Search This Blog

Saturday, October 12, 2019

BOLO KURAWA


Nama 100 Kurawa
Kurawa atau biasa disebut Korawa atau Kaurawa merupakan istilah dalam bahasa sansekerta yang artinya keturunan dari raja Kuru.
Dalam Wiracarita Mahabharata, Kurawa merupakan tokoh-tokoh Antagonis yang menjadi musuh bebuyutan dari para Pandawa Lima.
Jika ada orang yang sudah tahu apa itu Kurawa, pasti mereka tahu kalu Kurawa adalah keturunan dari raja Derastrata yang berjumlah seratus orang dan menjadi musuh dari Pandawa. Berikut adalah definisi dari Kurawa, agar lebih mengetahui lagi apa itu Kurawa.
Kurawa atau Korawa dalam cerita Mahabharata mempunyai dua definisi, yaitu: 

Dalam Arti Luas,Kurawa berarti seluruh keturunan dari Kuru. Kuru adalah nama dari seorang maharaja keturunan dari Bharata, dan nantinya akan menurunkan tokoh-tokoh besar dalam cerita Mahabharata.
Dalam pengertian ini, Pandawa Lima termasuk juga di dalam korawa dan kadang disebut begitu dalam Mahabharata, khususnya dibeberapa bagian awal. 
 
Dalam Arti Sempit,Kurawa hanya merujuk pada garis keturunan raja Kuru yang lebih tua. Istilah hanya untuk anak-anak dari raja Dretarastra. Dretarastra adalah anak sulung dari Wicitrawirya yang merupakan keturunan dari raja Kuru. Raja Derastrata adalah yang berhak menjadi raja menurut urutan kelahiran (dia anak pertama), namun karena ia buta, sehingga akhirnya diganti oleh adiknya yang bernama raja Pandu (Ayah Pandawa). Dalam Istilah sempit ini, tidak mencakup Pandawa yang merupakan anak-anak Pandu.

Kisah Kelahiran Para Kurawa Dalam cerita Mahabharata, dikisahkan bahwasanya istri prabu Dretarastra yang bernama Gandar sangat menginginkan untuk memiliki putra. Lalu dia memohon kepada seorang pertapa sakti yang bernama Byasa, dan diapun mengabulkan doa Gendari.
Gendari pun hamil, tetapi setelah sekian lama mengandung, sang putra yang diharapkan belum juga lahir. Dia pun cemburu kepada Dewi Kunti yang sudah memberikan raja Pandu tiga orang putra (Yudistira, Bima dan Arjuna).
Gendari yang frustasi, lalu memukul mukul perutnya. Setelah Gendari melewati masa persalinan, yang lahir bukanlah seorang putra namun hanya segumpal daging yang bercampur dengan darah kental dan berwarna merah kehitam-hitaman.
Byasa kemudian memotong-motong segumpal daging tadi menjadi seratus bagian yang tidak sama persis semuanya (ada yang besar dan ada yang kecil) dan memasukkannya ke dalam guci. Guci yang berisi potongan daging tadi kemudian ditanam di dalam tanah selama satu tahun.
Setelah menunggu selama satu tahun, guci tadi diangkat lalu dibuka dan dari dalam setiap guci yang ditanam muncullah 99 bayi laki-laki & 1 Perempuan.
Bayi yang pertama muncul ialah Duryudana lalu disusul oleh Dursasana, lalu disusul oleh saudara-saudaranya yang lain hingga seratus orang.

