Dursasana bersaudara 100 orang --{99 orang pria dan 1 orang wanita} yang disebut Sata Kurawa.
Diantaranya yang dikenal dalam pedalangan adalah Duryudana (raja Negara Astina), Bogadatta (raja negara Turilaya), Bomawikata, Citraksa, Citraksi, Carucitra, Citrayuda, Citraboma, Durmuka, Durmagati, Durgempo, Gardapati (raja Negara Bukasapta), Gardapura , Kartamarma, (raja negara Banyutinalang), Kartadenta, Surtayu, Surtayuda, Wikataboma, Widandini (raja negara Purantara) dan Dewi Dursilawati.
Dursasana menikah dengan Dewi Saltani, putri Adipati Banjarjungut.
Dari perkawinan ini ia berputra seorang lelaki bernama Dursala. Dursasana berbadan besar, gagah dan bermulut lebar, mempunyai watak dan sifat; takabur, gemar bertindak sewenang-wenang, besar kepala, senang meremehkan dan menghina orang lain.
Dursasana mempunyai pusaka sebuah keris yang luar biasa besarnya bernama Kyai Barla.
Dursasana mati di medan perang Bharatayuda oleh Bima/Werkudara dalam keadaan sangat menyedihkan.
Dadanya dibelah dengan kuku Pancanaka. Darah yang menyembur ditampung Bima untuk memenuhi sumpah Dewi Drupadi, yang akan dibuat kramas dan mencuci rambutnya.
Anggota tubuh dan kepala Dursasana hancur berkeping-keping, dihantam gada Rujakpala.
Raden Dursasana, putra Prabu Destarastra, raja negara Astina. Ia adalah putra kedua, seorang ksatria agung Korawa yang bersemayam di kesatriyan Banjarjungut dan karena itu ia disebut juga ksatria Banjarjungut. Dursasana sangat disayang oleh bapak, ibu dan saudara tuanya Prabu Suyudana. Ia suka dipuji dan berbuat sekehendak hatinya. Tak ada seorang pun yang bisa melarangnya. Kata-kala Dursasana kasar dan diikuti oleh ketawa. Ia tak pernah bisa tenang. Pada waktu berjalan, demikian pula pada waktu duduk, ia berlenggang panjang dengan tanggannya, suatu kebiasaan yang memang ganjil sekali. Dursasana diangkat sebagai pahlawan Astina untuk perang tanding kelak dengan Wrekodara dalam perang Baratayuda.
Dursasana sangat disayang oleh ibu-bapak. Ia tak pernah dilarang untuk berbuat apapun. Andaikan berbuat salah pun, ia dibiarkan saja.
Di dalam lakon Arjuna Papa, Arjuna menderita sengsara. Para Korawa merasa terbalas dendam mereka terhacap Pendawa. Arjuna tertangkap oleh Korawa dan disiksa, ketika Arjuna sedang disiksa oleh para Korawa, Dursasana, yang tertua di antara para Korawa yang menyiksa itu, senang sekali menyaksikan peistiwa penyiksaan itu. Tetapi kemudian tingkah laku Dursasana itu menemui pembalasanny dalam amukan Wrekodara.
Demikian pula dalam lakon Baleseagalagala. para Koawa merasa berhasil mengenyahkan kerabat Pendawa dari muka bumi, ketika para Pendawa mabuk di dalam perayaan dan tempat di mana perayaan diadakan dibakar oleh para Korawa, sehingga menurut dugaan mereka ini punahlah sudah para Pendawa.
Tetapi oleh pertolongan Dewa Bumi, Hyang Antaboga kepada para Pendawa dapat ditunjukkan jalan ke Saptapertala dengan seekor garangan, musang putih sebagai penunjuk jalannya dan sesudah mengalami peristiwa pembakaran itu, keluarga Pendawa malahan menemui kemuliaannya. Sesudah mengetahui, bahwa Pendawa dapat menyelamatkan diri dari kebakaran, para Korawa terheran-heran dan bernafsu untuk memusnahkan Pendawa.
Dalam perang Baratayuda, Dursasana benar-benar berhadapan dengan Wrekodara dan tewas oleh ksatria ini.
Dursasana bermata telengan putih, berhidung dempak, bermulut gusen. Berperawakan tinggi dan besar. Dalam anggapan Korawa, Dursasana adalah Wrekodaranya Astina dan menjadi imbangan Wrekodara yang sebenarnya.
Dursasana bermahkota bentuk topeng, berjamang dengan garuda membelakang, bersunting kembang kluwih. Berkalung ulur-ulur. Bergelang, berpontoh, dan berkeroncong. Berkain kerajaan lengkap.
Dalam lakon Alap-alapan Ulupi, cenitanya berpokok kawinnya Dewi Ulupi, putri Begawan Kanwa dan Yasarata, dengan Arjuna.
Ada lakon-lakon lain mengenai Astina seperti mialnya akan kawinnya Pendita Durna dengan Dewi Setyaboma, tetapi kemudian putri ini kawin dengan Prabu Kresna.
Akan kawinnya Raden Lesmanamandrakumara, putra Prabu Suyudana, dengan Dewi Titisari, putri Prabu Kresna, akhirnya tak jadi dan pihak Astina mendapat malu besar, oleh karena Lesmana dipermainkan oleh orang-orang Dwarawati, negara Prabu Kresna. Menurut adat kebiasaan perkawinan orang Jawa, orang laki-laki harus dapat membatasi diri dalam soal makan dan hanya makan nasi putih saja misalnya, dalam hal mana dikatakan, bahwa dia putih.
Lesmana pun berbuat demikian, tetapi yang dimakannya ialah putihnya telur asin, yang dianggapnya putih juga.
Dalam perkawinan Prabu Suyudana dengan Dewi Banowati, Suyudana diminta mewujudkan suatu janji yang berat.
No comments:
Post a Comment