Search This Blog

Wednesday, June 2, 2021

Abaswa / Dursaha

Abaśwa iku, salah sijining para Korawa satus. Jenengé diarani ing layang gancaran Adiparwa, kitab pratamané Mahabharata. artinya : Abaswa salah satu dari Bolo Kurowo , Namanya terdapat Pada Surat Adiparwa dgn Kitab Mahabarata.
Sifat dan karakter nama Abaswa
Orang dengan nama Abaswa tergolong percaya diri.
Ia cenderung memimpin dengan berwibawa dan selalu mencari petualangan. Ia sangat tertarik dengan kehidupan dan memiliki sifat mandiri.
Orang ini juga bicara apa adanya dan tertarik secara fisik pada orang lain. Nama "Abaswa" memang tidak mencerminkan kualitas pribadinya, namun memiliki nama yang bagus akan membantu seseorang menjadi lebih percaya diri, dan lebih bersemangat untuk menjadi pribadi yang positif, serta selalu berusaha agar hidupnya dapat bermanfaat untuk banyak orang.
Menurut studi nama "Abaswa" mempunyai kepribadian Tingkat spiritual tinggi, intuitif, tercerahkan, idealis, pemimpi.
Sekali lagi kepribadian di atas adalah hasil studi cocoklogi, yang pastinya bukanlah penentu kepribadian sebenarnya. Ada banyak hal lain yang menentukan sifat dan kepribadian seseorang.

Friday, May 28, 2021

Dursasana (Duhsasana)

DURSASANA adalah putra Prabu Drestarasta, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Gandari, putri Prabu Gandara dengan Dewi Gandini dari negara Gandaradesa.

Dursasana bersaudara 100 orang --{99 orang pria dan 1 orang wanita} yang disebut Sata Kurawa.
Diantaranya yang dikenal dalam pedalangan adalah Duryudana (raja Negara Astina), Bogadatta (raja negara Turilaya), Bomawikata, Citraksa, Citraksi, Carucitra, Citrayuda, Citraboma, Durmuka, Durmagati, Durgempo, Gardapati (raja Negara Bukasapta), Gardapura , Kartamarma, (raja negara Banyutinalang), Kartadenta, Surtayu, Surtayuda, Wikataboma, Widandini (raja negara Purantara) dan Dewi Dursilawati.
Dursasana menikah dengan Dewi Saltani, putri Adipati Banjarjungut.
Dari perkawinan ini ia berputra seorang lelaki bernama Dursala. Dursasana berbadan besar, gagah dan bermulut lebar, mempunyai watak dan sifat; takabur, gemar bertindak sewenang-wenang, besar kepala, senang meremehkan dan menghina orang lain.
Dursasana mempunyai pusaka sebuah keris yang luar biasa besarnya bernama Kyai Barla.
Dursasana mati di medan perang Bharatayuda oleh Bima/Werkudara dalam keadaan sangat menyedihkan.
Dadanya dibelah dengan kuku Pancanaka. Darah yang menyembur ditampung Bima untuk memenuhi sumpah Dewi Drupadi, yang akan dibuat kramas dan mencuci rambutnya.
Anggota tubuh dan kepala Dursasana hancur berkeping-keping, dihantam gada Rujakpala.

Raden Dursasana
, putra Prabu Destarastra, raja negara Astina. Ia adalah putra kedua, seorang ksatria agung Korawa yang bersemayam di kesatriyan Banjarjungut dan karena itu ia disebut juga ksatria Banjarjungut. Dursasana sangat disayang oleh bapak, ibu dan saudara tuanya Prabu Suyudana. Ia suka dipuji dan berbuat sekehendak hatinya. Tak ada seorang pun yang bisa melarangnya. Kata-kala Dursasana kasar dan diikuti oleh ketawa. Ia tak pernah bisa tenang. Pada waktu berjalan, demikian pula pada waktu duduk, ia berlenggang panjang dengan tanggannya, suatu kebiasaan yang memang ganjil sekali. Dursasana diangkat sebagai pahlawan Astina untuk perang tanding kelak dengan Wrekodara dalam perang Baratayuda.

Dursasana sangat disayang oleh ibu-bapak. Ia tak pernah dilarang untuk berbuat apapun. Andaikan berbuat salah pun, ia dibiarkan saja.
Di dalam lakon Arjuna Papa, Arjuna menderita sengsara. Para Korawa merasa terbalas dendam mereka terhacap Pendawa. Arjuna tertangkap oleh Korawa dan disiksa, ketika Arjuna sedang disiksa oleh para Korawa, Dursasana, yang tertua di antara para Korawa yang menyiksa itu, senang sekali menyaksikan peistiwa penyiksaan itu. Tetapi kemudian tingkah laku Dursasana itu menemui pembalasanny dalam amukan Wrekodara.
Demikian pula dalam lakon Baleseagalagala. para Koawa merasa berhasil mengenyahkan kerabat Pendawa dari muka bumi, ketika para Pendawa mabuk di dalam perayaan dan tempat di mana perayaan diadakan dibakar oleh para Korawa, sehingga menurut dugaan mereka ini punahlah sudah para Pendawa.
Tetapi oleh pertolongan Dewa Bumi, Hyang Antaboga kepada para Pendawa dapat ditunjukkan jalan ke Saptapertala dengan seekor garangan, musang putih sebagai penunjuk jalannya dan sesudah mengalami peristiwa pembakaran itu, keluarga Pendawa malahan menemui kemuliaannya. Sesudah mengetahui, bahwa Pendawa dapat menyelamatkan diri dari kebakaran, para Korawa terheran-heran dan bernafsu untuk memusnahkan Pendawa.
Dalam perang Baratayuda, Dursasana benar-benar berhadapan dengan Wrekodara dan tewas oleh ksatria ini.

