Search This Blog

Saturday, May 22, 2021

Pariksit

Ketika Abhimanyu gugur di palagan Kuruksetra Janin Pariksit masih berdiam di guogarbo Uttari Ketika terlahir, Parikesit jadi “bocah lola bapa”, Telah yatim sedari dalam kandungan bundanya


Citra Keagungan Raja Parikesit Dalam “Dunia Pewayangan Jawa”, khususnya jenis wayang purwo, yang kisahya bersumber kepada wiracarita Mahabharata, dikenal adanya seorang raja dari trah (garis ganeologis, alur keturunan) Pandawa, yakni Parikesit. Dalam teks Sanskrit susastra Mahabharatta maupun pada teks edisi terjemahannya ke dalam bahasa Jawa Kuna, tokoh ini ditulis dengan “Pariksit”. Pada urutan keluarga besar (dinasti, vamsa) Pandawa, Pariksit dapat dibilang “raja terakhir” keturunan kula Pandawa, sehingga acapkali dinyatakan sebagai “the last Pandawa”. Ayah Parikesit adalah Abhimanyu dengan ibui Utara (menurut versi Jawa bernama “Utari” atau “Untari” — istri Abhimanyu yang lainnya adalah Siti (Ksiti) Sundari. Abhimanyu adalah putra Arjuna. Adapun ayah dari Arjuna, yang adalah mula trah (disebut “vamsakara” atau “vamsakreta”) d dalam keluarga besar (dinasti) Pandawa adalah Pandu (acapkali disebut lengkap dengan “Pandu Dewanata”), yang dalam kitab wiracarita Mahabharatta dikisahkan sebagai raja nagari Hastinapura. Sebutan “Pandawa (Dewanagari: पाण्डव) di dalam bahasa Sanskerta berarti : anak Pandu. Parikesit dengan demikian berada di keturunan ke-4 dalam dinasti Pandawa. Pada masyarakat Jawa masa lalu, Parikesit tidak hanya dipahami sebagai ” seorang ksatria”, tokoh cerita di dalam susastra “Mahabharatta”. Namun, sebagaimana halnya peristiwa (baca “kisah”), tokoh cerita, beserta tempat-tempat kejadian yang dikisah oleh Mahabharatta diyakini sebagai nyata adanya. Bahkan, terdapat pandangan — yang dipengaruhi cara pandang “Javanisasi”, yang melokasikan tempat bagi terjadinya peristiwa -peristiwa itu berada di Jawa. Begitu pula, raja-raja yang terkisah di dalam Mahabharata, khususnya Parikesit, pada sebagian besar “silsilah mangiwo (kiwo = kiri)” adalah leluhur dari raja-raja di Jawa. Pada silsilah itu, Parikesit mempunyai lima orang permaisuri dengan 8 (delapan) orang putra. Salah seorang diantara mereka itu adalah Dewi Satapi (Tapen), yang menurunkan Yudayana dan Dewi Pramasti. Raja Yudayana meturunkan Gendrayana — sampai disini Kerajaan Hastina hilang). Lantas, Gendrayana menurunkan Jayabhaya, seorang raja di Kerajaan Kadiri pada Era Keemasan Yang menarik pada silsilah itu Jayabaya dinyatakan sebagai keturunan ke-4 dari Parikesit. Pernyataan itu memberi gambaran mengenai adanya penarikan garis keturunan (geneologis) antara Jayabhaya (penguasa di kerajaan Kadiri) dan Parikesit (raja Hastina di India). Tentu, tak cukup bukti tentang hubungan antara keduanya. Kendati demikian, historiografi tradisional Jawa menganggap terdapat “relasi” antara Kerajaan Kadiri dan Hastinapura. Relasi tersebut terkait dengan “Javanisasi (proses pen-Jawa-an)” yang telah terjadi semenjak masa Majapahit hingga ke masa-masa sesudahnya, dimana hal-hal yang sesungguhnya berada di India dialihlokasikan ke Jawa, dan kejadian-kejadian yang sebenarnya beda masa dicampuradukkan. Dalam konteks ini, kerajaan Hastina yang menghilang di India sejak pemerintahan Gendrayana dinarasikan dalam historiografi tradisional Jawa sebagai terus berlanjut di Jawa, yaitu di kerajaan Kadiri (Dhuha). Demikianlah, acap historiografi tradisional bersifat “anakronis”, sebagaimana misalnya tergambarkan pada “Silsilah Mangiwo” dari raja-raja Tanah Jawa. 
 
Latar Geneologis dan Kelahiran Parikesit 1. Kisah Heroik “Abhimanyu Gugur” Parikesit merupakan putera dari Abhimanyu alias Angkawijaya, yakni kesatria di Plangkawati. Ibunya adalah Dewi Utari, yaitu putri Prabu Matsyapati dengan Dewi Ni Yustinawati dari Kerajaan Wirata. Perkawinan Abhimanyu dan Utari pada susastra Jawa Kuna terkusah dalam kakawin Jawa Kuna “Abhimanyuwuwaha” — suatu judul susastra yang mengingatkan kita pada “Kakawin Arjunawiwaha”, yang mengisahkan menenai perkawinan ayahnya (Arjuna). Bila ditilik dari garis geneologis ayahnya, yakni Abimanyu, dalam dirinya mengalir “darah biru” Dinasti Pandawa. Parikesit boleh dibilang sebagai anggota keluarga Pandawa yang “selamat hidup” pasca perang besar Bharatayuddha. Namun nahas, ayahnya gugur sebagai ksatria sejati di palagan Kurukshetra dalam perang besar tersebut, sebuah perang saudara di lingkungan keluarga Bharattha. Oleh karena itu, pasca perang Bharatthayuddha itu tahta Hastinapura diampu Parikesit, menggantikan piutnya, yaitu Karimataya — abisekanama (nama gelar) dari Yudistira. Sebagai seorang penguasa (baca “raja”), Parikesit disosokkan sebagai seorang ksatria yang berwatak bijaksana, jujur, dan adil. Kepribadian.yang luhur itu justru tumbuh dabbberkembang dalam tantangan (change) hidup yang tidak mudah, hanya dengan asuhan Sang Ibu sebagai orang tua tunggal (single parent). Tantangan hidup telah dihadapi Parikesit sejak lahir. Bahkan, sebelum kelahiran (pra- marital), yakni masih berada di “goa garbha (kandungan)” Ibunya. Parikesit telah berstatus “yatim” sejak di kandungan ibu — bahasa Jawa Baru mengistilahi dengan “bocah lola”, 
yaitu anak yang tumbuh dan berkembang tanpa disertai orang tua kandungnya, yang pada konteks diri Parikesit adalah “lola bapa (tanpa disertai ayah kandungnya), lantaran sang ayah, yakni Abhimanyu, gugur sebagai kusuma nagara ketika janin Parikesit masih berada di dalam kandungan Dewi Utari. Parikesit lahir tanpa keberadaan ayah di kehidupannya. Kisah gugurnya Abhimanyu merupakan kisah yang penting di dalam wiracarita (Sanskerta: महाभारत) karya rakaman Begawan Byasa (Vyasa). Demikian pula diposisikan penting di dalam kakawin Jawa Kuna Bharatthayuddha karya Pu Sedah dan Panuluh di era kerajaan Kadiri. Bersama cerita “gugurnya Gatotkaca”,, kedua kisah itu mengharu-biru para pembacanya, namun sekaligus membanggakan –lantaran kedua Ksatria putra dari anggota keluarga Pandawa itu telah bertindak sebagai “martir”, yang bersedia berlalu altrustik lewat pengabdian berbela nagara. Abhimanyu putra Arjuna dan Gatotkaca putra Bhima dilukiskan pada kedua susastra itu sebagai “sang pahlawan”. Apabila ayahnya, yakni Abhimanyu dipredikati sebagai “sang pahlawan”, maka cukup alasan untuk menyatakan Parikesit sebagai “putra pahlawan” Keksatrian dari Abhimanyu (Dewanagari अभिमन्यु) secara heroik terkisah dalam kitab Mahabharatta, tepatnya di bagian (parwa) Bharattayuddha. Putra Arjuna dan Widyadari Subadra ini telah ditetapkan sebagai calon penerus dari Yudistira, atau pewaris tahta. Namun, Ia keburu gugur di palagan tempur Kurukshetra sebagai salah satu ksatria termuda dari pihak Pandawa – pada usia yang baru 16 tahun, malahan baru saja menikah (bahasa Jawa “manten anyar”) dengan Utari. Dalam mitologi, Abhimanyu alias Parthasuta, Parthātmaja, Saubhadra, ataupun Angkawijaya, Jaka Pengalasan, Jaya Murcita, Sumbadratmaja, Wanudara, Wirabatana ataupun Kirityatmaja adalah inkarnasi Warcasa, yakni putra Dewa Bulan. Arjuna membuat perjanjian dengan Warcasa bahwa putrnya hanya akan tinggal di bhmi dalam waktu16 tahun, dan karenanya Abhimanyu pun tewas dalam usia 16 tahun.. Abimanyu dianggap sebagai seirang kesatria “yang terberani” dari keluarga besar Pandawa, yang telah mengorbankan diri pada peperangan dalam usia yang masih sangat muda.ia turut serta membela ayahnya dalam pertempuran besar selama 18 hari. Sebagai “cucu” Dewa Indra, Abimanyu merupakan ksatria gagah berani dan ganas, kemampuannya setars dengan sang ayah (Arjuna). Walau berusia muda, namun Abhimanyu mampu melawan para kesatria besar di pihak Korawa, tidak terkecuali Drona, Karna, Duryodana, maupun Dursasana. Abhimanyu dipuji atas keberaniannya, dan memiliki rasa setia yang tinggi terhadap ayah, paman, dan sekutunya.

Kekalahan Abhimanyu lantaran kelicikan dari para perwira Korawa, dengan membunuhnya secara kroyokan pada pertempuran hari ke- 13 dalam formasi melingkar (cakrabhyuja). Terhadap formasi tempur ini, Pandawa tidak mempunyai pilihan selain menaruh harapan kepada Abimanyu, yang dikalkulasi memiliki pengetahuan dan ketrampilan perang tentang cara untuk menembus formasi cakrabyuha. Sayang sekali, meskipun mampu menembus formasi itu, namun tidak tahu cara keluar dari dalamnya. Untuk meyakinkan bahwa Abimanyu tidak terperangkap di dalam formasi cakrabyuha utu, maka Pandawa bersaudara dan sekutunya mengawal Abimanyu serta membantu keluar dari formasi cakrabyuja. Abimanyu berhasil menembus Cakrabyuja. Para Pandawa beserta sekutunya mencoba mengikutinya, namun dihadang oleh Jayadrata (raja Sindhu), yang menggunakan anugerah Siwa padanya untuk menahan serangan dari Pandawa.

Setelah tertinggal, makavAbimanyu musti berjuang sendirian menghadapi serangan dari pihak Korawa. Abimanyu berhasil membinasakan beberapa orang kesatria Korawa yang medekatinya, termasuk putra Duryodana, yaitu Laksmana. Demi menyaksikan putra terkasih terbunuh, murkalah Duryodana, dan memerintahkan segenap perwira Korawa, seperti Dursasana, Sangkuni, Aswatama maupun Karna untuk segera membunuh Abimanyu. Tanpa peduli akan aturan perang, sontak mereka menyerang Abimanyu. Setelah tidak berhasil untuk hancurkan baju zirah dari Abimanyu, Karna menghancurkan busur panah Abhimanyu dari arah belakang. Lantas hancurkan kereta perang (ratha)nya; membunuh kusir beserta kuda-kudanya, hingga seluruh senjata Abhimanyu turut terbuang. Namun hebatnya dari Abimanyu adalah mampu untuk bertahan sampai pedangnya patah dan roda kereta yang digunakan sebagai perisai hancur berkeping- keping. Tidak berapa kemudian, Abimanyu dibunuh oleh putra Dursasana dengan cara menghancurkan kepalanya menggunakan gada.