Nama-nama Tokoh Kurawa

Ke- Kurawa Versi Indonesia Kurawa Versi India
1 Duryodana (Suyodana) Duryodana
2 Dursasana (Duhsasana) Dursasana
3 Abaswa Dursaha
4 Adityaketu Dursala
5 Alobha Jalaganda
6 Anadhresya (Hanyadresya) Sama
7 Anudhara (Hanudhara) Saha
8 Anuradha Winda
9 Anuwinda (Anuwenda) Anuwinda
10 Aparajita Durdarsa
11 Aswaketu Subahu
12 Bahwasi (Balaki) Duspradarsa
13 Balawardana Durmarsana
14 Bhagadatta (Bogadenta) Durmuka
15 Bima Duskarna
16 Bimabala Karna
17 Bimadewa Wikarna
18 Bimarata (Bimaratha) Sala
19 Carucitra Satwa
20 Citradharma Sulocana
21 Citrakala Citra
22 Citraksa Upacitra
23 Citrakunda Citraksa
24 Citralaksya Carucitra
25 Citrangga Sarasana
26 Citrasanda Durmada
27 Citrasraya Durwigaha
28 Citrawarman Wiwitsu
29 Dharpasandha Wikatinanda
30 Dhreksetra Urnanaba
31 Dirgaroma Sunaba
32 Dirghabahu Nanda
33 Dirghacitra Upananda
34 Dredhahasta Citrabana
35 Dredhawarman Citrawarma
36 Dredhayuda Suwarma
37 Dretapara Durwimoca
38 Duhpradharsana Ayobahu
39 Duhsa Mahabahu
40 Duhsah Citrangga
41 Durbalaki Citrakundala
42 Durbharata Bimawiga
43 Durdharsa Bimabela
44 Durmada Walaki
45 Durmarsana Belawardana
46 Durmukha Ugrayuda
47 Durwimocana Susena
48 Duskarna Kundadara
49 Dusparajaya Mahodara
50 Duspramana Citrayuda
51 Hayabahu Nisanggi
52 Jalasandha Pasa
53 Jarasanda Wrendaraka
54 Jayawikata Dredawarma
55 Kanakadhwaja Dredaksatra
56 Kanakayu Somakirti
57 Karna Antudara
58 Kawacin Dredasanda
59 Krat Jarasanda
60 Kundabhedi Satyasanda
61 Kundadhara Sadasuwaka
62 Mahabahu Ugrasrawa
63 Mahacitra Ugrasena
64 Nandaka Senani
65 Pandikunda Dusparaja
66 Prabhata Aparajita
67 Pramathi Kundase
68 Rodrakarma (Rudrakarman) Wisalaksa
69 Sala Duradara
70 Sama Dredahasta
71 Satwa Suhasta
72 Satyasanda Watawiga
73 Senani Suwarca
74 Sokarti Adityaketu
75 Subahu Bahwasa
76 Sudatra Nagadata
77 Suddha (Korawa) Ugrasai
78 Sugrama Kawaci
79 Suhasta Kradana
80 Sukasananda Kundi
81 Sulokacitra Bimawikra
82 Surasakti Danurdara
83 Tandasraya Wirabahu
84 Ugra Alolupa
85 Ugrasena Abaya
86 Ugrasrayi Dredakarma
87 Ugrayudha Dredaratasraya
88 Upacitra Anadrusya
89 Upanandaka Kundabedi
90 Urnanaba Wirawi
91 Wedha Citrakundala
92 Wicitrihatana Pramada
93 Wikala Amapramadi
94 Wikatanana Dirgaroma
95 Winda Suwirya
96 Wirabahu Dirgabahu
97 Wirada Sujata
98 Wisakti Kencanadwaja
99 Wiwitsu (Yuyutsu) Kundasi
100 Wyudoru (Wiyudarus) Wirajasa

Para Kurawa adalah musuh dari Pandawa Lima, yang berarti mereka adalah golongan orang mempunyai sifat-sifat yang tidak baik.
Memang mayoritas dari para Kurawa memiliki sifat yang tidak baik dan tidak pantas dicontoh, tapi ada juga beberapa yang memiliki sifat “sedikit baik”, bahkan diceritakan ada juga anggota kurawa yang berpihak kepada para Pandawa.
Anak tertua dan pemimpin dari anggota Kurawa adalah Duryudana. Duryudana dan Dursasana adalah anggota Kurawa yang paling terkenal jika dibandingkan dengan anggota yang lain. Hal ini karena mereka berdua adalah tokoh-tokoh terkuat dan juga mempunyai watak paling tidak baik di Kurawa. Jadi, bisa dikatakan karakter semua Kurawa adalah sama persis dengan Duryudana dan Dursasana (meskipun ada beberapa yang memihak Pendowo)