Dursasana bermata telengan putih, berhidung dempak, bermulut gusen. Berperawakan tinggi dan besar. Dalam anggapan Korawa, Dursasana adalah Wrekodaranya Astina dan menjadi imbangan Wrekodara yang sebenarnya.
Dursasana bermahkota bentuk topeng, berjamang dengan garuda membelakang, bersunting kembang kluwih. Berkalung ulur-ulur. Bergelang, berpontoh, dan berkeroncong. Berkain kerajaan lengkap.
Dalam lakon Alap-alapan Ulupi, cenitanya berpokok kawinnya Dewi Ulupi, putri Begawan Kanwa dan Yasarata, dengan Arjuna.

Lakon Alap-alapan berarti lakon perjodoan seorang ksatria. Dalam hubungan dengan negara Astina, ada putri tertentu yang akan dikawinkan dengan Dursasana, tetapi ternyata putri itu sudah kawin dengan Raden Arjuna dan marahlah pihak Astina. Kawinnya Dursasana dengan Ulupi di sini cuma menjadi buah tutur. Banyak memang lakon-lakon mengenai Korawa dan khususnya mengenai Dursasana.
Ada lakon-lakon lain mengenai Astina seperti mialnya akan kawinnya Pendita Durna dengan Dewi Setyaboma, tetapi kemudian putri ini kawin dengan Prabu Kresna.

Akan kawinnya Raden Lesmanamandrakumara, putra Prabu Suyudana, dengan Dewi Titisari, putri Prabu Kresna, akhirnya tak jadi dan pihak Astina mendapat malu besar, oleh karena Lesmana dipermainkan oleh orang-orang Dwarawati, negara Prabu Kresna. Menurut adat kebiasaan perkawinan orang Jawa, orang laki-laki harus dapat membatasi diri dalam soal makan dan hanya makan nasi putih saja misalnya, dalam hal mana dikatakan, bahwa dia putih.
Lesmana pun berbuat demikian, tetapi yang dimakannya ialah putihnya telur asin, yang dianggapnya putih juga.
Dalam perkawinan Prabu Suyudana dengan Dewi Banowati, Suyudana diminta mewujudkan suatu janji yang berat.

Duryodana (Suyodana)

Duryodana, sang pemimpin kurawa merupakan tokoh antagonis utama dalam cerita Mahabharata,Lawan para pandawa. Duryodana adalah putera sulung Prabu Drestarasta, Raja Astina dengan Dewi Gandari, putri Prabu Gandara dari negara Gandaradesa. Duryodana bersaudara seratus orang, dimana sembilan puluh sembilan diantaranya adalah laki-laki dan satu orang perempuan, yang disebut sebagai Sata Kurawa. Duryodana memiliki dua orang anak kembar bernama Lesmana Mandarakumara dan Lesmanawati dari pernikahannya dengan Banowati.


Kelahiran Duryodana dan para kurawa merupakan suatu hal yang tidak wajar. Gandari, ibu dari para kurawa hamil dalam jangka waktu yang cukup panjang, Ia cemburu pada Kunti yang telah memberikan Pandu tiga orang putra. Gandari pun melahirkan gumpalan daging berwarna keabu-abuan. Heran dengan hal tersebut, Gandari pun memuja Byasa, seorang petapa sakti yang memberikannya berkah seratus orang anak. Gumpalan daging tersebut dipotong oleh Byasa menjadi seratus bagian dan dimasukkannya kedalam pot. Pot yang berisi gumpalan daging tersebut ditanam didalam tanah dan digali satu tahun kemudian. Setelah satu tahun berlalu yang pertama dikeluarkan dari pot tersebut adalah Duryodana, dan kemudian para kurawa yang lainnya. Para Brahmana merasakan adanya pertanda buruk mengiringi kemunculannya dari dalam pot. Widura dan Bisma menyarankan agar anak tersebut dibuang, namun kecintaan Drestarastra kepada putera pertamanya tersebut membuatnya tidak mampu untuk melakukan hal tersebut.

Duryodana dikatakan memiliki tubuh yang terbuat dari petir karena ia sangat kuat. Duryodana sangat dihormati oleh adik-adiknya. Ilmu bela diri ia dapatkan dari gurunya, yaitu Krepa, Drona dan Balarama atau Baladewa. Senjata yang ia gunakan adalah gada. Duryodana memiliki sahabat seorang ksatria gagah perkasa bernama Karna, yang berani menentang Arjuna. Namun karena perbedaan kasta diantara mereka, maka Duryodana membela Karna dan menjadikannya raja di kerajaan Anga. Karna merupakan harapan Duryodana untuk memenangkan perang Bharatayuddha.

Duryodana memiliki sifat yang jujur, namun mudah dipengaruhi, licik dan menginginkan sesuatu yang serba enak. Dengan kekayaan dan kemegahan Indraprastha membuat Duryodana iri dengan Yudhistira. Para pandawa yang selalu membuat Duryodana jengkel membuatnya ingin menyingkirkan mereka, namun selalu gagal karena perlindungan dari Kresna. Untuk melakukan hal tersebut Duryodana dibantu oleh pamannya Sangkuni yang licik dan selalu memberikan ide-ide buruk untuk mempengaruhi Duryodana. Sangkuni yang berlidah tajam menghasut Duryodana untuk mengajak Yudishtira melakukan permainan dadu dengan taruhan harta dan kerajaan. Dengan kelicikannya Duryodana memenangkan permainan tersebut dan Yudhistira menyerahkan seluruh harta kekayaan bahkan adik dan istrinya kepada Duryodana.
Pandawa yang meminta kembali kerajaan mereka setelah masa pembuangan ditolak mentah-mentah oleh Duryodana. Meskipun pandawa berhak ikut serta dalam pemerintahan sebagai pangeran Kerajaan Kuru, Duryodana tetap bersikeras menolak dan menantang para pandawa untuk melakukan perang. Kresna pun mendatangi Duryodana untuk malakukan perdamaian, namun Duryodana tetap menolak dan terjadilah perang besar di Kurukshetra atau di Indonesia lebih dikenal dengan perang Barathayuddha