Kisah Kelahiran “Bocah Lola” Parikesit
Kata “lola” didapati dalam bahasa Jawa Baru, yang berarti seorang anak yang tumbuh dan berkembang tanpa disertai oleh salah satu ataupun kedua orang tua kandungnya. Istilah “lola, alola” ataupun “lolita” sebenarnya telah kedapatan di dalam bahasa Jawa Kuna dan Tengahan, yang merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta, namun artinya: tak tenang, gelisah, berlari kesana kemari mari, bergoyang, bergoncang, bergetar, atau rasa rindu (Zoetmulder, 1995:607). Arti demikian lebih menyukai kapada dampak psikologis dari kondisi lola (tak berayah, tak beribu, atau keduanya). Rasa rindu misalnya, acap terjadi pada diri anak yang “lola”. Bgitu pula halnya dengab perasaan gelisah atau tidak tenang, acap menggerakan pada bocah lola. Bahkan, lantaran tak berayah-ibu, bocah lola terobang- ambing sendirian dalam menghadapi gejolak kehidupan.

Mengingat dampak psikoligis pada ” bocah lola” itu, makan segenap agama perintahkan untuk menaruh belas kasih, kepedean atau uluran tangan kepada anak yang berstatus “lola”. Dalam agama Islam, sebutan untuknya adalah : (a) kata “yatim” untuk anak yang “lola ayah”, (b) kata “piatu” untuk anak yang “lola ibu”, serta (c) kata ” yatim-piatu” untuk anak yang “lola ayah dan lola ibu”. Ada status” lola” yang menimpa diri anak setelah beberapa lama kelahirannya, namun ada pula seorang anak yang telah lola sebelum kelahirannya, tepatnya “lola ayah”, karena ayah kandungnya meninggal ketika anak bersangkutan berada di dalam kandungan ibunya. Parikesit adalah salah seorang contoh mengenai anak yang ” lola bapa” sedari dalam kandungan ibunya.
Parikesit “Lola Bapa” Sedari di Kandungan Abimanyu gugur saat istrinya (Utari) sedang hamil tua. Dengan demikian satu-satunya anak Abimanyu, yaitu Parikesit, terlahir setelah kematian dirinya. Keberadaan “satu-satunya” pada dirinya bukanlsh semata karena Parikesit merupakan satu- datunya putra abhimanyu, namun juga merupakan satu- satunya keturunan dinasti pandawa yang masih hidup pasca Perang Bharatayuddha dan pasca perjalan maha berat oleh anggota keluarga besar Pandawa menuju swargga (nirwana) yang pada parwa ke-18, yaitu Swargorohanaparwa, dikisahlkan sebagai pendakian menuju ke puncak Meru (nama arkhais untuk “Himalaya”).

Pada sebelum kelahirannya, Parikesit nyaris tak selamat hidup. Mahabharatta memuat kisah bahwa pada perang Bhatattsyuddha di akhir hari ke-18 Aswatama bertarung dengan Arjuna . Keduamya sama-sama sakti, bahkan sama-sama keluarkan senjata bernama “Brahmāstra”. Oleh karena dicegah oleh Rsi Byasa, maka Aswatama dianjurkan untuk mengarahkan senjata tersebut kepada objek lain. Namun, Aswatama malahan memilih srahkan senjatanya ke kandungan Utari, dan menyebakan terbunuhnya Parikesit yang masih berada dalam kandungan ibunya (Utari). Atas pertolongan dari Kresna, maka Parikesit bisa dihidupkan kembali. Itulah sebab mengapa Aswatama dikutuk kelak bakal mengembara di dunia selama-lamanya.

Demikianlah, sejak masih dalam kandungan ibunya, Parikesit telah menghadapi cobaan berat. Pertama, ayahnya (Abhimanyu) gugur di medan laga. Kedua, dirinya pernah mati, lantaran terkena panah milik Aswatama, namun beruntung dihidupkan kembali oleh Kresna, sehingga keberlanjutan dari Dinasti Pandawa tidak terputus. Tergambar bahwa cobaan demi cobaan — baca “tantangan (changes)” telah dihadapi oleh Psrikesit, sehingga ia terlatih untuk kuat dan mampu dalam menghadapi tantangan hidup, sehingga ia kelak menjadi seorang Ksatria tangguh.

Setelah kelahirannya, Rsi Dhomya menyampaikan ramalannya pada Yudhistira bahwa kelak Parikesit akan menjadi pemuja setia kepada Dewa Wisnu, lantaran ia pernah dihidupkan kembali oleh Bhattara Kresna setelah panah milik Aswatama mengenai janinnya yang ketika itu masih berada di dalam andungann ibunya. Ini adalah salah satu contoh kejadian, dimana Parikesit mendapat perlindungan dari Dewa. Terkait itu, Parikesit mendapat sebutan diri sebagai “Vishurata”, yakni orang yang selalu mendapat perlindungan Dewata. Selain itu, Rsi Dhomya meramalkan bahwa kelah Parikesit akan menjadi orang yang mencurahkan kebajikan, ajaran agama maupun kebenaran. Kala menjadi seorang pemimpin, Parikesit menjadi seorang pemimpin yang bijaksana, sehingga membawa kemasyhuran bagi keluarganya. Sebagaimama anak-snak lain yang terlahir dalam kondisi “lola ayah”, secara psikologis Parikesit pun mengalami keresahan, bahkan kegoncangan perasaan. Berkat upaya untuk melatih dirinya menghadapi tantangan atau goncangan jiwa, maka membuahkan pribadi yang mampu menstabilkan dirinya dan tidak panik (tenang) di dalam menghadapi cobaan atau tantangan.

Ksatriabhakti Abhimamyu Bhakti Ksatria merupakan perilaku luhur pada etika kehidupan ksatria. Seorang ksatria barulah dapat disebut sebagai “ksatria” sejati apabila bersedia untuk mengabdikan diri (mabhakti) kepada nagari, bahkan rela nengorbankan jiwa dan raganya untuk kesentausaan serta kejayaan negeri. Bhakti nagari yang disertai dengan kesedian untuk mati dinamai “bela nagari” atau “labuh nagari”. Dalam episode Sejarah Perjuangan Kemerdekaan, yaitu pada era Pendudukan Jepang, pengorbanan yang demikian diistilahi dengan “Pembela Tanah Air (PETA).

Diantara para ksatria yang dikisahkan dalam kitab Mahabharatta, Abhimamyu layak mendapatkan predikat sebagai sosok ksatria yang riil melakukan ” dhamma ksatria” atau “ksatriabhakti”, menjalankan “labuh nagari” atau “bela nagari”. Abhimamyu gugur sebagai kusuma nagari dalam usia yamg masih muda. Bahkan, tidak sempat untuk mengenyam kesempatan sebagai “bapa (ayah)” untuk putra pertamanya, yaitu Parikesit. Lantaran, ketika gugur di medan perang besar “bharattayuddha”, buah cinta-kasihnya dengan Uttari itu masih berada di dalam kandungan bundanya. Abhimamyu adalah seorang teladan tentang “ksatria sejati”.

Sunday, November 3, 2019

PERANG KEMBANG

Mencari makna yang menyelubungi tari Bambangan-Cakil sebaiknya jangan dilepaskan dari kisah awal yang dijadikan sumber acuan; yaitu perang kembang salah satu adegan bagian dari suatu pertunjukan wayang (pakeliran). Di mata orang Jawa masa lalu, pertunjukan wayang dianggap sarat dengan simbol-simbol budaya. Sebagai salah satu tontonan, adegan perang kembang memiliki daya pikat luar biasa. Sebab, dalam adegan ini telah terjadi sebuah konflik phisik antara dua kubu yang sangat kontras, yaitu perkelahian antara tokoh halus yang lemah gemulai melawan tokoh-tokoh yang dinamis dan atraktif . 

Adegan perang kembang lazimnya disajikan di tengah-tengah pakeliran semalam suntuk, saat-saat para penonton sudah mulai jenuh, letih, dan mengantuk. Di masa lalu, adegan perang ini dapat dikatakan menjadi adegan unggulan, yang hampir selalu ditunggu-tunggu oleh sebagian besar penonton pakeliran wayang kulit. Barang¬kali karena adegan perang ini sangat menarik, dalam tradisi pakeliran Sala kemudian disebut dengan adegan perang kembang . Dalam konteks tontonan, istilah ‘perang kembang’ dapat diartikan sebagai sebuah perang èdèn-èdèn (hiasan), perang unggulan, atau perang primadona dari sebuah pertunjukan wayang yang utuh. 
Istilah ‘kembang,’ apabila dirangkai dengan kosa kata lain sering memiliki arti kiasan atau bermakna simbolik; di antaranya menonjol, bukan hal yang lumrah (remeh), sangat menarik, prima-dona, terkenal, unggulan, dan sebagainya. Bandingkan makna perang kembang dengan kata-kata majemuk lain, seperti: ‘randha kembang (janda muda yang cantik dan kaya), kembang lambé (buah bibir banyak orang), kembangé désa (primadona desa), dan sebagai nya. 

Orang Jawa di masa lampau, setiap menyikapi berbagai hal adat-istiadat, tradisi, estetika, etika atau moral yang bernilai tinggi kemudian diberi rangkapan makna falsafi. Demi¬kian halnya dengan adegan perang kembang, dianggap sesuatu yang bernilai sangar tinggi. Dalam adegan perang kembang tersaji pertarung-an antara tokoh yang berperilaku tenang (ksatria halus) dengan lawannya (yang sangat dinamis, atraktif, dan keras atau mungkin radikal). Dalam budaya Jawa masa lalu, segala hal yang dinamis, suka menantang arus, atraktif, keras atau radikal, sering dinilai sebagai sesuatu yang kasar dan dilawanankan dengan perilaku halus.

Ksatria dalam pakeliran Jawa hampir selalu dianggap se-bagai tokoh yang memiliki karakter terpuji; selalu membela kebenaran, suka menolong, tokoh pilihan, sering menjadi idola, dan sebagai¬nya yang serba baik. Pemberian kedudukan ksatria ini, dalam budaya Jawa, bukan ditentukan oleh faktor keturunan; sebagian besar para Korawa yang berkarakter buruk tidak dapat digolong¬kan sebagai ksatria, meski¬pun memiliki leluhur yang sama dengan para Pandawa, yaitu para raja, brahmana, dan bahkan dewa.
Di masa lalu, lawan ksatria tidak selalu cakil CS, dalam lakon-lakon tertentu kadang-kadang ksatria harus berhadapan dengan sepasang raksasa hutan yang masih liar. Bahkan, di masa pa¬keliran masih sering disajikan di waktu siang hari, sampai sekitar tahun 1960-an, ksatria tidak selalu melawan para raksasa, tetapi se-pasang binatang hutan yang buas (lazimnya harimau dan ular), yang juga bermakna kasar . 

Istilah bambangan tidak mewakili atau menunjuk nama yang pasti dari tokoh tertentu, seperti: Bambang Irawan, Bambang Priyambada, Bambang Wijanarka, Bambang Wisanggeni, Bambang Swatama, Bambang Senggotho, dan sebagainya. Dalam pewayangan baik wayang kulit maupun wayang wong panggung perwujudan tokoh bambangan lazimnya bermuka ‘luruh;’ arti-nya menunduk (tidak mendongak) berperawakan langsing dan kecil (mbambang). Bambang-an merupakan simbolisasi dari tokoh ksatria berwajah tampan yang serba halus dalam segala hal, meliputi: perilaku, cara beribicara, isi ucapan, dan budi pekertinya. 
Tokoh-tokoh ksatria yang termasuk bambangan di antranya adalah Sumantri, Rama, Laksmana, Palasara, Pandu, Permadi (Arjuna), Abimanyu, Irawan, dan Priyambada. 