NALA GARENG

Nama lengkap dari Gareng sebenarnya adalah Nala Gareng, hanya saja masyarakat sekarang lebih akrab dengan sebutan “Gareng”.
Gareng adalah punakawan yang berkaki pincang. Hal ini merupakan sebuah sanepa dari sifat Gareng sebagai kawula yang selalu hati-hati dalam bertindak. Selain itu, cacat fisik Gareng yang lain adalah tangan yang ciker atau patah. Ini adalah sanepa bahwa Gareng memiliki sifat tidak suka mengambil hak milik orang lain. Diceritakan bahwa tumit kanannya terkena semacam penyakit bubul.
Dalam suatu carangan Gareng pernah menjadi raja di Paranggumiwayang dengan gelar Pandu Pragola. Saat itu dia berhasil mengalahkan prabu Welgeduwelbeh raja dari Borneo yang tidak lain adalah penjelmaan dari saudaranya sendiri yaitu Petruk.

Dulunya, Gareng berujud ksatria tampan bernama Bambang Sukodadi dari pedepokan Bluktiba. Gareng sangat sakti namun sombong, sehingga selalu menantang duel setiap satriya yang ditemuinya. Suatu hari, saat baru saja menyelesaikan tapanya, ia berjumpa dengan satriya lain bernama Bambang Panyukilan. Karena suatu kesalahpahaman, mereka malah berkelahi. Dari hasil perkelahian itu, tidak ada yang menang dan kalah, bahkan wajah mereka berdua rusak. Kemudian datanglah Batara Ismaya (Semar) yang kemudian melerai mereka. Karena Batara Ismaya ini adalah pamong para ksatria Pandawa yang berjalan di atas kebenaran, maka dalam bentuk Jangganan Samara Anta, dia (Ismaya) memberi nasihat kepada kedua ksatria yang baru saja berkelahi itu.
Karena kagum oleh nasihat Batara Ismaya, kedua ksatria itu minta mengabdi dan minta diaku anak oleh Lurah Karang Dempel, titisan dewa (Batara Ismaya) itu. Akhirnya Jangganan Samara Anta bersedia menerima mereka, asal kedua kesatria itu mau menemani dia menjadi pamong para kesatria berbudi luhur (Pandawa), dan akhirnya mereka berdua setuju. Gareng kemudian diangkat menjadi anak tertua (sulung) dari Semar.

1      2      3      4      5      6      7       8      9      10

PETRUK

Petruk adalah tokoh punakawan dalam pewayangan Jawa, di pihak keturunan/trah Witaradya. Petruk tidak disebutkan dalam kitab Mahabarata. Jadi jelas bahwa kehadirannya dalam dunia pewayangan merupakan gubahan asli Jawa.

Masa lalu
Menurut pedalangan, ia adalah anak pendeta raksasa di pertapaan dan bertempat di dalam laut bernama Begawan Salantara. Sebelumnya ia bernama Bambang Pecruk Panyukilan. Ia gemar bersenda gurau, baik dengan ucapan maupun tingkah laku dan senang berkelahi. Ia seorang yang pilih tanding/sakti di tempat kediamannya dan daerah sekitarnya. Oleh karena itu ia ingin berkelana guna menguji kekuatan dan kesaktiannya.
Di tengah jalan ia bertemu dengan Bambang Sukodadi dari pertapaan Bluluktiba yang pergi dari padepokannya di atas bukit, untuk mencoba kekebalannya. Karena mempunyai maksud yang sama, maka terjadilah perang tanding. Mereka berkelahi sangat lama, berhantam, bergumul, tarik-menarik, tendang-menendang, injak-menginjak, hingga tubuhnya menjadi cacat dan berubah sama sekali dari wujud aslinya yang tampan. Perkelahian ini kemudian dipisahkan oleh Smarasanta (Semar) dan Bagong yang mengiringi Batara Ismaya. Mereka diberi fatwa dan nasihat sehingga akhirnya keduanya menyerahkan diri dan berguru kepada Smara/Semar dan mengabdi kepada Sanghyang Ismaya. Demikianlah peristiwa tersebut diceritakan dalam lakon Batara Ismaya Krama.
Karena perubahan wujud tersebut masing-masing kemudian berganti nama. Bambang Pecruk Panyukilan menjadi Petruk, sedangkan Bambang Sukodadi menjadi Gareng.