Duryodana didampangi oleh para ksatria kuat yang siap melindunginya dalam perang besar di Kurukshetra. Duryodana menggantungkan harapan untuk meraih kemenangan kepada Bisma dan Karna, sahabat yang bersumpah setia akan selalu memihak Duryodana. Namun para ksatria yang memihak Duryodana gugur satu-persatu, begitu pula Bisma dan Karna. Menjelang akhir peperangan Duryodana pun merasa cemas akan kekalahannya. Takut akan kekalahan puteranya, Ratu Gandari pun memberikan Duryodana kekuatan yang berasal dari kedua matanya yang ia tutup. Dengan kekuatan tersebut Duryodana akan kebal terhadap segala macam serangan. Untuk mendapatkan kekuatan tersebut Duryodana diharuskan mandi dengan keadaan telanjang dihadapan Ibunya. Karena malu setelah mendapat ejekan dari Kresna, Duryodana pun menutup bagian bawah perutnya, termasuk pahanya. Saat Gandari melepas penutup matanya kekuatan pun dilimpahkan ketuhuh Duryodana. Namun, bagian bawah perut yang ditutupi tidak mendapat kekuatan dan tidak kebal terhadap serangan.
Pada pertarungan terakhir, Yudhistira menawarkan Duryodana untuk bertarung dengan salah satu Pandawa. Yudhistira akan menyerahkan kerajaan kepada Duryodana apabila ia berhasil mengalahkan Pandawa. Duryodana pun setuju dan memilih bertarung melawan Bima dengan senjata gada. Keduanya memiliki kemampuan setara dan menuntut ilmu pada guru yang sama, yaitu Baladewa. Pertarungan berlajan sengit dan seimbang karena kekuatan mereka setara. Kresna pun mengingatkan Bima atas sumpahnya saat permainan dadu untuk mematahkan paha Duryodana karena melecahkan Dropadi. Bima pun mengingat sumpahnya dan langsung memukul dengan keras paha Duryodana menggunakan gadanya. Duryodana pun tersungkur dan roboh karena bagian yang dipukul tersebut tidak mendapatkan kekuatan kebal terhadap serangan. Bima yang ingin mengakhiri hidup Duryodana dicegah oleh Baladewa yang mengancam akan membunuhnya jika melakukan hal tersebut. Bima melanggar aturan dalam pertempuran gada karena memukul bagian paha, maka Baladewa pun sangat marah kepadanya. Kresna pun menyadarkan Baladewa dan membeberkan kecurangan-kecurangan yang dilakukan Duryodana dan ia lebih banyak melanggar aturan dalam peperangan. Duryodana pun gugur pada pertempuran hari kedelapanbelas. Duryodana pun masuk neraka, kemudian menikmati kesenangan di surga karena ia gugur di Kurukshetra, tanah suci yang diberkati.

Sunday, May 23, 2021

Wayang Golek

Wayang golek adalah pertunjukan wayang dari boneka kayu yang berasal dari Sunda. Cerita di dalam pegelaran wayang golek juga berasal dari Ramayana, Mahabrata dan cerita jagad pewayangan lainnya.
Seperti wayang pada umumnya, wayang golek juga diiringi oleh musik ketika ditampilkan. Biasanya alat musik yang digunakan adalah gamelan. Gamelan yang dimaksud tentunya gamelan Sunda yang termasuk Slendro.
Dalam gamelan Sunda, alat-alat di antara adalah saron, peking, selentem, kenong, gong, kempul, kendang indung, kendang kulanter, gambang dan rebab. Juga akan ada sinden yang akan mengiringi pertunjukan wayang golek dengan nyanyian yang indah.
Pola Pengadeganan Biasanya, pola pengadeganan wayang golek antara lain seperti ini susunannya:Tatalu alias dalang, sinden naik panggung lalu diiringi gending jejer atau kawit, murwa, nyandara dan biantara.
Babak unjal, lalu Paseban dan bebegalan.
Negara Sejen
Patepah
Perang Gagal
Panakawan atau Goro-goro
Perang Kembang
Perang Raket
Tutug

Fungsi Wayang Golek
Pertunjukan wayang golek ditujukan agar mampu membuat orang-orang bisa terhindar dari marabahaya. Ada beberapa orang yang diruwat atau istilahnya sukerta. Di antaranya:
Wunggal (anak satu-satunya)
Nanggung Bugang (adik dari seorang kakak yang meninggal dunia)
Suramba (4 orang putra)
Surambi (4 orang putri)
Pandawa (5 orang putra)
Pandawi (5 orang putri)
Talaga tanggal kausak (seorang anak lelaki yang diapit dua anak perempuan)
Samudra Hapit sindang (seorang anak perempuan yang diapit dua anak lelaki)
dan sebagainya