Tokoh-tokoh wayang gagah seperti: Gandamana, Salya, Bima, Gathutkaca, Antareja, Kakrasana, dan yang sejenis tidak lazim disebut sebagai bambang-an, meskipun tergolong dengan ksatria. Berkaitan dengan perang kembang atau Bambangan-Cakil, tokoh-tokoh tampan yang ber-perawakan kecil dan langsing tetapi bermuka mendongak (tradisi wayang menyebut ‘longok’ atau ‘lanyap¬an’) tidak lazim disebut dengan bambangan; seperti: Karna, Nangkula, Sadewa, Trutha¬-jumena, Nara¬soma, Narayana, Wisanggeni, dan Samba. 
Berkaitan dengan pengertian halus kasar ini, seorang filsuf yang sering menulis tentang pewayangan, mengatakan bahwa:
Halus adalah tanda keselarasan yang sempurna . . . kekuatannya mengalir dengan tenang, tanpa me-nimbulkan perhatian, mirip dengan putaran roda sebuah generator raksasa yang karena kecepat¬an dan kehalusannya tak lagi kelihatan gerakannya. Halus adalah seseorang yang sudah mengontrol ke¬jasmani-annya dan telah mengatur batinnya sehingga ia mencapai rasa yang benar. Sebaliknya kelakuan kasar adalah tanda kekurangan kontrol diri dan ke-kurangmatangan. Halus merupakan tanda kekuatan, kasar tanda kelemahan (Franz Magnis-Suseno 1985: 212).
Pendapat Franz Magnis-Suseno ini mungkin dirumuskan atas dasar pengamatannya pada adegan perang kembang dalam pakeliran, yang kemudian juga dapat dilihat dalam pertunjukan wayang wong panggung. Ekspresi tokoh bambangan dalam perang kembang disajikan secara tenang, tetapi cekatan (Jawa: trengginas trampil) pada saat melawan musuhnya para raksasa atau binatang buas dan liar dengan pola perang gendiran; yaitu menggunakan tuding (tangkai tangan wayang) sebagai senjata. Sebaliknya, para raksasa digambarkan dengan gerak-gerak yang liar awut-awutan dibarengi suara auman, geraman (nglokor) dan/ atau berteriak-teriak sesuai dengan wataknya yang ‘kasar.’

Berbeda dengan Franz Magnis-Suseno, Sri Mulyono berpendapat bahwa:
Perang kembang, yaitu adegan perang antara raksasa Cakil, berwarna kuning, rambut geni berwarna merah, Pragalba berwarna hitam, Galiyuk berwarna hijau, melawan seorang satria yang diikuti panakawan. Adegan ini melambangkan suattu tataran/tingkat, di mana manusia sudah mulai mampu dan berani me-menangkan atau mengalahkan nafsu-nafsu angkaranya; sufiah, aluamah, amarah, dan mulhimah (Sri Mulyono dalam F.X. Koesno ‘Puspa Sari’ 1981:49).

Selain kedua penulis di atas, Suwaji Bastomi memberi arti simbolis perang kembang dalam Gandrung Wayang adalah sebagai berikut:
Perang kembang sebagai gambaran perjalanan hidup pemuda. Pada usia muda itu orang mencari jati diri untuk memasuki masa dewasa. Dalam menemukan jati diri itu pemuda masih menjumpai godaan-godaan, antara lain godaan setan (raksasa), Satria sebagai gambaran sifat “baik” melawan sifat “buruk” yang digambarkan berupa raksasa. Perang kembang dapat pula diartikan sebagai keberhasilan masa muda dalam memerangi nafsu-nafsu jelek yaitu nafsu aluamah, amarah, sopiah, dan mutmainah (1996a:68-69)

Berdasarkan pembicaraan awal dalam makalah ini, tari Bambangan-Cakil jelas merupakan cuplikan dari sebagian adegan perang kembang yang memiliki daya pukau (estetika) luar biasa bagi penonton. Oleh sebab itulah, perang kembang memiliki makna ganda, seperti:adegan primadona, lambang pertarungan antar nafsu baik buruk, konflik kasar halus, dan sebagainya.
Pertanyaannya adalah, apakah pemaknaan tentang halus dan kasar serta perang kembang seperti pendapat Franz Magnis-Suseno, Sri Mulyono, dan Suwaji Bastomi di atas dan mungkin masih banyak tokoh lain sekarang masih relevan? Apakah para dalang sekarang yang lebih berorientasi kepada komersial (pasar) juga memahaminya? Apalagi pakeliran sekarang telah mengalami pergeseran, perang kembang bukan lagi sebagai sesuatu yang diunggulkan atau dijadikan primadona dan bukan sesuatu yang selalu dinanti-nanti. Yang selalu ditunggu kehadirannya oleh penonton wayang sekarang adalah: adegan limbuk-cangik dan gara-gara yang lebih sarat dengan hiburan dalam durasi waktu yang sangat panjang. Pergeseran sikap demikian ini sering memprihatinkan berbagai kalangan yang masih menganggap pakeliran sebagai wacana budaya yang mengandung muatan nilai tuntunan (devosional dan etika) serta .tontonan (estetika dan hiburan)

Selamat bersarasehan.
Catatan kaki:
(1) Pada awalnya adegan perang kembang hanya dimiliki pada pakeliran Gaya Surakarta, perkembangan selanjutnya pakeliran Gaya Yogyakarta juga memakainya, yang biasa disebut dengan perang bégal.
(2) Pada awalnya adegan perang kembang hanya dimiliki pada pakeliran Gaya Surakarta, perkembangan selanjutnya pakeliran Gaya Yogyakarta juga memakainya, yang biasa disebut dengan perang bégal.

Profil Penulis:
Bambang Murtiyoso, selain menjabat sebagai Dosen S-1 dan S-2 beliau juga merupakan Kepala Unit Penelitian di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta

Saturday, November 2, 2019

Wayang Klitik

Wayang ini diciptakan pada adad ke-17, tetapi siapa penciptanya tidak diketahui. Seperti diketahui manusia Jawa menganggap wayangan sebagai upacara ritus komunikasi antara yang hidup dengan roh-roh leluhurnya yang di datangkan berupa perwujudan bayangan wayang. Mereka percaya bahwa kepercayaan Animisme yang berhubungan budaya Hindu ini menganggap bahwa permulaan adanya Negara dalam bentuk kerajaan di Jawa, sesuai apa yang tertera dalam cerita Ramayana dan Mahabharata, dilanjutkan ke masa Kediri Pejajaran sebagai jaman Madya dan berakhir dengan jatuhnya kerajaan Hindu Jawa Majapahit. Masing-masing jaman diwakili dengan bentuk wayang senddiri-sendiri. Jaman Purwa, Ramayana, Mahabharata diwakili wayang Purwa. Jaman Madya diwakili oleh Wayang Gedog Madya dengan cerita panji dan Jaman Wasana diwakili Wayang Wasana yang disebut wayang klitik.

Beberapa sarjana menganggap bahwa cerita Panji dalam Wayang Madya pada hakekatnya melambangkan siklus peredaran planet antara matahari dan bulan, siang dan malam dalam bentuk percintaan antara raden Panji dengan istrinya Candrakirana yang tak ada hentinya berpisah saling mencari-cari.

Sedang cerita Damarwulan sebaliknya merupakan lambang pertentangan antara Bulan (Damarwulan) dan Matahari (Minakjingga). Lambang abadi pertentangan gelap dan terang, kejahatan dan kebenaran yang tentu saja akan berakhir dengan kemenangan kebenaran.
Bentuk Wayang Klitik.
Jika Wayang Purwa dan Wayang gedog Madya berbentuk ukiran kulit secara keseluruhan hingga menimbulkan bayangan pada kelir, maka wayang klitik berupa ukiran papan kayu dengan tangan keduanya dari kulit. Nama Klitik ini tercipta karena suara yang ditimbulkan oleh gesekan antara wayang yang dibuat dari kayu tersebut. Pertunjukan wayang Klitik karenanya tidak memerlukan kelir untuk bayangan. Oleh karena itu sering pula disebut sebagai kelir kaca. Artinya pertunjukan tembus pandang antara penonton yang bertempat di depan maupun di belakang Dalang. Pemakaian kulit untuk kedua tangan wayang klitik ini menunjukkan adanya eksperimen baru dari bentuk wayang kulit ke wayang golek kayu.
Seperti halnya dengan wyang Kulit purwa, wayang Klitik juga mengenal wanda atau bentuk wajah dan perawakan kepala untuk melukiskan watak temperamen tokoh yang didasarkan atas warna-warna yang khas misalnya untuk tokoh Menakjingga sebagai lambang Matahari yang panas dan pemarah digambarkan dalam pewarnaan Merah jingga dan Damarwulan sebagai lambang Bulan dan kesejukan dilukiskan dalam warna putih dengan wanda ruruh. Dalam wayang Klitik juga dikenal wanda rangkap dan bentuk wayang yang berbeda, misalnya untuk tokoh-tokoh pokok dikenal wanda rangkap.
Jumlah wayang Klitik untuk tokoh-tokoh pokoknya tidak lebih dari dua puluh buah, dengan tambahan sekitar 10 buah yang diambilkan dari tokoh-tokoh wayang Bratasena, Anoman, Gunungan, rampogan dan wayang ricikan jenis binatang gajah, kuda dan sebagainya.

Seperti halnya wayang purwa, wayang klitik juga mengenal cirri-ciri menurut gaya Yogya, gaya Surakarta dan gaya Mangkunegaran. Gaya Yogyakarta kurang anatomis, terutama pada pahatan kakinya, sehingga mengarah pada bentuk primitif seperti halnya pada tokoh wayang kulit Bima sehingga menimbulkan kesan bahwa gaya Yogya lebih tua umurnya daripada gaya Surakarta. Hal ini perlu penelitian lebih lanjut. Yang jelas, watak Yogya mengarah pada gagah dan bregas penuh kesederhanaan dan gaya Surakarta mengarah pada kehalusan serta ketenangan. Hal ini tentunya tidak lepas dari kemantapan kehidupan keraton Sala dibandingkan dinamisme Kraton Yogya pada masa pembentukan kerajaan dibawah pimpinan Pangeran Mangkubumi. Dari segi bentuk, Wayang Klitik gaya Surakarta masih mendekati bentuk wayang kulit sedang gaya Yogya justru mengarah pada bentuk wayang golek.

Perangkat Pertunjukan
Perangkat untuk mengiringi pertunjukan wayang klitik ini, memakai gamelan dengan laras slendro berjumlah lima macam, yakni : kendang, saron, ketuk, kenong, kempul (barang) dan gong suwukan.
Jumlah lagu/gending yang dipergunakan untuk mengiringi tidak banyak dan kurang variasinya sehingga sangat senada. Gamelannya boleh dikatakan sama dengna irama Jatilan atau kuda lumping. Apalagi bila terjadi adegan perang, sangat monoton dengan iringan gending srepegan. Pada setiap adegan yang dinamakan jejeran, Ki dalang mengiringinya dengan tembang macapat seperti Dandanggula, Sinom, pangkur, Asmaradana dsb. Tembang ini berperan sebagai suluk dalam wayang kulit dengan penambahan candra wayang untuk setiap tokoh-tokoh wayang yang sedang dilakonkanya.
Sewaktu-waktupersiapan memasuki fase pagelaran wayang yang sesungguhnya dipakai gending Undur-undur.