Istri dan keturunan
Petruk mempuyai istri bernama Dewi Ambarawati, putri Prabu Ambarasraya, raja Negara Pandansurat yang didapatnya melalui perang tanding. Para pelamarnya antara lain: Kalagumarang dan Prabu Kalawahana raja raksasa di Guwaseluman. Petruk harus menghadapi mereka dengan perang tanding dan akhirnya ia dapat mengalahkan mereka dan keluar sebagai pemenang. Dewi Ambarawati kemudian diboyong ke Girisarangan dan Resi Pariknan yang memangku perkawinannya. Dalam perkawinan ini mereka mempunyai anak lelaki dan diberi nama Lengkungkusuma.

1      2      3      4      5      6      7       8      9      10

DEWI SRIKANDI

Dewi Wara Srikandi adalah putri kedua Prabu Drupada, raja negara Pancala dengan permaisuri Dewi Gandawati, putri Prabu Gandabayu dengan Dewi Gandini. Ia mempunyai dua orang saudara kandung bernama; Dewi Drupadi/Dewi Kresna dan Arya Drestadyumna.
Dewi Srikandi sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir dalam mempergunakan senjata panah. Kepandaiannya tersebut didapatnya ketika ia berguru pada Arjuna, yang kemudian menjadi suaminya. Dalam perkawinan tersebut ia tidak memperoleh seorang putra.

Dewi Srikandi menjadi suri tauladan prajurit wanita. Ia bertindak sebagai penanggung jawab keselamatan dan keamanan kesatrian Madukara dengan segala isinya. Dalam perang Bharatayuda, Dewi Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta, satria Wirata yang telah gugur untuk menghadapi Resi Bisma, senapati Agung balatentara Kurawa. Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat menewaskan Resi Bisma, sesuai kutukan Dewi Amba, putri Prabu Darmahambara, raja negara Giyantipura, yang mati terbunuh oleh Resi Bisma.

Akhir riwayat Dewi Srikandi diceriterakan : Ia tewas dibunuh Aswatama yang menyelundup masuk ke keraton Astina setelah berakhirnya perang Bharatayuda.

1      2      3      4      5      6      7       8      9      10

RAMA WIJAYA

Rama Wijaya adalah kesatria titisan Dewa Wisnu. Ia adalah anak Prabu Dasarata, raja Ayodya. Ibunya bernama dewi Sukasalya atau Dewi Raghu. Orang menyebut Rama Wijaya dengan sebutan Raden Regawa yang berarti anak Dewi Raghu.
Rama merupakan tokoh utama dalam cerita Ramayana. Ia memiliki saudara lain ibu yaitu Barata anak dari Ibu Dewi Kekayi, serta Lesmana dan Satrugna dari ibu Dewi Sumitrawati. Rama bersaudara sejak kecil dididik oleh Resi Wasista, seorang resi yang sangat sakti pada masa itu. Oleh karena itu Rama, Barata dan Lesmana ketika dewasa menjadi satria pilih tanding, sakti rendah hati dan berbudi luhur.
Istri Ramawijaya adalah Dewi Sinta, seorang putri yang sangat cantik, anak angkat Prabu Janaka dari Negara Mantilidirja. Dewi Sinta adalah titisan Dewi Sri Widowati yang menjadi rebutan para raja seribu Negara termasuk Prabu Dasamuka raja raksasa dari Negara Alengkadiraja.

Oleh karena nafsu ingin memiliki atas Dewi Sinta yang adalah merupakan titisan Dewi Widawati, Prabu Dasamuka selalu berusaha untuk mencari saat yang tepat untuk menculik Dewi Sinta. Pada suatu saat, ketika Prabu Ramawijaya dan Dewi Sinta berada di dalam hutan, Prabu Dasamuka berhasil menculik Dewi Sinta.
Ramawijaya sangat sedih atas hilangnya sang istri. Ia bersama Lesmana adiknya bertekad mencari Dewi Sinta hingga ketemu. Sampai kapan pun pencarian tersebut belum akan berhenti sebelum ketemu.