Anda pasti mengenal nama Cepot alias (nama aslinya) Sastrajingga. Dia adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ayah ibunya merupakan Semar badranaya dengan Sutiragen. Namun, ada yang menyebutkan bahwa Cepot sebenarnya lahir dari saung.
Cepot kerap menemani ksatria baik seperti Arjuna misalnya. Cepot kerap bertindak lucu dan konyol, meski sebenarnya yang di hadapannya adalah majikannya. Tak jarang justru dewa yang berada di depannya.
Meski demikian, lewat Cepot inilah dalang akan menyampaikan nasehat, pelajaran hidup dan sebagainya lewat humor dan kritiknya tersebut.
Lewat Cepot juga, pesan-pesan bebas bisa masuk ke penonton meski berada di tengah cerita. Tapi bukan berarti Cepot tidak pernah ikut perang.
Cepot bahkan bersenjata sejenis golok atau kalau di Sunda disebut bedog. Bedog ini deisebut Bedog Cepot. Inilah yang menjadi senjata bila Cepot ikut berperang.
Selain Cepot, ada Dawala. Dawala adalah adik Cepot. Dia anak kedua dari pasangan Semar Badranaya dan Sutiragen. Dawala biasanya menemani Cepot kemanapun pergi.
Selain itu ada Denawa atau bangsa buto atau raksasa. Mereka juga disebut buta yang berarti tidak bisa melihat petunjuk dewa, agama dan sebagainya. Denawa antara lain ada Denawan Acung, Denawa Calangap dan Denawa Huntu.
Sementara itu, ada pula Semar yang bedanya anak-anaknya bukanlah Petruk dan Bagong. Anak-anak Semar Badranaya dalam wayang golek antara lain Gareng, Cepot dan Dewala.
Itu penjelasan singkat atau pengantar tentang wayang golek. Berikutnya akan dibahas lebih lanjut cerita dan tokoh-tokoh lainnya dalam wayang golek Sunda.

Saturday, May 22, 2021

Pariksit

Ketika Abhimanyu gugur di palagan Kuruksetra Janin Pariksit masih berdiam di guogarbo Uttari Ketika terlahir, Parikesit jadi “bocah lola bapa”, Telah yatim sedari dalam kandungan bundanya


Citra Keagungan Raja Parikesit Dalam “Dunia Pewayangan Jawa”, khususnya jenis wayang purwo, yang kisahya bersumber kepada wiracarita Mahabharata, dikenal adanya seorang raja dari trah (garis ganeologis, alur keturunan) Pandawa, yakni Parikesit. Dalam teks Sanskrit susastra Mahabharatta maupun pada teks edisi terjemahannya ke dalam bahasa Jawa Kuna, tokoh ini ditulis dengan “Pariksit”. Pada urutan keluarga besar (dinasti, vamsa) Pandawa, Pariksit dapat dibilang “raja terakhir” keturunan kula Pandawa, sehingga acapkali dinyatakan sebagai “the last Pandawa”. Ayah Parikesit adalah Abhimanyu dengan ibui Utara (menurut versi Jawa bernama “Utari” atau “Untari” — istri Abhimanyu yang lainnya adalah Siti (Ksiti) Sundari. Abhimanyu adalah putra Arjuna. Adapun ayah dari Arjuna, yang adalah mula trah (disebut “vamsakara” atau “vamsakreta”) d dalam keluarga besar (dinasti) Pandawa adalah Pandu (acapkali disebut lengkap dengan “Pandu Dewanata”), yang dalam kitab wiracarita Mahabharatta dikisahkan sebagai raja nagari Hastinapura. Sebutan “Pandawa (Dewanagari: पाण्डव) di dalam bahasa Sanskerta berarti : anak Pandu. Parikesit dengan demikian berada di keturunan ke-4 dalam dinasti Pandawa. Pada masyarakat Jawa masa lalu, Parikesit tidak hanya dipahami sebagai ” seorang ksatria”, tokoh cerita di dalam susastra “Mahabharatta”. Namun, sebagaimana halnya peristiwa (baca “kisah”), tokoh cerita, beserta tempat-tempat kejadian yang dikisah oleh Mahabharatta diyakini sebagai nyata adanya. Bahkan, terdapat pandangan — yang dipengaruhi cara pandang “Javanisasi”, yang melokasikan tempat bagi terjadinya peristiwa -peristiwa itu berada di Jawa. Begitu pula, raja-raja yang terkisah di dalam Mahabharata, khususnya Parikesit, pada sebagian besar “silsilah mangiwo (kiwo = kiri)” adalah leluhur dari raja-raja di Jawa. Pada silsilah itu, Parikesit mempunyai lima orang permaisuri dengan 8 (delapan) orang putra. Salah seorang diantara mereka itu adalah Dewi Satapi (Tapen), yang menurunkan Yudayana dan Dewi Pramasti. Raja Yudayana meturunkan Gendrayana — sampai disini Kerajaan Hastina hilang). Lantas, Gendrayana menurunkan Jayabhaya, seorang raja di Kerajaan Kadiri pada Era Keemasan Yang menarik pada silsilah itu Jayabaya dinyatakan sebagai keturunan ke-4 dari Parikesit. Pernyataan itu memberi gambaran mengenai adanya penarikan garis keturunan (geneologis) antara Jayabhaya (penguasa di kerajaan Kadiri) dan Parikesit (raja Hastina di India). Tentu, tak cukup bukti tentang hubungan antara keduanya. Kendati demikian, historiografi tradisional Jawa menganggap terdapat “relasi” antara Kerajaan Kadiri dan Hastinapura. Relasi tersebut terkait dengan “Javanisasi (proses pen-Jawa-an)” yang telah terjadi semenjak masa Majapahit hingga ke masa-masa sesudahnya, dimana hal-hal yang sesungguhnya berada di India dialihlokasikan ke Jawa, dan kejadian-kejadian yang sebenarnya beda masa dicampuradukkan. Dalam konteks ini, kerajaan Hastina yang menghilang di India sejak pemerintahan Gendrayana dinarasikan dalam historiografi tradisional Jawa sebagai terus berlanjut di Jawa, yaitu di kerajaan Kadiri (Dhuha). Demikianlah, acap historiografi tradisional bersifat “anakronis”, sebagaimana misalnya tergambarkan pada “Silsilah Mangiwo” dari raja-raja Tanah Jawa. 
 