Wayang Kulit

Wayang kulit adalah satu dari berbagai warisan kebudayaan masa lampau di Indonesia yang masih mampu bertahan dan masih mendapat tempat di hati orang Jawa. Keberlangsungan tradisi pewayangan di Indonesia mendapat perhatian dari PBB sehingga PBB mengeluarkan pengakuan bahwa wayang adalah karya agung dunia. Bagi orang Jawa wayang kulit bukan sesuatu yang mengherankan atau mengundang pertanyaan, tetapi sebenarnya wayang kulit adalah sebuah maha karya yang unik. Pemahaman wayang kulit akan didapat jika penelaahan secara komprehensif dilakukan, mengingat ada banyak lapis yang harus dipahami. Lapis sejarah, lapis lakon, lapis ikonografi, lapis fungsi, adalah lapis-lapis yang saling berjalin membentuk makna yang menyeluruh.
Wayang Kulit dan Sumber-sumber Sejarahnya
Sejarah dan perkembangan wayang kulit purwa atau yang lebih dikenal dengan wayang kulit – baik bentuk maupun ceritanya – tidak terekam secara akurat dalam sumber-sumber sejarah. Ketidakakuratan ini menimbulkan spekulasi yang beraneka ragam. Mengenai asal-usul wayang misalnya, sebagian ahli dengan tegas menyatakan wayang adalah kesenian asli Indonesia. Teori yang paling populer menyatakan sebelum Hindu datang bangsa Indonesia telah mengenal pertunjukan bayang-bayang. Semula pertunjukan itu adalah pertunjukan ritual untuk pemujaan roh nenek moyang. Dalang yang berfungsi sebagai syaman memiliki tanggung jawab untuk melukiskan kehebatan nenek moyang yang kemudian ditampilkan dalam pertunjukan bayangan. Ketika percampuran Jawa-Hindu, sehingga wayang Jawa diisi dengan cerita-cerita  yaitu Mahābhārata dan Rāmāyaņa. 
Salah satu pakar yang mendukung teori di atas adalah Brandes yang menyatakan bahwa wayang tidak diturunkan dari salah satu jenis wayang lain di daratan Asia, tetapi ciptaan orang Jawa sendiri. Pendapat ini didasarkan pada penggunaan istilah-istilah yang berkaitan dengan panggung wayang yang tidak dipinjam dari bahasa lain, atau dengan kata lain istilah-istilah itu adalah istilah Jawa asli. Pendapat ini diperkuat Hazeu dengan mengungkapkan bahwa nama beberapa peralatan seperti wayang, kelir, blencong, kotak, dalang dan cempala tidak terdapat dalam bahasa Sansekerta. Nama-nama itu hanya terdapat di Jawa dan merupakan bahasa Jawa asli. Di samping alasan tersebut Hazeu juga memberikan argumen bahwa wayang berasal dari upacara penyembahan roh nenek moyang. Orang Jawa purba mempunyai kepercayaan menyembah roh nenek moyang yang dapat muncul kembali ke dunia dalam wujud bayangan. Untuk menghormati roh nenek moyang itu maka dibuatlah gambar-gambar yang menyerupai nenek moyang. Gambar-gambar itulah yang kemudian dijatuhkan di kelir. 
Pendapat yang senada dengan Brandes dan Hazeu dikemukakan oleh Rassers. Menurut Rassers wayang bermula dari totemisme di Jawa, yaitu suatu kepercayaan prasejarah yang percaya pada benda-benda keramat, oleh karena itu menurut Rassers wayang memang asli dari Jawa. Berdasarkan pandangan ini Rassers kemudian mengembangkan teori bahwa wayang adalah pertunjukan ritual yang memiliki fungsi tertentu yang berkaitan dengan inisiasi. Namun sayang sekali bahwa kajian lakon wayang yang digunakan untuk mendasari teorinya itu adalah lakon-lakon dari kasunanan Surakarta dan Astana Mangkunegaran yang terhitung masih sangat muda. Alasan lain dikemukakan oleh Kruyt yang mengatakan bahwa wayang berasal dari upacara shamanisme atau kepercayaan pada dukun. Dalang semula adalah shaman, sedangkan cerita dan nyanyian dalang semula adalah doa-doa yang diucapkan oleh shaman. 
Tidak sedikit pakar yang mengatakan bahwa wayang bukan berasal dari Indonesia. G. Schlegel misalnya, menyatakan bahwa wayang telah lahir di China sejak 140 tahun sebelum masehi pada masa pemerintahan kaisar Wu Ti. Bermula dari permintaan kaisar Wu Ti untuk dapat melihat istrinya yang telah meninggal, seorang pendeta membentangkan tabir dengan beberapa lampu sebagai penerang dan menampilkan gambar bayangan istri kaisar Wu Ti, sehingga sang kaisar berhasil melihat bayangan istrinya. Kejadian itu mendorong terciptanya pertunjukan bayang-bayang yang kemudian mengalami penyebaran ke India dan tempat-tampat lain termasuk Indonesia. B.M. Gosling menyatakan hal senada dengan menyamakan kata ringgit – bentuk krama dari wayang – dengan yunggih atau yunghi, pertunjukan wayang di Tiongkok. Seorang ahli dari China, Kwee Kek Beng juga menyamakan kata wayang dengan kata wa-yaah dalam bahasa Hokkian; wo-ying dalam bahasa Mandarin; serta wo-yong dalam bahasa Kanton yang semuanya berarti pertunjukan bayang-bayang. Namun data tertulis tentang pertunjukan bayang-bayang di China baru ditemui dalam sebuah karya ensiklopedi pada awal abad XII pada masa dinasti Sung. Jika pertunjukan bayang-bayang belum dikenal sebelum dinasti Sung maka pendapat mengenai asal-usul wayang dari China tidak dapat dipertahankan. Bahkan menurut Claire Holt justru proses sebaliknya layak dipertimbangkan mengingat sejak abad X lalu lintas laut antara China-Indonesia telah sangat berkembang. 
Selain di China pertunjukan bayang-bayang juga terdapat di Thailand yang disebut-sebut sebagai Nang atau Robam Nang Sbek Thom yang menggunakan wayang dengan ukuran sangat besar. Meskipun di Thai terdapat juga pertunjukan Nang Sbek Touch yang menggunakan wayang yang lebih kecil – mirip dengan ukuran wayang Indonesia – namun tidak ada pembuktian lebih lanjut mengenai kemungkinan wayang Indonesia berasal dari Thai. Bahkan para ahli berasumsi bahwa wayang Thai berasal dari Indonesia. Pendapat ini didasari sebuah paralel tentang persebaran cerita Panji yang meskipun terdapat di Thai tetapi beberapa nama tempat dan tokoh hanya bisa ditelusuri di Jawa. 
Pakar lain yang menyatakan bahwa wayang bukan asli dari Indonesia adalah Krom. Menurut Krom pertunjukan wayang Jawa berasal dari India. Selanjutnya wayang berkembang di Jawa dan Bali, dua daerah yang mendapat pengaruh kebudayaan India cukup kuat. Pendapat ini didasarkan pada beberapa sastra Sanskerta yang telah menyebut chāya-nāţaka, ‘panggung cahaya’. Menurut Krom kebanyakan lakon wayang kulit purwa adalah cerita yang dapat dikaitkan baik secara langsung maupun tidak dengan epos India Mahābhārata dan Rāmāyaņa. Namun Krom tidak menunjuk satupun panggung wayang atau prototipnya di India. 
Pendapat yang mengejutkan namun dapat dipertimbangkan kebenarannya adalah pendapat J.J. Ras yang menyatakan bahwa wayang kulit purwa memang berasal dari India. Ras menyarankan agar dalam penentuan asal-usul wayang tidak didasarkan pada hal-hal yang kabur seperti etimologi istilah ataupun struktur masyarakat Jawa Purba. Selanjutnya Ras memberikan beberapa pertimbangan sebagai acuan pendapatnya. Pertama, pertunjukan wayang Jawa berkaitan erat dengan wayang Bali yang disebut wayang parwa, wayang yang mengambil cerita dari epos Mahābhārata dan Rāmāyaņa. Kedua, wayang Bali memperlihatkan ciri yang nyata lebih arkais dari wayang kulit purwa baik mengenai bentuk maupun lakonnya. Ketiga, pertunjukan wayang kulit tidak hanya terdapat di Jawa dan Bali tetapi juga di Semenanjung Malaya (Kelantan dan Trengganu) dan di negeri Thai. Di kedua negara itu lakon yang dipentaskan dalam pertunjukan wayang yang paling utama adalah cerita Rama, cerita yang juga sangat terkenal di Jawa dan Bali. Keempat, adat untuk mengadakan pergelaran semalam suntuk – salah satu ciri pertunjukan wayang kulit purwa – tidak hanya terdapat di Jawa, melainkan di seluruh nusantara meskipun bentuknya bermacam-macam. Kelima, pertunjukan wayang kulit pernah ada, atau masih ada sampai sekarang meskipun merana di India. Pendapat ini didasari penelitian lapangan oleh Dr. Seltmann, seorang ahli dari Jerman yang berhasil menemukan beberapa rombongan wayang kulit yang mempergelarkan cerita Rama semalam suntuk di dua negara bagian India Selatan: Andhra Pradeś dan Kerala. Ciri-ciri khas yang terdapat pada wayang Thai, Melayu dan Bali semuanya dapat dikembalikan ke dalam bentuk wayang India Selatan itu. Tokoh panakawan yang sering disebut asli Indonesia ternyata juga ada jejak-jejaknya dalam wayang India Selatan itu. 
Menurut rekonstruksi Ras kira-kira pada abad VIII ketika Jawa dikuasai oleh dinasti Sanjaya yang beragama Siwa, rombongan wayang kulit dari India didatangkan dan mementaskan cerita Rama. Cerita Rama yang dipentaskan mungkin sekali adalah cerita dari India Selatan dan menggunakan bahasa Dravida, seperti bahasa Tamil, Telugu atau Malayalam. Menurut Ras masuk akal jika kemudian versi ini yang akhirnya di Jawa menjadi Rama Keling, sebuah cerita Rama tradisi Pasisiran. Sedangkan untuk cerita Mahābhārata Ras menghubungkannya dengan kegiatan resitasi Mahābhārata yang dilakukan oleh juru bhārata seperti yang disebutkan dalam prasasti Jawa Kuna yang berangka tahun 860 M. Kemungkinannya adalah pertunjukan wayang dengan cerita Mahābhārata dilakukan dengan bahasa Sansekerta kemudian diparafrasekan dalam bahasa Jawa Kuna, sebuah analogi yang didapat dari pertunjukan wayang parwa di Bali saat ini, di mana pertunjukannya menggunakan bahasa Jawa Kuna kemudian diparafrasekan dan diberi komentar dalam bahasa Bali melalui mulut panakawan. 
Pendapat Ras tersebut sejalan dengan apa yang diungkapkan Pischel yang melacak pertunjukan bayangan India sampai pada kitab Therigata Buddhis, kitab peraturan agama Buddha yang berbahasa Pali yang ditulis kira-kira pada abad I sebelum Masehi. Kitab ini sudah memuat istilah pertunjukan bayangan yang disebut rupparupakam. Pischel juga merujuk pada rupopajivani, sebuah teater dengan aktor boneka-boneka kulit. Chāya-nāţaka menurut Pischel adalah kesinambungan dalam bentuk sastra dari sebuah teater boneka bayangan rakyat. 
Stan Harding menyatakan hal yang hampir sama dengan pernyataan Ras di atas. Dengan mengamati pertunjukan bayangan yang ada di Kerala dapat ditarik kesejajaran teater bayangan itu dengan wayang Indonesia, yaitu dalam hal: pancaran kesucian (muatan ritual yang ada pada wayang); tema lakon (epos Rāmāyaņa); resitasi yang dinyanyikan (di Jawa sulukan misalnya); tipe boneka (kulit yang bertangkai); kehadiran dua bramana yang bertindak sebagai komentator (di Jawa dan Bali adalah Panakawan). Di samping itu juga diutarakan ciri-ciri yang tidak terdapat pada wayang Jawa dan Bali, yaitu tidak adanya musik instrumental serta narasi yang diucapkan dan dialog. Sedangkan boneka-bonekanya adalah figur-figur yang duduk. 
Spekulasi juga terjadi ketika orang berusaha mengungkap perkembangan bentuk wayang kulit purwa Jawa. Menurut Sunarto ada dua teori tentang perkembangan wayang. Pertama, teori yang berkaitan dengan masalah morfologi wayang yang menjelaskan bahwa wayang bermula dari gambar relief candi yang menceritakan wayang. Gambar relief itu kemudian dipindah dalam kertas atau kain sehingga menjadi wayang beber agar dapat dibawa ke mana-mana. Tokoh-tokoh yang ada dalam lukisan wayang beber itu kemudian dipisah-pisah dan dipahatkan pada kulit kerbau. Perkembangan selanjutnya terus terjadi hingga sampai pada bentuk wayang dengan tangan yang terpisah dan dapat digerakkan. Berkaitan dengan teori pertama ini Sudarso mencatat dua “teori evolusi” tentang perkembangan bentuk wayang. Pertama, pendapat yang didasarkan pada buku Kawruh Asalipun Ringgit Sarta Gegepokanipun Kaliyan Agami Ing Jaman Kina karya R.M. Mangkudimeja serta Serat Sastramiruda karya Pangeran Kusumadilaga bahwa wayang kulit berasal dari Mamenang pada masa pemerintahan Jayabaya tahun 939 Masehi. Bentuknya adalah lukisan pada daun lontar yang mengacu pada bentuk arca yang mendapat pengaruh kebudayaan Hindu. Tokoh yang digambarkan adalah para leluhur dan para dewa yang dilukiskan secara en face (Jawa: methok). Gambar pada daun lontar ini pada masa pemerintahan Prabu Bratana di Majapahit disalin dalam media kertas Jawa yang lebih longgar, sehingga menjadi wayang beber yang dapat digulung dan digelar. Pada jaman Demak bentuk wayang berubah menjadi en profil atau miring serta bagian-bagian tubuhnya dibuat panjang-panjang dan dipahatkan pada kulit kerbau. Kedua, pendapat yang mengatakan bentuk wayang berasal dari relief candi yang karena ingin dibawa ke mana-mana maka dikutip dalam media yang mudah dibeber. Maka jadilah wayang beber. 
Kedua, teori perkembangan wayang berdasarkan sumber-sumber sejarah yang lebih terpercaya. Sumber sejarah yang sering dikutip adalah Kakawin Arjunawiwāha – pupuh V: Sikarini, bait 9 – yang ditulis antara tahun 1028 sampai 1035 Masehi yang mengatakan bahwa pada saat itu sudah ada pertunjukan wayang dengan wayang yang terbuat dari kulit yang dipahat:

