung gagak serta binatang malam lainnya. Binatang-binatang yang lelolong tak kunjung berhenti, suasana seram dan menakutkan meliputi Ngastinapura. Banyak para emban dan prajurit penjaga malam ketakutan, wajahnya pucat, badannya menggigil, merinding bulu romanya.
Dewi Gendari yang telah siuman dari pingsannya turun dari tempat peraduannya menuju tempat pemujaan, ia memohon kepada dewa, agar cita-citanya untuk berputera banyak, bisa terkabul. tiba-tiba saja Batari Durga muncul secara gaib dan memberitahukan, apabila lewat tengah malam mendengar tangisan bayi di taman, Dewi Gendari agar cepat-cepat menghampiri bayi tsb, karena itu adalah puteranya. setelah memberikan pesan Batari Durgapun menghilang dari hadapan Dewi Gendari secara gaib, kembali ke kahyangan di wukir pidikan.
Dan benar saja, saat terdengar tangisan, Dewi Gendari segera menuju ke taman. Dan betapa terkejutnya ia saat ia melihat ada 100 bayi di sana.
Seluruh isi kerajaan bahagia mendengar berita tersebut.
Para Korawa (putera Dretarastra) yang utama berjumlah seratus, namun mereka masih mempunyai saudara dan saudari pula. Kemudian dari Dewi Gandari, lahir seorang putra lagi bernama Duskampana dan seorang putri bernama Dursala (atau Duççala atau Dussala).
Dretarastra mempunyai anak dengan seorang wanita dari kasta waisya, yang dinamakan Yuyutsu.Nama Yuyutsu dalam bahasa Sanskerta artinya ialah “yang memiliki kemauan untuk berperang/bertempur”.
Berbeda dengan para Korawa pada umumnya, ia tidak berbuat jahat pada para Pandawa, sepupunya. Saat perseteruan antara Pandawa dan Korawa sudah mencapai klimaks, dikeluarkanlah pengumuman untuk berperang. Yuyutsu bergabung di bawah panji-panji pasukan Korawa. Mereka berperang di Kurukshetra, India Utara.
Sesaat sebelum perang di Kurukshetra dimulai, Yudistira — yang sulung di antara Pandawa — maju ke hadapan pasukan Korawa untuk memastikan apakah ada yang berubah pikiran dan mau berpihak kepadanya. Hanya Yuyutsu yang menanggapinya, sehingga ia keluar dari barisan pasukan Korawa dan bergabung dengan pasukan Pandawa. Hal itu membuatnya menjadi penerus garis keturunan Dretarastra, sementara saudaranya yang lain gugur semua di medan perang Kurukshetra.