Latar Geneologis dan Kelahiran Parikesit 1. Kisah Heroik “Abhimanyu Gugur” Parikesit merupakan putera dari Abhimanyu alias Angkawijaya, yakni kesatria di Plangkawati. Ibunya adalah Dewi Utari, yaitu putri Prabu Matsyapati dengan Dewi Ni Yustinawati dari Kerajaan Wirata. Perkawinan Abhimanyu dan Utari pada susastra Jawa Kuna terkusah dalam kakawin Jawa Kuna “Abhimanyuwuwaha” — suatu judul susastra yang mengingatkan kita pada “Kakawin Arjunawiwaha”, yang mengisahkan menenai perkawinan ayahnya (Arjuna). Bila ditilik dari garis geneologis ayahnya, yakni Abimanyu, dalam dirinya mengalir “darah biru” Dinasti Pandawa. Parikesit boleh dibilang sebagai anggota keluarga Pandawa yang “selamat hidup” pasca perang besar Bharatayuddha. Namun nahas, ayahnya gugur sebagai ksatria sejati di palagan Kurukshetra dalam perang besar tersebut, sebuah perang saudara di lingkungan keluarga Bharattha. Oleh karena itu, pasca perang Bharatthayuddha itu tahta Hastinapura diampu Parikesit, menggantikan piutnya, yaitu Karimataya — abisekanama (nama gelar) dari Yudistira. Sebagai seorang penguasa (baca “raja”), Parikesit disosokkan sebagai seorang ksatria yang berwatak bijaksana, jujur, dan adil. Kepribadian.yang luhur itu justru tumbuh dabbberkembang dalam tantangan (change) hidup yang tidak mudah, hanya dengan asuhan Sang Ibu sebagai orang tua tunggal (single parent). Tantangan hidup telah dihadapi Parikesit sejak lahir. Bahkan, sebelum kelahiran (pra- marital), yakni masih berada di “goa garbha (kandungan)” Ibunya. Parikesit telah berstatus “yatim” sejak di kandungan ibu — bahasa Jawa Baru mengistilahi dengan “bocah lola”, 
yaitu anak yang tumbuh dan berkembang tanpa disertai orang tua kandungnya, yang pada konteks diri Parikesit adalah “lola bapa (tanpa disertai ayah kandungnya), lantaran sang ayah, yakni Abhimanyu, gugur sebagai kusuma nagara ketika janin Parikesit masih berada di dalam kandungan Dewi Utari. Parikesit lahir tanpa keberadaan ayah di kehidupannya. Kisah gugurnya Abhimanyu merupakan kisah yang penting di dalam wiracarita (Sanskerta: महाभारत) karya rakaman Begawan Byasa (Vyasa). Demikian pula diposisikan penting di dalam kakawin Jawa Kuna Bharatthayuddha karya Pu Sedah dan Panuluh di era kerajaan Kadiri. Bersama cerita “gugurnya Gatotkaca”,, kedua kisah itu mengharu-biru para pembacanya, namun sekaligus membanggakan –lantaran kedua Ksatria putra dari anggota keluarga Pandawa itu telah bertindak sebagai “martir”, yang bersedia berlalu altrustik lewat pengabdian berbela nagara. Abhimanyu putra Arjuna dan Gatotkaca putra Bhima dilukiskan pada kedua susastra itu sebagai “sang pahlawan”. Apabila ayahnya, yakni Abhimanyu dipredikati sebagai “sang pahlawan”, maka cukup alasan untuk menyatakan Parikesit sebagai “putra pahlawan” Keksatrian dari Abhimanyu (Dewanagari अभिमन्यु) secara heroik terkisah dalam kitab Mahabharatta, tepatnya di bagian (parwa) Bharattayuddha. Putra Arjuna dan Widyadari Subadra ini telah ditetapkan sebagai calon penerus dari Yudistira, atau pewaris tahta. Namun, Ia keburu gugur di palagan tempur Kurukshetra sebagai salah satu ksatria termuda dari pihak Pandawa – pada usia yang baru 16 tahun, malahan baru saja menikah (bahasa Jawa “manten anyar”) dengan Utari. Dalam mitologi, Abhimanyu alias Parthasuta, Parthātmaja, Saubhadra, ataupun Angkawijaya, Jaka Pengalasan, Jaya Murcita, Sumbadratmaja, Wanudara, Wirabatana ataupun Kirityatmaja adalah inkarnasi Warcasa, yakni putra Dewa Bulan. Arjuna membuat perjanjian dengan Warcasa bahwa putrnya hanya akan tinggal di bhmi dalam waktu16 tahun, dan karenanya Abhimanyu pun tewas dalam usia 16 tahun.. Abimanyu dianggap sebagai seirang kesatria “yang terberani” dari keluarga besar Pandawa, yang telah mengorbankan diri pada peperangan dalam usia yang masih sangat muda.ia turut serta membela ayahnya dalam pertempuran besar selama 18 hari. Sebagai “cucu” Dewa Indra, Abimanyu merupakan ksatria gagah berani dan ganas, kemampuannya setars dengan sang ayah (Arjuna). Walau berusia muda, namun Abhimanyu mampu melawan para kesatria besar di pihak Korawa, tidak terkecuali Drona, Karna, Duryodana, maupun Dursasana. Abhimanyu dipuji atas keberaniannya, dan memiliki rasa setia yang tinggi terhadap ayah, paman, dan sekutunya.