anânonton ringgit manangis asĕkĕl mudha hiděpan 
huwus wruh towin yan walulang inukir molah angucap
atur ning wwang tŗşņêng wişaya malahā tan wihikanhina
ri tattwanya-n māyā sahana-hana ning bhāwa siluman. 
(Arjunawiwāha, V: 9)
Terjemahan:
Ada orang menonton wayang, menangis, sedih, kacau hatinya.
Telah tahu pula, bahwa kulit yang dipahatlah yang bergerak dan bercakap itu.
Begitulah rupanya orang yang lekat akan sasaran indera, melongo saja, sampai tak tahu,
bahwa pada hakikatnya mayalah segala yang ada, sulapan belaka. 

Dengan disebutnya wayang yang terbuat dari walulang inukir dalam kitab Arjunawiwāha ini maka gugurlah teori yang pertama, karena ternyata wayang kulit tidak baru dibuat pada masa Prabu Jayabhaya (1130-1160 M). Bahkan pendapat bahwa wayang kulit berasal dari relief candi juga pantas diragukan, karena candi Jago dan candi Surawana yang sering dirujuk oleh para peneliti wayang baru dibuat dua abad setelah kakawin Arjunawiwāha. Soedarso justru berpendapat sebaliknya, wayang ada lebih dulu barulah adegan adegan wayang itu mengilhami para pemahat candi untuk melukiskan ornamen yang berupa relief adegan atau tokoh wayang. Ketika wayang beber baru berkembang pada jaman Prabu Bratana di Majapahit ternyata jauh sebelumnya yaitu pada masa pemerintahan raja Erlangga (1019-1042) telah ada bentuk wayang dari kulit yang diukir. Artinya mungkin wayang beber dan wayang kulit adalah dua jenis wayang yang hidup berdampingan, bukan merupakan perkembangan yang berifat kronologis. Hanya saja wayang kulit mampu bertahan hingga kini sedangkan wayang beber tidak mampu bertahan, sehingga yang sampai pada kita hanya beberapa gulung saja sebagaimana nasib yang sama juga menimpa jenis-jenis wayang yang lain di Jawa. 
Di samping kakawin Arjunawiwāha istilah walulang inukir juga terdapat dalam kitab Tantu Panggelaran yang ditulis pada tahun 1557, sebuah kitab berbahasa Jawa Pertengahan, bahasa yang berkembang pada jaman Majapahit:

Rěp sakşaņa bhaţāra Içwara Brahmā-Wişņu umawara panadah bhaţāra Kālarūdrā; tumurun maring madyapada hawayang sira, umucapakĕn tatwa bhaţāra mwang bhaţāri ring bhūwana. Mapanggung maklir sira, walulang hinukir maka wayangnira, kinudangan panjang langon-langon. Bhaţāra Hiçwara sira hudipan, rinaksa sira de hyang Brahmā Wişņu. Mider sira ring bhuwana masanggina hawayang, tinhěr habaņdagiņa hawayang; mangkana mula kacaritanya ngunī. 
Terjemahan:
Seketika Bhaţāra Içwara, Brahmā dan Wişņu segera menghalangi (melindungi) makanan Bhaţāra Kālarūdrā. Dia turun ke dunia mempertunjukkan /mempergelarkan wayang, menceritakan kesejatian Bhaţāra - Bhaţāri di bumi. Dia berpanggung tabir (kělir), kulit diukir sebagai wayangnya, diberi nama-nama (dibuat penokohan), dilagukan dengan indah mempesona. Bhaţāra Içwara sebagai dalang, dijaga oleh hyang Brahmā Wişņu. Berkelilinglah mereka di buana mempergelarkan keahliannya mewayang, kemudian membawa barang dagangan berupa keahlian mewayang , begitulah dahulu ceritanya. 

Adapun bentuk pertunjukan wayang kulit telah disebutkan dalam kakawin Bhāratayuddha yang digubah pada tahun 1157 Masehi:
Tekwan ri lwah ikang taluktakatarik sāksāt salunding wayang,
Pring bungbang muni kānginan manguluwung yekāntudungnyāngiring,
Gending strīnya pabandungi prasamaning kungkang karőngwing jurang,
Cenggeretnya walangkrikatri kamanak tanpāntara ngangsyani.
(Bhāratayuddha, L: 5). 
Terjemahan:
Lagi pula di sungai-sungai kicir-kicir berbunyi seperti gender wayang,
Bambu yang berlubang berbunyi tertiup angin berdengung-dengung itulah seruling pengiringnya,
Nyanyian waranggananya ialah suara bersama katak-katak yang terdengar dari dalam jurang,
Suara cenggeret dan belalang kerik riuh tak henti-henti seperti suara kemanak dan kangsi. 

Bait di atas memberikan gambaran tentang pertunjukan wayang yang diiringi dengan alat musik salunding; seruling; kemanak dan kangsi. Istilah salunding oleh Padmapuspita disamakan dengan slunding, yaitu komposisi instrumen pengiring wayang parwa – wayang kulit yang mementaskan lakon Mahābhārata – di Bali yang terdiri dari sepasang gender barung yang disebut pangumbang dan sepasang gender penerus yang disebut pangingsep. Untuk mengiringi wayang kulit Rāmāyaņa di Bali digunakan gamelan yang lebih lengkap, yaitu slunding ditambah lagi dengan beberapa instrumen. Dengan demikian apa yang tergambar dari kakawin Bhāratayuddha itu kemungkinan adalah wayang kulit Rāmāyaņa karena komposisi instrumen pengiringnya yang tidak hanya menggunakan slunding. Dugaan ini seiring dengan studi yang dilakukan oleh R.M. Soedarsono tentang wayang wong. Menurut Soedarsono berdasarkan prasasti Wimalasrama dari Jawa Timur, wayang wong telah ada sejak tahun 930 Masehi. Keberadaan wayang wong di masa lampau itu bisa dilacak melalui adegan-adegan yang terpahat di relief-relief candi yang ternyata masih dapat dilihat dalam pertunjukan wayang wong di Bali sampai saat ini. Jika temuan ini dianalogikan dalam kasus wayang maka didapat simpulan wayang kulit Jawa masa lampau kurang lebih seperti mirip dengan relief-relief candi Jawa Timur yang sampai saat ini masih diabadikan dalam wayang kulit yang ada di Bali. Simpulan ini diperkuat dengan pendapat Soedarsono bahwa wayang kulit dan wayang wong berkembang berdampingan dan karakterisasi wayang wong berkiblat pada wayang kulit. 
Pendapat para pujangga seperti Kusumadilaga dalam Serat Sastramiruda tentu saja tidak sepenuhnya salah tetapi harus ditafsirkan secara kritis seperti yang ditawarkan oleh Ras:
...maka kita dapat menerima pula tradisi lisan Jawa yang ditetapkan dalam Serat Sastramiruda tentang asal-mulanya panggung wayang di pulau Jawa. Dalam Serat Sastramiruda a.l. diterangkan bahwa tradisi wayang purwa timbuldalam abad ke-10 Masehi di jaman raja Jayabaya dari Kediri. Keterangan ini menurut pendapat saya harus ditafsirkan sbb. Pada awal jaman kerajaan Jawa Timur, di abad ke-10 itu, penjawaan panggung wayang kulit yang diterima dari India itu telah selesai dan dilangsungkan dengan dorongan dari pihak kraton. Tradisi India bergandi menjadi tradfisi Jawa kuno, serupa pula dengan tradisi arsitektur candi dan relief-relief yang memperlihatkan pergantian tradisi gaya Jawa Tengah, yang masih dekat pada gaya India, kepada gaya Jawa Timur, dengan apa yang pernah disifatkan sebagai gaya wayang. 
Dengan tidak bermaksud mengesampingkan temuan-temuan para ahli tentang perkembangan bentuk wayang, maka sampai saat ini sebenarnya hal itu masih gelap dikarenakan miskinnya data.

