Ketika Abhimanyu gugur di palagan Kuruksetra Janin Pariksit masih berdiam di guogarbo Uttari Ketika terlahir, Parikesit jadi “bocah lola bapa”, Telah yatim sedari dalam kandungan bundanya
Kekalahan Abhimanyu lantaran kelicikan dari para perwira Korawa, dengan membunuhnya secara kroyokan pada pertempuran hari ke- 13 dalam formasi melingkar (cakrabhyuja). Terhadap formasi tempur ini, Pandawa tidak mempunyai pilihan selain menaruh harapan kepada Abimanyu, yang dikalkulasi memiliki pengetahuan dan ketrampilan perang tentang cara untuk menembus formasi cakrabyuha. Sayang sekali, meskipun mampu menembus formasi itu, namun tidak tahu cara keluar dari dalamnya. Untuk meyakinkan bahwa Abimanyu tidak terperangkap di dalam formasi cakrabyuha utu, maka Pandawa bersaudara dan sekutunya mengawal Abimanyu serta membantu keluar dari formasi cakrabyuja. Abimanyu berhasil menembus Cakrabyuja. Para Pandawa beserta sekutunya mencoba mengikutinya, namun dihadang oleh Jayadrata (raja Sindhu), yang menggunakan anugerah Siwa padanya untuk menahan serangan dari Pandawa.
Setelah tertinggal, makavAbimanyu musti berjuang sendirian menghadapi serangan dari pihak Korawa. Abimanyu berhasil membinasakan beberapa orang kesatria Korawa yang medekatinya, termasuk putra Duryodana, yaitu Laksmana. Demi menyaksikan putra terkasih terbunuh, murkalah Duryodana, dan memerintahkan segenap perwira Korawa, seperti Dursasana, Sangkuni, Aswatama maupun Karna untuk segera membunuh Abimanyu. Tanpa peduli akan aturan perang, sontak mereka menyerang Abimanyu. Setelah tidak berhasil untuk hancurkan baju zirah dari Abimanyu, Karna menghancurkan busur panah Abhimanyu dari arah belakang. Lantas hancurkan kereta perang (ratha)nya; membunuh kusir beserta kuda-kudanya, hingga seluruh senjata Abhimanyu turut terbuang. Namun hebatnya dari Abimanyu adalah mampu untuk bertahan sampai pedangnya patah dan roda kereta yang digunakan sebagai perisai hancur berkeping- keping. Tidak berapa kemudian, Abimanyu dibunuh oleh putra Dursasana dengan cara menghancurkan kepalanya menggunakan gada.
Kata “lola” didapati dalam bahasa Jawa Baru, yang berarti seorang anak yang tumbuh dan berkembang tanpa disertai oleh salah satu ataupun kedua orang tua kandungnya. Istilah “lola, alola” ataupun “lolita” sebenarnya telah kedapatan di dalam bahasa Jawa Kuna dan Tengahan, yang merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta, namun artinya: tak tenang, gelisah, berlari kesana kemari mari, bergoyang, bergoncang, bergetar, atau rasa rindu (Zoetmulder, 1995:607). Arti demikian lebih menyukai kapada dampak psikologis dari kondisi lola (tak berayah, tak beribu, atau keduanya). Rasa rindu misalnya, acap terjadi pada diri anak yang “lola”. Bgitu pula halnya dengab perasaan gelisah atau tidak tenang, acap menggerakan pada bocah lola. Bahkan, lantaran tak berayah-ibu, bocah lola terobang- ambing sendirian dalam menghadapi gejolak kehidupan.
Mengingat dampak psikoligis pada ” bocah lola” itu, makan segenap agama perintahkan untuk menaruh belas kasih, kepedean atau uluran tangan kepada anak yang berstatus “lola”. Dalam agama Islam, sebutan untuknya adalah : (a) kata “yatim” untuk anak yang “lola ayah”, (b) kata “piatu” untuk anak yang “lola ibu”, serta (c) kata ” yatim-piatu” untuk anak yang “lola ayah dan lola ibu”. Ada status” lola” yang menimpa diri anak setelah beberapa lama kelahirannya, namun ada pula seorang anak yang telah lola sebelum kelahirannya, tepatnya “lola ayah”, karena ayah kandungnya meninggal ketika anak bersangkutan berada di dalam kandungan ibunya. Parikesit adalah salah seorang contoh mengenai anak yang ” lola bapa” sedari dalam kandungan ibunya.
Parikesit “Lola Bapa” Sedari di Kandungan Abimanyu gugur saat istrinya (Utari) sedang hamil tua. Dengan demikian satu-satunya anak Abimanyu, yaitu Parikesit, terlahir setelah kematian dirinya. Keberadaan “satu-satunya” pada dirinya bukanlsh semata karena Parikesit merupakan satu- datunya putra abhimanyu, namun juga merupakan satu- satunya keturunan dinasti pandawa yang masih hidup pasca Perang Bharatayuddha dan pasca perjalan maha berat oleh anggota keluarga besar Pandawa menuju swargga (nirwana) yang pada parwa ke-18, yaitu Swargorohanaparwa, dikisahlkan sebagai pendakian menuju ke puncak Meru (nama arkhais untuk “Himalaya”).