Diceritakan bahwa dalam perjalanan mencari Dewi Sinta, Rama mendapatkan sahabat seorang raja kera bernama Sugriwa yang mempunyai ratusan ribu perajurit kera. Dalam persahabatan tersebut, Sugriwa memohon kepada Ramawijaya untuk membantu mengalahkan kakaknya yang sekaligus adalah musuhnya bernama Subali.
Setelah Rama berhasil membunuh Subali, Sugriwa bersama bala tentara kera berjanji akan membantu Ramawijaya mencari Dewi Sinta sampai ketemu. Dalam usaha pencarian Dewi Sinta ini yang sangat besar jasanya adalah Anoman keponakan Sugriwa yang sangat sakti mandraguna. Anoman berhasil menemukan Negara Alengkadiraja tempat Dewi Sinta disekap oleh Dasamuka.

Maka kemudian diseranglah Negara Alengkadiraja oleh Prabu Rama, Sugriwa dan balatentaranya. Perang besar terjadi antara pasukan Kera dan pasukan raksasa. Prabu Dasamuka gugur ditangan Anoman. Perang tersebut dikenal dengan nama perang Giriantara atau perang Kudupsari Palwaga.

1      2      3      4      5      6      7       8      9      10

BAGONG

Bagong, putera ketiga (bungsu) Semar setelah Gareng dan Petruk, dideskripsikan sebagai punakawan yang sifatnya menghibur. Potongan tubuhnya mengundang kelucuan. Tubuhnya bulat pendek, matanya lebar, bibirnya tebal, memble. Rambut belakangnya dikucir pendek.

Dalam pewayangan Sunda juga terdapat tokoh panakawan yang identik dengan Bagong, yaitu Cepot atau Astrajingga. Namun bedanya, menurut versi ini, Cepot adalah anak tertua Semar. Dalam wayang banyumasan Bagong lebih dikenal dengan sebutan Bawor.
Gaya bicara Bagong terkesan semaunya sendiri, ngeyel, polos, namun teguh pada kebenaran. Karakter Bagong sering dijadikan media untuk melontarkan koreksi pada penguasa. Beberapa catatan sejarah bahkan menyebutkan bahwa beberapa penguasa monarki Jawa di masa lalu pernah membuat larangan menampilkan tokoh Bagong dalam pentas wayang. Sebuah indikasi bahwa penguasa emoh dikoreksi oleh rakyat jelata seperti Bagong.
Bagong, sebagaimana sering diperankan selama ini, adalah simbol orang kecil yang kritis. Ia menyuarakan kebenaran, ia tak sudi selalu ditindas, ia tak mau selalu dijadikan objek penderita. Bagong adalah keteguhan rakyat jelata yang memiliki idealisme, setidaknya ia tak mau dikorbankan hanya untuk sebuah aib penguasa. Bagong adalah rakyat kecil yang punya prinsip dan, setidaknya pada lakon ini, lebih terhormat daripada penguasa yang selalu merasa benar sendiri, yang maunya menang sendiri.

Ki Lurah Bagong adalah nama salah satu tokoh panakawan dalam kisah pewayangan yang berkembang di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tokoh ini dikisahkan sebagai anak bungsu Semar. Dalam pewayangan Sunda juga terdapat tokoh panakawan yang identik dengan Bagong (dalam bahasa Sunda: bagong berarti babi hutan, celeng), yaitu Cepot atau Astrajingga, adalah anak tertua Semar, dan di versi wayang golek purwa- Sunda terkenal dengan sebutan Cepot atau Astrajingga , disebut juga Gurubug atau Kardun, sedang di Jawa Timur lebih dikenal dengan nama Jamblahita. Di daerah Banyumas, panakawan ini lebih terkenal dengan sebutan Bawor, Pada wayang Banjar – Kalimantan Selatan ia dipanggil Begung.