Ikonografi Wayang Bukan Sekedar Wanda
Menurut Soedarso bentuk wayang yang unik itu adalah hasil evolusi dalam jangka waktu yang sangat panjang. Semula bentuk wayang adalah en face, kemudian berubah menjadi en trois quart dan akhirnya menjadi en profil seperti yang dapat kita lihat sekarang. Evolusi itu tidak lepas dari perubahan kondisi sosial budaya yang terjadi pada masanya. Selain berpengaruh pada wayang kondisi sosial budaya juga berpengaruh pada bentuk-bentuk seni yang lain, misalnya terjadinya perubahan langgam relief candi Jawa Tengah yang realistik naturalistik ke langgam Jawa Timur yang dekoratif. Perubahan terakhir bentuk wayang kulit ditengarai oleh para ahli disebabkan oleh masuknya Islam, sehingga langgam wayang yang realistik- naturalistik (en face) menjadi abstrak dekoratif dan abstrak simbolik. 
Wayang adalah gambar yang dalam teori seni rupa disebut ideoplastik, bukan visioplastik. Artinya, gambar itu terlahir bukan dari pengamatan visual tetapi merupakan ekspresi dari pembuatnya. Dengan analogi teori Herbert Read, Soedarso menegaskan bahwa wayang berasal dari alam, kemudian ditransfer dalam bentuk gambar tetapi tidak melalui pengamatan visual. Wayang adalah ekspresi dari yang dilihat, didengar dan dipahami oleh penciptanya. Hadirnya bentuk yang unik itu disebabkan si pencipta ingin merekam alam selengkap-lengkapnya. Oleh karena itu tidak aneh jika lima jari kaki dilukiskan apa adanya. 
Wayang adalah manifestasi multi seni. Di dalamnya terdapat kebulatan, kesatuan dalam penciptaan, penyajian dan pemirsaan. Wayang dibuat untuk dipentaskan, sehingga perubahan yang terjadi pada satu unsurnya akan terasa pengaruhnya pada unsur lain. Kebulatan ini kemudian disepakati dan dipahami bersama sebagai sesuatu yang sempurna. Wayang adalah simbol yang telah disepakati, oleh karena itu akan melahirkan kontroversial. Perubahan itu akan membentuk sesuatu yang baru, bukan menyempurnakan yang telah ada, seperti yang pernah dilakukan oleh Sukasman. Simbol-simbol pada wayang yang dicoba digantinya justru melahirkan wayang jenis baru yang dikenal dengan wayang ukur, bukan wayang kulit gagrag Yogyakarta lagi. 
Penciptaan bentuk wayang dilandasi oleh pikiran kebaktian agama. Pertunjukannyapun semula juga dipergelarkan dalam rangka persembahan kepada tuhan. Hal ini dapat dilacak pada prasasti Balitung yang diterbitkan pada tahun 907 M. Religi, mistik dan magi membaur dalam pertunjukan wayang. Dari kenyataan ini sangat dimungkinkan bentuk wayang itu adalah manifestasi dari konsep-konsep religi, mistik dan magi, yang terdapat dalam pikiran pembuatnya. 
Bentuk boneka wayang kulit adalah penggambaran aspek lahiriah manusia dan sekaligus gambaran sebuah konsep yang non material. Bentuk-bentuk hidung, mulut, mata, tangan, jelas menggambarkan karakter tertentu. Di samping itu juga terdapat simbol-simbol dari konsep yang berupa kedudukan atau karena statusnya yang setengah dewa, misalnya tanda garis di leher, gurdha, praba dan makutha. Pendeknya, apa yang dapat dilihat pada bentuk wayang kulit adalah ikon. Wayang adalah kumpulan ikon yang kadang-kadang jauh dari sifat manusiawi. Oleh karena itu interpretasi terhadap simbol-simbol ini yang hanya mengedepankan sisi manusiawi saja, tidak akan membawa hasil yang memuaskan.
Studi tentang wanda memang banyak dilakukan, tetapi hanya berkaitan dengan fungsi dan teknis pembuatannya; variasi wanda yang dimiliki oleh satu tokoh wayang berkaitan dengan caking pakeliran, misalnya wanda a untuk adegan ini, wanda b untuk adegan itu, dan sebagainya. Ikon-ikon yang berupa atribut juga beberapa kali disebut oleh beberapa peneliti, misalnya makutha menandakan golongan raja, praba menandakan status terhormat, dan sebagainya. Tetapi pertanyaan: mengapa tokoh Werkudara memakai gelung minangkara, mengapa Yudhistira tidak mengenakan mahkota, padahal ia tergolong raja besar, dan pertanyaan-pertanyaan semacamnya, belum ada jawabannya.
Satu tokoh wayang kadang-kadang memiliki beberapa variasi bentuk, baik yang menyangkut ciri-ciri fisik maupun atributnya. Secara fungsi dapat diambil kesimpulan sementara bahwa variasi itu berkenaan dengan caking pakeliran. Pertanyaannya adalah: mengapa berubah? Atau secara lebih mendalam lagi: mengapa tokoh yang semula seperti ini untuk satu kepentingan pakeliran berubah menjadi bentuk lain? Inilah yang harus dicari jawabannya.

Menurut Soedarsono pahlawan-pahlawan utama dalam wayang kulit memiliki variasi. Variasi itu menandai umur, status atau keadaan emosi tertentu yang dikenal dengan wanda. Secara umum setiap pahlawan itu memiliki tiga wanda yang menandai tiga suasana perasaan yang berbeda dari manusia. Jika dicermati lebih jauh ternyata perbedaan ikonografis pada satu tokoh wayang kulit gaya Yogyakarta ternyata tidak hanya meliputi wanda saja. Terdapat juga perubahan ikonografis yang tidak bisa digolongkan dalam variasi wanda. Perbedaan-perbedaan itu jika dihubungkan dengan naratif yang mendukungnya dapat digolongkan karena beberapa penyebab, antara lain:

1. karena suatu peristiwa tertentu, misalnya Kumbayana menjadi Drona atau Trigantalpati menjadi Sengkuni, karena dihajar oleh Gandamana; Gunawan Wibisana ketika masih bersama saudara-saudaranya menjadi Gunawan setelah menyeberang ke pihak Rama.
2. karena menyamar, misalnya Werkudara ketika menyamar di kerajaan Wiratha menjadi Bilawa.
3. karena kedudukan, misalnya Basudewa sebelum dan sesudah menjadi raja.
4. karena marah atau karena kondisi tertentu, misalnya pada Puntadewa dan Kresna jika sedang marah akan menjadi raksasa yang sangat besar (triwikrama).
5. karena usia, misalnya para pandawa muda ketika belum menempati kerajaan Ngamarta menjadi pandawa tua setelah menempati kerajaan Ngamarta.
Macam perubahan yang terjadi karena penyebab-penyebab di atas dapat di tarik garis besar:
1. perubahan atributnya saja, misalnya para pandawa muda menjadi para pandawa tua.
2. perubahan bentuk dan sikap disertai perubahan atributnya, misalnya Suryatmaja yang semula bermuka luruh dan mengenakan gelung supit urang serta pocong sembuliyan, menjadi Karna yang yang bermuka longok dan mengenakan topong serta pocong semen ningrat.
3. perubahan total, misalnya Kresna pada waktu triwikrama.
Penelitian ini akan difokuskan pada perubahan ikonografi yang terjadi karena usia. Tidak semua tokoh wayang mengalami perubahan ketika tampil di usia muda maupun di usia tua. Beberapa tokoh Kurawa misalnya, adalah tokoh-tokoh yang tidak mengalami perubahan. Bentuk wayang yang digunakan sama untuk lakon-lakon yang mengisahkan Kurawa muda dan Kurawa tua. Panakawan termasuk dalam golongan ini. Tokoh-tokoh abdi ini tidak mengalami perubahan bentuk yang disebabkan oleh usia. Tokoh-tokoh yang mengalami perubahan ikonografi yang disebabkan karena usia misalnya:
Dewabrata menjadi Bisma
Pinten menjadi Nakula
Tangsen menjadi Sadewa
Sumantri menjadi Suwanda
Suryatmaja menjadi Karna
Narayana menjadi Kresna
Kakrasana menjadi Baladewa
Kangka menjadi Puntadewa
Permadi menjadi Janaka
Wijasena menjadi Werkudara
Perubahan yang terjadipun bervariasi, misalnya: Suryatmaja yang semula tidak berkumis menjadi berkumis setelah menjadi Karna; Dewabrata yang semula bermata gabahan menjadi kedhelen, berkumis dan berjanggut setelah menjadi Bisma; sikap badan bawah yang semula pocong sembuliyan menjadi jangkahan setelah menjadi tokoh tua, dan perubahan-perubahan lain.
Dari kenyataan adanya tokoh wayang yang berubah dan tidak berubah sudah menimbulkan pertanyaan: Mengapa ada tokoh-tokoh yang berubah, sementara tokoh-tokoh lain tidak berubah? Jika pertanyaan itu diperdalam lagi maka akan lahir pertanyaan lagi: mengapa tokoh-tokoh wayang mengalami perubahan ikonografis menjadi bentuk-bentuk yang bervariasi? Dalam rangka kronologi lakon, kapan dan pada peristiwa apa tokoh-tokoh tertentu berubah? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan harus dicari jawabannya.

Beberapa Kajian Ikonografi Wayang
Claire Holt dalam buku Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia yang diterjemahkan oleh Soedarsono (2000), menyinggung beberapa persoalan yang berkaitan dengan ikonografi wayang yang ruwet. Ikonografi wayang menandai peranan fungsional status hierarkis dan temperamen, kadang-kadang juga usia serta keadaan dan suasana hati ksatriya. Beberapa ciri fisik seperti tinggi, postur, bentuk mata, bentuk hidung dan bentuk torso serta sikap-sikap menandai keadaan jasmani dasar. Sedangkan peranan dan status fungsional ditandai oleh busana, hiasan serta atribut-atribut yang dikenakan. Bentuk hidung dan mulut yang dikombinasikan dengan variabel postur dari kepala menandai sifat-sifat dasar bagi para ksatriya. Kombinasi ini juga menentukan suara dan tangga nada suara dalang saat menyuarakan tokoh-tokoh wayang. Para ksatriya yang sangat muda digambarkan dengan wajah miring ke depan, seolah-olah hidung mancung mereka sedang menghirup udara. 
Hiasan kepala bisa membantu untuk menentukan peranan fungsional sereta status ksatriya. Warna wajah dikatakan mengacu pada aspek yang berbeda dari seorang ksatriya atau tingkatan-tingkatan dalam hidupnya, meskipun penggunaannya masih sering membingungkan. Pada tokoh Arjuna, warna wajah menandakan usia dan keadaan jiwa. Hiasan yang berupa praba juga masih merupakan misteri. Hiasan yang berbentuk seperti sayap ini disamakan dengan sinar kebesaran bagi seorang tokoh, tetapi mengapa diterapkan tidak pada semua tokoh-tokoh penting, tidak diketahui alasannya. Demikian pula dengan atribut lain seperti garudha mungkur. Saat ini atribut-atribut itu hanya membantu untuk mengidentifikasi tokoh-tokoh yang telah dikenal memilikinya. 
Berbagai ciri ikonografis menurut Holt tidak bisa diinterpretasi terpisah. Setiap ciri harus dihubungkan dengan keistimewaan-keistimewaan lain untuk sampai pada karakterisasi yang penuh arti. Ikonografi membantu orang untuk mengidentifikasi keadaan dalam diri seorang ksatriya. 
Sunarto dan Sagio dalam buku Wayang Kulit Gaya Yogyakarta: Bentuk dan Ceritanya, menguraikan ciri-ciri ikonografi wayang gaya Yogyakarta yang membedakan dengan gaya yang lain. Ciri ciri ini meliputi posisi kaki, bentuk tubuh, ukuran tangan dan bahu, tatahan dan sunggingan, serta warna siten-siten. Diuraikan juga secara detil ikonografi mulai dari bentuk hidung, mata, mulut, hiasan, sikap dan bentuk tubuh serta warna wajah. Buku ini juga mencantumkan daftar wanda – satu ciri ikonografis yang paling banyak dibicarakan orang – dan penggunaannya. 
Buku ini tidak memberikan informasi mengenai perubahan-perubahan ikonografi yang berkaitan dengan usia tokoh secara eksplisit, namun disebutkan adanya golongan wayang bambangan, yang menyiratkan tokoh yang berusia muda, tanpa dikaitkan dengan penggunaannya. Buku ini juga memaparkan tokoh wayang satu persatu, meliputi ciri ikonografisnya serta naratifnya meskipun hanya sekilas saja.
Satu buku lagi yang membahas sekilas tentang ikonografi wayang adalah tulisan Soedarsono, Wayang Wong: Drama Tari Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta (1997). Meskipun buku ini tidak membahas ikonografi wayang secara khusus, namun dapat memberikan arah penelitian ikonografi wayang kulit. Busana dan hiasan dalam wayang wong mengambil model busana dan hiasan yang terpahat pada wayang kulit, meskipun pada beberapa bagian terkesan lebih disederhanakan. Oleh karena itu penelusuran ikonografi wayang wong sampai pada relief candi atau bentuk-bentuk artefak lain yang dilakukan oleh Soedarsono perlu dipertimbangkan dalam penelitian tentang ikonografi wayang kulit. 