Pada sebelum kelahirannya, Parikesit nyaris tak selamat hidup. Mahabharatta memuat kisah bahwa pada perang Bhatattsyuddha di akhir hari ke-18 Aswatama bertarung dengan Arjuna . Keduamya sama-sama sakti, bahkan sama-sama keluarkan senjata bernama “Brahmāstra”. Oleh karena dicegah oleh Rsi Byasa, maka Aswatama dianjurkan untuk mengarahkan senjata tersebut kepada objek lain. Namun, Aswatama malahan memilih srahkan senjatanya ke kandungan Utari, dan menyebakan terbunuhnya Parikesit yang masih berada dalam kandungan ibunya (Utari). Atas pertolongan dari Kresna, maka Parikesit bisa dihidupkan kembali. Itulah sebab mengapa Aswatama dikutuk kelak bakal mengembara di dunia selama-lamanya.
Demikianlah, sejak masih dalam kandungan ibunya, Parikesit telah menghadapi cobaan berat. Pertama, ayahnya (Abhimanyu) gugur di medan laga. Kedua, dirinya pernah mati, lantaran terkena panah milik Aswatama, namun beruntung dihidupkan kembali oleh Kresna, sehingga keberlanjutan dari Dinasti Pandawa tidak terputus. Tergambar bahwa cobaan demi cobaan — baca “tantangan (changes)” telah dihadapi oleh Psrikesit, sehingga ia terlatih untuk kuat dan mampu dalam menghadapi tantangan hidup, sehingga ia kelak menjadi seorang Ksatria tangguh.
Setelah kelahirannya, Rsi Dhomya menyampaikan ramalannya pada Yudhistira bahwa kelak Parikesit akan menjadi pemuja setia kepada Dewa Wisnu, lantaran ia pernah dihidupkan kembali oleh Bhattara Kresna setelah panah milik Aswatama mengenai janinnya yang ketika itu masih berada di dalam andungann ibunya. Ini adalah salah satu contoh kejadian, dimana Parikesit mendapat perlindungan dari Dewa. Terkait itu, Parikesit mendapat sebutan diri sebagai “Vishurata”, yakni orang yang selalu mendapat perlindungan Dewata. Selain itu, Rsi Dhomya meramalkan bahwa kelah Parikesit akan menjadi orang yang mencurahkan kebajikan, ajaran agama maupun kebenaran. Kala menjadi seorang pemimpin, Parikesit menjadi seorang pemimpin yang bijaksana, sehingga membawa kemasyhuran bagi keluarganya. Sebagaimama anak-snak lain yang terlahir dalam kondisi “lola ayah”, secara psikologis Parikesit pun mengalami keresahan, bahkan kegoncangan perasaan. Berkat upaya untuk melatih dirinya menghadapi tantangan atau goncangan jiwa, maka membuahkan pribadi yang mampu menstabilkan dirinya dan tidak panik (tenang) di dalam menghadapi cobaan atau tantangan.
Ksatriabhakti Abhimamyu Bhakti Ksatria merupakan perilaku luhur pada etika kehidupan ksatria. Seorang ksatria barulah dapat disebut sebagai “ksatria” sejati apabila bersedia untuk mengabdikan diri (mabhakti) kepada nagari, bahkan rela nengorbankan jiwa dan raganya untuk kesentausaan serta kejayaan negeri. Bhakti nagari yang disertai dengan kesedian untuk mati dinamai “bela nagari” atau “labuh nagari”. Dalam episode Sejarah Perjuangan Kemerdekaan, yaitu pada era Pendudukan Jepang, pengorbanan yang demikian diistilahi dengan “Pembela Tanah Air (PETA).
Diantara para ksatria yang dikisahkan dalam kitab Mahabharatta, Abhimamyu layak mendapatkan predikat sebagai sosok ksatria yang riil melakukan ” dhamma ksatria” atau “ksatriabhakti”, menjalankan “labuh nagari” atau “bela nagari”. Abhimamyu gugur sebagai kusuma nagari dalam usia yamg masih muda. Bahkan, tidak sempat untuk mengenyam kesempatan sebagai “bapa (ayah)” untuk putra pertamanya, yaitu Parikesit. Lantaran, ketika gugur di medan perang besar “bharattayuddha”, buah cinta-kasihnya dengan Uttari itu masih berada di dalam kandungan bundanya. Abhimamyu adalah seorang teladan tentang “ksatria sejati”.
No comments:
Post a Comment