Kekalahan Abhimanyu lantaran kelicikan dari para perwira Korawa, dengan membunuhnya secara kroyokan pada pertempuran hari ke- 13 dalam formasi melingkar (cakrabhyuja). Terhadap formasi tempur ini, Pandawa tidak mempunyai pilihan selain menaruh harapan kepada Abimanyu, yang dikalkulasi memiliki pengetahuan dan ketrampilan perang tentang cara untuk menembus formasi cakrabyuha. Sayang sekali, meskipun mampu menembus formasi itu, namun tidak tahu cara keluar dari dalamnya. Untuk meyakinkan bahwa Abimanyu tidak terperangkap di dalam formasi cakrabyuha utu, maka Pandawa bersaudara dan sekutunya mengawal Abimanyu serta membantu keluar dari formasi cakrabyuja. Abimanyu berhasil menembus Cakrabyuja. Para Pandawa beserta sekutunya mencoba mengikutinya, namun dihadang oleh Jayadrata (raja Sindhu), yang menggunakan anugerah Siwa padanya untuk menahan serangan dari Pandawa.

Setelah tertinggal, makavAbimanyu musti berjuang sendirian menghadapi serangan dari pihak Korawa. Abimanyu berhasil membinasakan beberapa orang kesatria Korawa yang medekatinya, termasuk putra Duryodana, yaitu Laksmana. Demi menyaksikan putra terkasih terbunuh, murkalah Duryodana, dan memerintahkan segenap perwira Korawa, seperti Dursasana, Sangkuni, Aswatama maupun Karna untuk segera membunuh Abimanyu. Tanpa peduli akan aturan perang, sontak mereka menyerang Abimanyu. Setelah tidak berhasil untuk hancurkan baju zirah dari Abimanyu, Karna menghancurkan busur panah Abhimanyu dari arah belakang. Lantas hancurkan kereta perang (ratha)nya; membunuh kusir beserta kuda-kudanya, hingga seluruh senjata Abhimanyu turut terbuang. Namun hebatnya dari Abimanyu adalah mampu untuk bertahan sampai pedangnya patah dan roda kereta yang digunakan sebagai perisai hancur berkeping- keping. Tidak berapa kemudian, Abimanyu dibunuh oleh putra Dursasana dengan cara menghancurkan kepalanya menggunakan gada.


Kisah Kelahiran “Bocah Lola” Parikesit
Kata “lola” didapati dalam bahasa Jawa Baru, yang berarti seorang anak yang tumbuh dan berkembang tanpa disertai oleh salah satu ataupun kedua orang tua kandungnya. Istilah “lola, alola” ataupun “lolita” sebenarnya telah kedapatan di dalam bahasa Jawa Kuna dan Tengahan, yang merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta, namun artinya: tak tenang, gelisah, berlari kesana kemari mari, bergoyang, bergoncang, bergetar, atau rasa rindu (Zoetmulder, 1995:607). Arti demikian lebih menyukai kapada dampak psikologis dari kondisi lola (tak berayah, tak beribu, atau keduanya). Rasa rindu misalnya, acap terjadi pada diri anak yang “lola”. Bgitu pula halnya dengab perasaan gelisah atau tidak tenang, acap menggerakan pada bocah lola. Bahkan, lantaran tak berayah-ibu, bocah lola terobang- ambing sendirian dalam menghadapi gejolak kehidupan.

Mengingat dampak psikoligis pada ” bocah lola” itu, makan segenap agama perintahkan untuk menaruh belas kasih, kepedean atau uluran tangan kepada anak yang berstatus “lola”. Dalam agama Islam, sebutan untuknya adalah : (a) kata “yatim” untuk anak yang “lola ayah”, (b) kata “piatu” untuk anak yang “lola ibu”, serta (c) kata ” yatim-piatu” untuk anak yang “lola ayah dan lola ibu”. Ada status” lola” yang menimpa diri anak setelah beberapa lama kelahirannya, namun ada pula seorang anak yang telah lola sebelum kelahirannya, tepatnya “lola ayah”, karena ayah kandungnya meninggal ketika anak bersangkutan berada di dalam kandungan ibunya. Parikesit adalah salah seorang contoh mengenai anak yang ” lola bapa” sedari dalam kandungan ibunya.
Parikesit “Lola Bapa” Sedari di Kandungan Abimanyu gugur saat istrinya (Utari) sedang hamil tua. Dengan demikian satu-satunya anak Abimanyu, yaitu Parikesit, terlahir setelah kematian dirinya. Keberadaan “satu-satunya” pada dirinya bukanlsh semata karena Parikesit merupakan satu- datunya putra abhimanyu, namun juga merupakan satu- satunya keturunan dinasti pandawa yang masih hidup pasca Perang Bharatayuddha dan pasca perjalan maha berat oleh anggota keluarga besar Pandawa menuju swargga (nirwana) yang pada parwa ke-18, yaitu Swargorohanaparwa, dikisahlkan sebagai pendakian menuju ke puncak Meru (nama arkhais untuk “Himalaya”).

Pada sebelum kelahirannya, Parikesit nyaris tak selamat hidup. Mahabharatta memuat kisah bahwa pada perang Bhatattsyuddha di akhir hari ke-18 Aswatama bertarung dengan Arjuna . Keduamya sama-sama sakti, bahkan sama-sama keluarkan senjata bernama “Brahmāstra”. Oleh karena dicegah oleh Rsi Byasa, maka Aswatama dianjurkan untuk mengarahkan senjata tersebut kepada objek lain. Namun, Aswatama malahan memilih srahkan senjatanya ke kandungan Utari, dan menyebakan terbunuhnya Parikesit yang masih berada dalam kandungan ibunya (Utari). Atas pertolongan dari Kresna, maka Parikesit bisa dihidupkan kembali. Itulah sebab mengapa Aswatama dikutuk kelak bakal mengembara di dunia selama-lamanya.