Ciri Fisik, sebagai seorang panakawan yang sifatnya menghibur penonton wayang, tokoh Bagong pun dilukiskan dengan ciri-ciri fisik yang mengundang kelucuan, bertubuh pendek dan gemuk, dengan mata bundar besar, bibirnya lebar, hidung kecil dan bersifat agak kekanak-kanakan.
bagong (e-wayang)
Gaya bicara Bagong terkesan semaunya sendiri. Dibandingkan dengan ketiga panakawan lainnya, yaitu Semar, Gareng, dan Petruk, maka Bagong adalah sosok yang paling lugu dan kurang mengerti tata krama. Meskipun demikian majikannya tetap bisa memaklumi.
Pada versi Cirebon ciri- ciri Bagong, suaranya serak, kasar, selalu berbahasa Sunda, mungkin karena hal ini Bagong Cirebon disebut juga Astrajingga. Jika berkelahi ia “menumbuk“ lawan nya dengan kepala.

Asal usul
Beberapa versi menyebutkan Bagong bukanlah anak kandung semar, namun ciptaan.
Dikisahkan Semar yang merupakan penjelmaan Batara Ismaya diturunkan ke dunia bersama kakaknya, yaitu Togog atau penjelmaan dewa bernama Batara Antaga untuk mengasuh ketu-runan adik mereka, yaitu Batara Guru.
Togog dan Semar sama-sama mengajukan permohonan kepada ayah mereka, yaitu Sanghyang Tunggal, supaya masing-masing diberi teman. Sanghyang Tunggal ganti mengajukan pertanyaan berbunyi, siapa kawan sejati manusia. Togog menjawab “hasrat”, sedangkan Semar menjawab “bayangan”. Dari jawaban tersebut, Sanghyang Tunggal pun mencipta hasrat Togog menjadi manusia kerdil bernama Bilung, sedangkan bayangan Semar dicipta menjadi manusia bertubuh bulat, menjadi seorang lelaki yang postur tubuhnya mirip Semar, ia diberi nama Bagong.

Versi lain menyebutkan, Semar adalah cucu Batara Ismaya. Semar mengabdi kepada seorang pertapa bernama Resi Manumayasa yang kelak menjadi leluhur para Pandawa. Ketika Manumayasa hendak mencapai moksa, Semar merasa kesepian dan meminta diberi teman. Manumayasa menjawab bahwa temannya yang paling setia adalah bayangannya sendiri. Seketika itu pula, bayangan Semar pun berubah menjadi manusia, dan diberi nama Bagong, walaupun Bagong sebenarnya merupakan anak pertama Semar, ia sering dijadikan anak bungsu. Salah kaprah ini disebabkan oleh sifat Bagong yang kekanak-kanakan.
Versi lainnya, diceritakan bahwa pada saat Gareng diangkat menjadi anak sulung Semar, Petruk tidak terima karena sesung-guhnya Petruk lebih tua, maka Petruk minta diberikan seorang adik. Kemudian Semar memuja bayangannya sendiri menjadi seorang laki-laki yang mirip Semar. Maka terciptalah Bagong (menurut pedalangan gagrak Yogyakarta) atau Bawor (menurut pedalangan gagrak Banyumas), yang berasal dari bayangan Ismaya atau Semar, dan diangkat menjadi anak bungsunya. tokoh Bawor hadir di dunia bukan dilahirkan melainkan diciptakan.
Versi Banyumas mengisahakan ketika Sanghyang Ismaya menjadi Semar, turun ke bumi, Bumi masih awang-uwung, tak ada satupun makhluk hidup di bumi. Oleh karena itu kemudian Sanghyang Wenang menciptakan bayangan Semar menjadi sesosok manusia dengan postur tubuh yang relatif sama, diberi nama Bawor yang bertugas menemani Semar. Atas dasar dari kejadian itu, kemudian Bawor diakui sebagai anak tertua dari tokoh Semar. Anak kedua dan ketiga adalah Nala Gareng dan Petruk.
Tokoh Bawor adalah maskot masyarakat Banyumas. Ciri utama dari wayang kulit gagrag Banyumasan adalah nafas kerakyatannya yang begitu kental dan Ki Dalang memang berupaya menampilkan realitas dinamika kehidupan yang ada di masyarakat.