Ke-Hindu-an Wayang
Pengaitan ikonografi wayang dengan Hinduisme bisa menjadi pijakan ke arah penelitian ikonografi wayang kulit secara lebih mendalam. Bentuk hiasan garudha mungkur yang mengambil bentuk dasar burung garuda, yang dipakai oleh tokoh Rama disebabkan Rama adalah reinkarnasi Wisnu. Garuda adalah kendaraan Wisnu. Dalam hal ini orang akan segera maklum karena Rama secara umum telah diketahui sebagai reinkarnasi Wisnu. Namun pada kenyataannya hiasan garudha mungkur juga dikenakan oleh tokoh-tokoh yang tidak dikenal sebagai reinkarnasi Wisnu, misalnya tokoh Sugriwa. Kenyataan ini mengharuskan peneliti mengupas secara mendalam tokoh Sugriwa yang barangkali dapat diduga menyimpan aspek-aspek Wisnu atau Waisnawa. 
Soedarso Sp. dalam pidato ilmiahnya yang berjudul “Morfologi Wayang Kulit: Wayang Kulit dipandang dari Jurusan Bentuk” (1987), mengupas masalah misteri ikonografi dari sudut pandang seni rupa. Menurutnya ikonografi wayang kulit mengalami perkembangan bentuk yang cukup rumit. Bentuk yang semula en face berkembang menjadi en trois quart, lalu berkembang lagi menjadi profil seperti yang dapat dilihat sekarang. Bentuk wayang kulit ini bukan rekaman hasil pengamatan visual ataupun ekspresi sang penggubah, melainkan ungkapan dari apa yang diketahui oleh si seniman. Bentuk yang demikian ini disebut ideoplastik. 
Bentuk-bentuk wayang sebagai produk seni rupa didasari oleh empat hal, yaitu:
1. Kenyataan bahwa seni rupa Indonesia tidak punya tradisi realistik.
2. Adanya keinginan untuk secara ideoplastik lebih menyesuaikan bentuk-bentuk wayang dengan bentuk manusia secara utuh.
3. tuntutan teknis pakeliran wayang kulit memerlukan bentuk-bentuk yang cocok untuk digerakkan di atas layar.
4. adanya kehendak untuk menyesuaikan diri dengan agama dan kebudayaan Islam. 
Ikonografi wayang kulit adalah produk inteleksi, bukan produk visual. Di dalamnya penuh dengan perlambangan dan simbol yang telah menjadi kesepakatan bersama. Simbol-simbol itu bukan menggunakan bahasa visual, melainkan kasat mata. 
Studi ikonografi pada dasarnya adalah studi tentang lambang. Pierce membedakan lambang menjadi tiga jenis: ikon (lambang yang wujudnya menyerupai yang dilambangkan); indeks (tanda yang menunjukkan akan adanya sesuatu yang lain); simbol (lambang yang tidak menyerupai yang dilambangkan). Studi ini akan mengungkap konsep yang terlambangkan oleh ikonografi wayang.
Pemahaman ikonografi tokoh-tokoh wayang sebagai transformasi dari Mahabharata (dan Ramayana), berarti pemahaman terhadap tokoh-tokoh wayang itu. Studi tentang tokoh-tokoh wayang ini akan mengambil model studi tokoh-tokoh Mahabharata yang telah dilakukan oleh Alf Hiltebeitel. Tokoh-tokoh Mahabharata adalah transposisi tokoh-tokoh mitis (dewa-dewa). Transposisi ini dikenal dalam dua cara, yaitu melalui jalur kinship (kekerabatan) dan jalur avatara. Jika tokoh-tokoh Mahabharata dan sepak terjangnya hanya dipahami secara manusiawi maka akan ditemui banyak kebuntuan. Untuk mengatasi kebuntuan itu harus diurai dengan metodological decoding (pendekatan metodologis). Hiltebeitel mengusulkan tiga pendekatan yang harus ditempuh untuk benar-benar mendapatkan hasil yang memuaskan. Pertama adalah pendekatan epik. Jika terdapat kebuntuan pada jalur epik ini maka bisa dicari jalan keluarnya melalui pendekatan kedua dan ketiga, yaitu pendekatan mite dan ritual. 
Contoh yang dikemukakan oleh Hiltebeitel adalah studi tentang tokoh Krishna. Pada kenyataannya Krishna yang mengendarai kereta berkuda empat pada waktu akan mengambil kembali Hastinapura, adalah perwujudan Wisnu sebagai penguasa kala: Trtayuga, Dvaparayuga, Kaliyuga dan Krtayuga, oleh karena itu ia menguasai dunia dan jika mau dengan sekali tebas Kaurava habis di tangannya. Krishna adalah ahli maya, maka ia adalah ahli siasat. Krishna adalah avatara Wisnu, yang akan selalu turun ke dunia setiap kali dunia dalam keadaan krisis darma. 
Perbedaan antara level epik dan mite terutama terletak pada konsekuensi-konsekuensi tokoh. Jika dalam epik sang tokoh harus berhadapan dengan hasil perbuatan (karman), maka keadaan semacam itu tidak dihadapi oleh para dewa dalam tataran mite. Hiltebeitel tidak memusatkan perhatiannya pada tataran manusiawi secara lebih eksplisit tokoh-tokoh Mahabharata. Ia lebih tertarik untuk mengungkapkan masalah-masalah epik yang berkaitan dengan masalah-masalah mitis. Semua epik memasukkan dimensi-dimensi tertentu, oleh karenanya aspek heroik dan aspek manusiawi tidak dipisahkan. 
Terlepas dari mana asal wayang, ada sebuah kenyataan yang tidak bisa disangkal: wayang adalah seni Jawa yang kental warna Hindu-nya. Menurut Krom kebanyakan lakon wayang kulit purwa adalah cerita yang dapat dikaitkan baik secara langsung maupun tidak dengan epos India Mahābhārata dan Rāmāyaņa. 
Ke-Hindu-an wayang ini dapat dimengerti karena Jawa mengalami dua kali mutasi. Mutasi pertama benar-benar menyentuh Jawa dan Bali. Mutasi pertama ini adalah Indianisasi. Gelombang kebudayaan pertama yang andil dalam membentuk budaya Indonesia adalah pengaruh dari India. Dampak dari pengaruh ini begitu mengakar dalam kehidupan, tidak luput juga dunia seni. Seni bangunan yang merupakan pengejawantahan konsep-konsep religi, seni patung, relief, candi, adalah bukti yang jelas dari pengaruh ini. Barabudur adalah karya termegah warisan budaya Hindu-Buddha. Peradaban Jawa Tengah Kuna abad VIII-IX, kemudian pusat-pusat pemerintahan bergeser ke Jawa Timur, mulai dari Sindok (929-947); Airlangga (1019-1047); Kediri (1045-1222); Singasari (1222-1292); Majapahit (1292-1478). Masa-masa ini banyak melahirkan peninggalan seni yang diwarnai olah Hindu dan Buddha. Seni sastra juga berkembang pesat. Karya-karya berbahasa Sansekerta diterjemahkan atau ditransformasi dalam beberapa jenis sastra dan seni. 
Atas dasar tersebut di atas, ikonografi wayang tidak akan terlepas dari Hinduisme, karena bagi para penganut Hindu yang taat, Mahabharata adalah hiburan yang sekaligus berfungsi sebagai alat untuk berkomunikasi dengan tuhan. 

KEPUSTAKAAN
Anderson, Benedict, R.O’G. Mitologi dan Toleransi Orang Jawa, Yogyakarta: Qalam, 2000. 
Brandon, James R. (terjemahan R.M. Soedarsono). Jejak-jejak Seni Pertunjukan di Asia Tenggara, Bandung: P4ST UPI, 2003.
Ferdinandus, Pieter Eduard Johannes. Alat Musik Jawa Kuno, Yogyakarta: Yayasan Mahardika, 2003.
Groenendael, Victoria M. Clara van. Dalang di Balik Wayang, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1987. 
Gunning, J.G.H. Bhāratayuddha: Oudjavaansch Heldendicht, Leiden: ‘S. Gravenhage Marinus Nijhoff, 1903.
Haryanto, S. Pratiwimba Adiluhung: Sejarah dan Perkembangan Wayang, Jakarta: Penerbit Djambatan, 1988.
Hiltebeitel, Alf. The Ritual of Battle; Krishna in The Mahabharata, Albany: State University of New York Press, 1990.
Holt, Claire (terjemahan R.M. Soedarsono). Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, Bandung: Arti Line untruk MSPI, 2000.
Kartodirdjo, Sartono. Pendekatan Ilmu-ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993.
Katz, Ruth Cecily, Arjuna in The Mahabharata: Where Krishna Is, There Is Victory, Columbia: University of South Carolina Press, 1989.
Lombard, Denis. Nusa Jawa Silang Budaya: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris (jilid III), Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005. 
Mulder, Niels (terjemahan Noor Cholis). Mistisisme Jawa; Ideologi di Indonesia, Yogyakarta: LKiS, 2001.
Mulder, Niels. Pribadi dan Masyarakat di Jawa, Jakarta: Sinar Harapan, 1996.
Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif; Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003.
Mulyono, Sri. Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang, Jakarta: Gunung Agung, 1983.
Murtono, Soemarsaid. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau; Studi Tentang Masa Mataram II Abad XVI Sampai XIX, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985. 
Nurhajarini, Dwi Ratna dan Suyami. Kajian Mitos dan Nilai Budaya dalam Tantu Panggelaran, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1999.
Padmapuspita, J. “Wayang dari Abad ke Abad. Sari Prasaran Diskusi Pewayangan: Beberapa Sorotan Tentang Wayang”, Yogyakarta, 1976.
Pamberton, John (terjemahan Hartono Hadikusumo). Jawa; On The Subject of Java, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2003. 
Peursen, C. A. Van (terjemahan Dick Hartoko). Strategi Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius; Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985. 
Pudentia MPSS (editor). Metodologi Kajian Tradisi Lisan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998. 
Ras, J.J. “Sejarah Perkembangan Wayang Kulit”, Paper Diskusi Pewayangan, Yogyakarta, 23 April 1976.
Saifuddin, Achmad Fedyani. Antropologi Kontemporer; Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma, Jakarta: Kencana, 2006.
Senawangi (Tim Penulis). Ensiklopedi Wayang Indonesia (6 jilid), Jakarta: Senawangi, 1999.
Soedarso Sp. “Morfologi Wayang Kulit: Wayang Kulit dipandang dari Jurusan Bentuk”, Pidato Ilmiah Pada Dies Natalis Ketiga Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 25 Juli 1987.
Soedarsono, R.M. Metodologi Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Bandung: MSPI, 2001. 
Soedarsono, R.M. Seni Pertunjukan dari Perspektif Politik, Sosial dan Ekonomi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003. 
Soedarsono, R.M. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002. 
Soedarsono, R.M. Wayang Wong: Drama Tari Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1997.
Soetarno. Wayang Kulit Jawa, Surakarta: CV. Cendrawasih, 1995.
Sunarto dan Sagio. Wayang Kulit Gaya Yogyakarta: Bentuk dan Ceritanya, Jakarta: Kantor Perwakilan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta, 2004.
Sunarto. Seni Gatra Wayang Kulit Purwa, Semarang: Dahara Prize, 1999.
Suseno, Franz Magnis. Etika Jawa; Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003. 
Teeuw, A., Sastra dan Ilmu Sastra, Jakarta: Pustaka Jaya, 1984.
Umar Kayam. Kelir Tanpa Batas, Yogyakarta: Gama Media, 2001.
Walujo, Kanti. Dunia Wayang: Nilai Estetis, Sakralitas dan Ajaran Hidup, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2000.
Wiryamartana, I. Kuntara. Arjunawiwāha: Transformasi Teks Jawa Kuna Lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa, Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1990.
Yudoyono, Bambang. Gamelan Jawa: Awal Mula, Makna, Masa Depannya, Jakarta: P.T. Karya Unipress. 1984.
Zoetmulder, P.J. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang, terjemahan Dick Hartoko, cetakan kedua, Jakarta: Penerbit Djambatan, 1985

Wayang Beber

Wayang Beber merupakan wayang tertua di Indonesia. Sedangkan, wayang kulit merupakan bentuk modifikasi dari wayang Beber.
Penamaan wayang Beber berasal dari cara memainkannya. Pertunjukan wayang ini dilakukan dengan membeberkan atau membentangkan layar atau kertas yang berupa gambar. Wayang ini dimainkan dengan cara menguraikan cerita lakon melalui gambar yang tertera pada kertas atau layar tersebut.