Demikianlah, sejak masih dalam kandungan ibunya, Parikesit telah menghadapi cobaan berat. Pertama, ayahnya (Abhimanyu) gugur di medan laga. Kedua, dirinya pernah mati, lantaran terkena panah milik Aswatama, namun beruntung dihidupkan kembali oleh Kresna, sehingga keberlanjutan dari Dinasti Pandawa tidak terputus. Tergambar bahwa cobaan demi cobaan — baca “tantangan (changes)” telah dihadapi oleh Psrikesit, sehingga ia terlatih untuk kuat dan mampu dalam menghadapi tantangan hidup, sehingga ia kelak menjadi seorang Ksatria tangguh.

Setelah kelahirannya, Rsi Dhomya menyampaikan ramalannya pada Yudhistira bahwa kelak Parikesit akan menjadi pemuja setia kepada Dewa Wisnu, lantaran ia pernah dihidupkan kembali oleh Bhattara Kresna setelah panah milik Aswatama mengenai janinnya yang ketika itu masih berada di dalam andungann ibunya. Ini adalah salah satu contoh kejadian, dimana Parikesit mendapat perlindungan dari Dewa. Terkait itu, Parikesit mendapat sebutan diri sebagai “Vishurata”, yakni orang yang selalu mendapat perlindungan Dewata. Selain itu, Rsi Dhomya meramalkan bahwa kelah Parikesit akan menjadi orang yang mencurahkan kebajikan, ajaran agama maupun kebenaran. Kala menjadi seorang pemimpin, Parikesit menjadi seorang pemimpin yang bijaksana, sehingga membawa kemasyhuran bagi keluarganya. Sebagaimama anak-snak lain yang terlahir dalam kondisi “lola ayah”, secara psikologis Parikesit pun mengalami keresahan, bahkan kegoncangan perasaan. Berkat upaya untuk melatih dirinya menghadapi tantangan atau goncangan jiwa, maka membuahkan pribadi yang mampu menstabilkan dirinya dan tidak panik (tenang) di dalam menghadapi cobaan atau tantangan.

Ksatriabhakti Abhimamyu Bhakti Ksatria merupakan perilaku luhur pada etika kehidupan ksatria. Seorang ksatria barulah dapat disebut sebagai “ksatria” sejati apabila bersedia untuk mengabdikan diri (mabhakti) kepada nagari, bahkan rela nengorbankan jiwa dan raganya untuk kesentausaan serta kejayaan negeri. Bhakti nagari yang disertai dengan kesedian untuk mati dinamai “bela nagari” atau “labuh nagari”. Dalam episode Sejarah Perjuangan Kemerdekaan, yaitu pada era Pendudukan Jepang, pengorbanan yang demikian diistilahi dengan “Pembela Tanah Air (PETA).

Diantara para ksatria yang dikisahkan dalam kitab Mahabharatta, Abhimamyu layak mendapatkan predikat sebagai sosok ksatria yang riil melakukan ” dhamma ksatria” atau “ksatriabhakti”, menjalankan “labuh nagari” atau “bela nagari”. Abhimamyu gugur sebagai kusuma nagari dalam usia yamg masih muda. Bahkan, tidak sempat untuk mengenyam kesempatan sebagai “bapa (ayah)” untuk putra pertamanya, yaitu Parikesit. Lantaran, ketika gugur di medan perang besar “bharattayuddha”, buah cinta-kasihnya dengan Uttari itu masih berada di dalam kandungan bundanya. Abhimamyu adalah seorang teladan tentang “ksatria sejati”.

Sunday, November 3, 2019

PERANG KEMBANG

Mencari makna yang menyelubungi tari Bambangan-Cakil sebaiknya jangan dilepaskan dari kisah awal yang dijadikan sumber acuan; yaitu perang kembang salah satu adegan bagian dari suatu pertunjukan wayang (pakeliran). Di mata orang Jawa masa lalu, pertunjukan wayang dianggap sarat dengan simbol-simbol budaya. Sebagai salah satu tontonan, adegan perang kembang memiliki daya pikat luar biasa. Sebab, dalam adegan ini telah terjadi sebuah konflik phisik antara dua kubu yang sangat kontras, yaitu perkelahian antara tokoh halus yang lemah gemulai melawan tokoh-tokoh yang dinamis dan atraktif . 

Adegan perang kembang lazimnya disajikan di tengah-tengah pakeliran semalam suntuk, saat-saat para penonton sudah mulai jenuh, letih, dan mengantuk. Di masa lalu, adegan perang ini dapat dikatakan menjadi adegan unggulan, yang hampir selalu ditunggu-tunggu oleh sebagian besar penonton pakeliran wayang kulit. Barang¬kali karena adegan perang ini sangat menarik, dalam tradisi pakeliran Sala kemudian disebut dengan adegan perang kembang . Dalam konteks tontonan, istilah ‘perang kembang’ dapat diartikan sebagai sebuah perang èdèn-èdèn (hiasan), perang unggulan, atau perang primadona dari sebuah pertunjukan wayang yang utuh. 
Istilah ‘kembang,’ apabila dirangkai dengan kosa kata lain sering memiliki arti kiasan atau bermakna simbolik; di antaranya menonjol, bukan hal yang lumrah (remeh), sangat menarik, prima-dona, terkenal, unggulan, dan sebagainya. Bandingkan makna perang kembang dengan kata-kata majemuk lain, seperti: ‘randha kembang (janda muda yang cantik dan kaya), kembang lambé (buah bibir banyak orang), kembangé désa (primadona desa), dan sebagai nya. 