Riwayat gaya Jawatimuran adalah ketika Sang Hyang Ismaya turun ke bumi menjelma menjadi Semar, Semar diutus oleh Sang Hyang Tunggal agar menuju Keling, selanjutnya Semar membutuhkan teman. Bayang-bayangnya sendiri lalu dicipta menjadi bentuk yang hampir mirip dengannya, yang dinamakan Bagong.
Ba artinya bek, gong artinya gedhe. Juga dinamakan (Sanghyang) Bladu, Bla adalah belah/sigar, dho artinya loro, bahwa Bagong terjadi dari belahan yang menjadi dua.

Disebut Mangun Hadiwangsa, karena dia yang mempunyai kewajiban untuk membangun (mangun) agar wangsa (bangsa) menjadi baik atau adi. Nama lainnya Jamblahita. Jambla yang berarti bodoh, hita adalah temen (jujur). Ia bodoh tetapi jujur dan serius.
Semar dan Bagong diberi satu senjata. Namun, senjata tersebut diperebutkan berdua sehingga melebar dan berubah wujud manusia yang dinamai Saraganja serta menjadi kawan Semar.

Peristiwa selanjutnya, Semar membuang kentut dan Bagong membaui bau busuk terus-menerus ke mana pun perginya. Bau kentut yang mengikuti Bagong itu akhirnya berubah wujud menjadi seorang wanita yang selanjutnya dinamai Dewi Muleg. Dewi Muleg ini dijodohkan dengan Bagong sebagai istrinya. Sedangkan timbulnya Besut belum lama. Ketika Bagong ke belakang dalam kondisi yang gelap, dia menginjak tinjanya sendiri lalu dikipat-kipatkan. Tiga kipatan menjadi tiga orang, dinamakan Besut, Besel dan Besil, ketiganya menjadi anak Bagong.

Yang dipakai sekarang ini hanya Besutnya saja, Besut akhirnya dinyatakankan sebagai anak Bagong. Tokoh wayang Besut bentuknya mirip Bagong tetapi dalam ukuran lebih kecil. Disebut juga Hyang Katinja, versi lain tokoh ini berasal dari tinja Semar yang terinjak Bagong..
Dengan kejadian tadi, Semar memiliki relasi perkawanan dengan Bagong, Saraganja, Dewi Muleg, dan Besut. Mereka selanjutnya disebut Panakawan.

1      2      3      4      5      6      7       8      9      10

Tuesday, October 8, 2019

GENDING JAWA



Masyarakat Jawa memiliki tradisi menembangkan tembang-tembang macapatan dan ngidung di waktu malam dengan tujuan menolak hama penyakit dan menenteramkan suasana batin masyarakat yang sedang gelisah.
Ngidung memuat nuansa berkomunikasi dengan makhluk-makhluk yang tidak kasat mata. Orang Jawa biasa melakukan komunikasi tersebut melalui irama tembang Jawa yang bernuansa sebagai mantra.
Irama nada atau melodi tembang macapat yang dipakai untuk kidungan adalah mantra suara atau sastra gendhing.
Masyarakat Jawa memiliki kemampuan melahirkan mantra swara berupa tembang-tembang sebagai bagian dari memayu hayuning bawana. Kalangwan, atau selalu mempersembahkan keindahan adalah aras laku budaya Jawa.
Selain itu langen gendhing-gendhing karawitan (gamelan) juga mengandung nilai ajaran Kejawen yang cukup dalam tentang keselarasan dan kerukunan.
Di antaranya mengandung dasar ajaran bahwa keselarasan dan kerukunan tidak harus berarti keseragaman, namun justru merupakan penggabungan dari unsur-unsur berbeda. Ajaran Kejawen lekat dengan kebersamaan, kerukunan dan keselarasan sebagaimana paduan gendhing.
Sebagaimana ditulis Sultan Agung dalam Serat Sastra Gending, sastra merupakan figur halus, tak mampu dilihat, sedangkan gending bisa dirasakan lewat keindahan.
Gending akan menjadi mudah dirasakan apabila menggunakan sastra, begitu pun sebaliknya.
Suara indah dalam gending akan memberi petunjuk bagaimana laku mistik dilakukan dengan baik. Jika gending rusak, tak berirama dengan indah, berarti rusak pula peribadatan mistik. Baik gending maupun sastra akan mengacu pada ( ugering agesang) (falsafah hidup) mistik kejawen.

1      2      3      4      5      6      7       8      9      10