Wayang beber tertua terdapat di Desa Karang Talun, Kelurahan Kedompol, Kecamatan Donorojo, Pacitan, Jawa Timur. Lalu, di Desa Gelaran, Kelurahan Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo (Wonosari), Gunungkidul, Yogyakarta. 
Di Pacitan, wayang beber disimpan dan dilestarikan oleh Mbah Mardi. Diceritakan, wayang beber ini adalah hadiah dari Raja Brawijaya yang diwariskan secara turun temurun. 
Sedangkan di Wonosari, pemilik wayang beber adalah Ki Supar yang merupakan keturunan ketujuh Kyai Remeng Mangunjaya.

Kedua wayang ini memiliki persamaan, yaitu sama-sama melakonkan cerita pada masa kerajaan Kediri dan Majapahit. Sedangkan perbedaannya terletak pada tokoh-tokoh pada gambar dan latar belakang.
Selain di kedua tempat tersebut, wayang beber juga terdapat di Bali. Kisah pada wayang beber Bali sama dengan ketika Raja Brawijaya berkuasa.
Wayang Beber Kontemporer 
Seiring waktu, perkembangan zaman menuntut wayang beber untuk turut menyesuaikan. Kemudian, muncul wayang beber kontemporer. Bentuk karakter wayang berubah dan semakin bervariasi. Cerita wayang juga mengalami perubahan. Wayang klasik baisa menyajikan cerita Mahabharata dan Ramayana. Sekarang wayang kontemporer lebih menonjolkan cerita tentang kehidupan masyarakat saat ini. 
Dalam pertunjukanya wayang kontemporer berperan penting dalam menanggapi dan mengkritisi kondisi masyarakat saat ini dalam bidang politik, pemerintahan, ekonomi, pembangunan dan sosial budaya.

Sebut saja Dani Iswardana, pencetus wayang beber kontemporer pada 2005. Pementasan pertama kalinya diselenggarakan di Balai Soedjatmoko, Solo. Wayang beber gagasan Dani lebih mengarah kepada cerita dengan muatan kritik sosial.
Berbeda lagi dengan wayang beber kontemporer yang dilestarikan oleh komunitas Wayang Beber Metropolitan, Jakarta. Lakon yang dibawakan merupakan kisah kehidupan di Jakarta lengkap dengan isu-isu perkotaan dan solusi yang diwacanakan.

Wayang Beber Metropolitan bukan wayang yang bisa berdiri sendiri dengan tema dan bentuk yang sudah ada. Namun, terbentuk dari berbagai unsur seni dan unsur pementasan. Mereka juga menggunakan berbagai fenomena yang ada pada masyarakat modern untuk menentukan bentuk wayang yang akan ditampilkan dalam sebuah pertunjukan.

Bentuk Wayang Beber Metropolitan secara fisik banyak berubah bentuk dari tradisi. Meski banyak perubahan, ciri khas wayang beber masih terlihat jelas. Yakni, adanya gambar yang berisi cerita wayang dan berbentuk gulungan gambar. 
Begitu juga dalam pertunjukan, gulungan gambar tersebut dipasangkan pada tongkat seligi. Gulungan itu ditancapkan pada kotak ampok. Bila akan diceritakan, gulungan gambar diperlihatkan dan diputar sesuai dengan gambar yang akan diceritakan. 

Teknik pewarnaan masih menggunakan teknik sungging yang merupakan teknik baku dalam pembuatan wayang beber klasik. Berbagai karakter atau tokoh-tokoh dalam ramadhan dibuat dengan mewujudkan sosok yang bahkan belum ada klasik.

Awal Mula Wayang Beber
Wayang beber melewati masa demi masa. Dari masa kerajaan sampai kemerdekaan. Berikut perkembangan melalui urutan tahun masehi:
1223 M: Pada zaman Kerajaan Jenggala, wayang beber merupakan gambar-gambar pada daun siwalan atau lontar. 
1244 M: Wayang Beber mulai digambar di atas kertas yang terbuat dari kayu dengan penambahan berbagai ornamen. Ini bertepatan dengan pemindahan keraton Kerajaan Jenggala ke Pajajaran. 
Kertas tersebut dinamakan dlancang gedog dengan warna kekuningan. Pada masa ini, wayang beber masih disebut wayang purwa dengan pewarnaan hitam dan putih.
1316 M: Pada Zaman Kerajaan Majapahit dipimpin oleh Jaka Susuruh, kertas wayang mulai dipasangi tongkat kayu pada setiap ujungnya. Tongkat ini mempermudah penggulungan dan penyimpanan. Lebih nyaman untuk dipegang, dibuka, dan dipajang ketika pementasan. Pada masa ini, nama wayang beber mulai digunakan.
1378 M: Raja Brawijaya V meminta Raden Sungging Prabangkara (anak ketujuh) untuk menciptakan wayang beber purwa baru. Dalam perkembangannya, terdapat tiga set cerita dengan pewarnaan yang lebih beragam dan penggambaran yang kentara antara raja dan punggawa. Ketiga cerita tersebut adalah Panji di Jenggala, Jaka Karebet di Majapahit, dan Damarwulan.
1518 M: Pada masa kejayaan Kesultanan Demak, wayang beber berubah. Wayang beber dimodifikasi menjadi ilustrasi manusia dan hewan yang dibuat miring. Pada perkembangannya, para wali membuat wayang purwa yang terbuat dari kulit seperti yang dikenal hingga sekarang. 

Modifikasi ini disebabkan oleh ketidaksesuaian dengan hukum fikih, yaitu penggunaan lukisan karakter yang sama dengan bentuk asli. Selanjutnya, wayang kulit ini yang digunakan para wali untuk mendakwahkan Islam. 
Sunan Bonang membuat Wayang Beber Gedog dengan kisah Panji Asmorobangun dan Dewi Sekartaji.
1690 M: Wayang beber diciptakan lagi ketika Kerajaan Kartasura dipimpin oleh Mangkurat II. Lakon yang dimainkan adalah Joko Kembang Kuning.
1735 M: Dibuatlah kisah Joko Kembang Kuning dan Remeng Mangunjaya pada kepemimpinan Raja Pakubuwana II di Kartasura. Pada masa ini Wayang beber mulai terpecah setelah peristiwa pemberontakan Cina. Keluarga kerajaan mengungsi dengan membawa serta seluruh perlengkapan wayang beber, sebagian ke Gunungkidul, Wonosari, sebagian lain ke Karangtalun, Pacitan.

Jenis Wayang

Dalam bahasa Jawa, istilah “wayang ” diartikan sebagai “bayang”, mengacu pada sebuah teater tuturan yang menggunakan teknik bayangan dan efek cahaya dan diiringi oleh musik gamelan. Kata wayang juga sering mengacu pada boneka wayang itu sendiri. Boneka ini dikendalikan dan disuarakan oleh “dalang” dalam pertunjukan yang dapat berlangsung selama berjam-jam. Sebagian besar pertunjukan didasarkan pada dua cerita epik dari India—Mahabarata dan Ramayana. Di Bali dan Jawa, pertunjukan wayang cenderung menggabungkan kisah-kisah Hindu dengan ide-ide Buddhis, Islam, serta cerita-cerita rakyat dan mitos.

Di Indonesia, ada beragam jenis wayang. Wayang hadir dalam berbagai bentuk, ukuran, dan medium, termasuk dalam bentuk gulungan gambar, kulit, kayu, dan topeng. Namun, ada 5 jenis wayang yang paling populer yang akan saya sebutkan di bawah ini. Mereka adalah:
1. Wayang beber
Wayang beber merupakan salah satu jenis wayang tertua di Indonesia. Dalam pertunjukan narasi ini, lembaran gambar panjang dijelaskan oleh seorang dalang. Wayang beber tertua dapat ditemukan di Pacitan, Donorojo, Jawa Timur. Selain dari kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana, wayang beber juga menggunakan kisah-kisah dari cerita rakyat, seperti kisah asmara Panji Asmoro Bangun dan Dewi Sekartaji.
2. Wayang kulit
Di Jawa Tengah dan Timur, jenis wayang yang paling populer adalah wayang kulit atau wayang kulit purwa. Wayang ini berbentuk pipih dan terbuat dari kulit kerbau atau kambing. Lengan dan kakinya bisa digerakkan. Di Bali dan Jawa, pertunjukan wayang kulit sering kali menggabungkan cerita-cerita Hindu dengan Budha dan Islam. Selain kisah-kisah religius, cerita-cerita rakyat serta mitos sering digunakan.
3. Wayang Klitik (atau Karucil)
Bentuk wayang ini mirip dengan wayang kulit, namun terbuat dari kayu, bukan kulit. Mereka juga menggunakan bayangan dalam pertunjukannya. Kata “klitik” berasal dari suara kayu yang bersentuhan di saat wayang digerakkan atau saat adegan perkelahian, misalnya. Kisah-kisah yang digunakan dalam drama wayang ini berasal dari kerajaan-kerajaan Jawa Timur, seperti Kerajaan Jenggala , Kediri, dan Majapahit. Cerita yang paling populer adalah tentang Damarwulan. Cerita ini dipenuhi dengan kisah perseturan asmara dan sangat digemari oleh publik.
4. Wayang golek
Pertunjukan ini dilakukan menggunakan wayang tiga dimensi yang terbuat dari kayu. Jenis wayang ini paling populer di Jawa Barat. Ada 2 macam wayang golek, yaitu wayang golek papak cepak dan wayang golek purwa. Wayang golek yang banyak dikenal orang adalah wayang golek purwa. Kisah-kisah yang digunakan sering mengacu pada tradisi Jawa dan Islam, seperti kisah Pangeran Panji, Darmawulan, dan Amir Hamzah, pamannya Nabi Muhammad a.s.
5. Wayang wong
Jenis wayang ini adalah sebuah drama tari yang menggunakan manusia untuk memerankan tokoh-tokoh yang didasarkan pada kisah-kisah wayang tradisional. Cerita yang sering digunakan adalah Smaradahana. Awalnya, wayang wong dipertunjukkan sebagai hiburan para bangsawan, namun kini menyebar menjadi bentuk kesenian populer.

1      2     3      4      5      6     7     8      9      10