Orang Jawa di masa lampau, setiap menyikapi berbagai hal adat-istiadat, tradisi, estetika, etika atau moral yang bernilai tinggi kemudian diberi rangkapan makna falsafi. Demi¬kian halnya dengan adegan perang kembang, dianggap sesuatu yang bernilai sangar tinggi. Dalam adegan perang kembang tersaji pertarung-an antara tokoh yang berperilaku tenang (ksatria halus) dengan lawannya (yang sangat dinamis, atraktif, dan keras atau mungkin radikal). Dalam budaya Jawa masa lalu, segala hal yang dinamis, suka menantang arus, atraktif, keras atau radikal, sering dinilai sebagai sesuatu yang kasar dan dilawanankan dengan perilaku halus.

Ksatria dalam pakeliran Jawa hampir selalu dianggap se-bagai tokoh yang memiliki karakter terpuji; selalu membela kebenaran, suka menolong, tokoh pilihan, sering menjadi idola, dan sebagai¬nya yang serba baik. Pemberian kedudukan ksatria ini, dalam budaya Jawa, bukan ditentukan oleh faktor keturunan; sebagian besar para Korawa yang berkarakter buruk tidak dapat digolong¬kan sebagai ksatria, meski¬pun memiliki leluhur yang sama dengan para Pandawa, yaitu para raja, brahmana, dan bahkan dewa.
Di masa lalu, lawan ksatria tidak selalu cakil CS, dalam lakon-lakon tertentu kadang-kadang ksatria harus berhadapan dengan sepasang raksasa hutan yang masih liar. Bahkan, di masa pa¬keliran masih sering disajikan di waktu siang hari, sampai sekitar tahun 1960-an, ksatria tidak selalu melawan para raksasa, tetapi se-pasang binatang hutan yang buas (lazimnya harimau dan ular), yang juga bermakna kasar . 

Istilah bambangan tidak mewakili atau menunjuk nama yang pasti dari tokoh tertentu, seperti: Bambang Irawan, Bambang Priyambada, Bambang Wijanarka, Bambang Wisanggeni, Bambang Swatama, Bambang Senggotho, dan sebagainya. Dalam pewayangan baik wayang kulit maupun wayang wong panggung perwujudan tokoh bambangan lazimnya bermuka ‘luruh;’ arti-nya menunduk (tidak mendongak) berperawakan langsing dan kecil (mbambang). Bambang-an merupakan simbolisasi dari tokoh ksatria berwajah tampan yang serba halus dalam segala hal, meliputi: perilaku, cara beribicara, isi ucapan, dan budi pekertinya. 
Tokoh-tokoh ksatria yang termasuk bambangan di antranya adalah Sumantri, Rama, Laksmana, Palasara, Pandu, Permadi (Arjuna), Abimanyu, Irawan, dan Priyambada. 

Tokoh-tokoh wayang gagah seperti: Gandamana, Salya, Bima, Gathutkaca, Antareja, Kakrasana, dan yang sejenis tidak lazim disebut sebagai bambang-an, meskipun tergolong dengan ksatria. Berkaitan dengan perang kembang atau Bambangan-Cakil, tokoh-tokoh tampan yang ber-perawakan kecil dan langsing tetapi bermuka mendongak (tradisi wayang menyebut ‘longok’ atau ‘lanyap¬an’) tidak lazim disebut dengan bambangan; seperti: Karna, Nangkula, Sadewa, Trutha¬-jumena, Nara¬soma, Narayana, Wisanggeni, dan Samba. 
Berkaitan dengan pengertian halus kasar ini, seorang filsuf yang sering menulis tentang pewayangan, mengatakan bahwa:
Halus adalah tanda keselarasan yang sempurna . . . kekuatannya mengalir dengan tenang, tanpa me-nimbulkan perhatian, mirip dengan putaran roda sebuah generator raksasa yang karena kecepat¬an dan kehalusannya tak lagi kelihatan gerakannya. Halus adalah seseorang yang sudah mengontrol ke¬jasmani-annya dan telah mengatur batinnya sehingga ia mencapai rasa yang benar. Sebaliknya kelakuan kasar adalah tanda kekurangan kontrol diri dan ke-kurangmatangan. Halus merupakan tanda kekuatan, kasar tanda kelemahan (Franz Magnis-Suseno 1985: 212).
Pendapat Franz Magnis-Suseno ini mungkin dirumuskan atas dasar pengamatannya pada adegan perang kembang dalam pakeliran, yang kemudian juga dapat dilihat dalam pertunjukan wayang wong panggung. Ekspresi tokoh bambangan dalam perang kembang disajikan secara tenang, tetapi cekatan (Jawa: trengginas trampil) pada saat melawan musuhnya para raksasa atau binatang buas dan liar dengan pola perang gendiran; yaitu menggunakan tuding (tangkai tangan wayang) sebagai senjata. Sebaliknya, para raksasa digambarkan dengan gerak-gerak yang liar awut-awutan dibarengi suara auman, geraman (nglokor) dan/ atau berteriak-teriak sesuai dengan wataknya yang ‘kasar.’

Berbeda dengan Franz Magnis-Suseno, Sri Mulyono berpendapat bahwa:
Perang kembang, yaitu adegan perang antara raksasa Cakil, berwarna kuning, rambut geni berwarna merah, Pragalba berwarna hitam, Galiyuk berwarna hijau, melawan seorang satria yang diikuti panakawan. Adegan ini melambangkan suattu tataran/tingkat, di mana manusia sudah mulai mampu dan berani me-menangkan atau mengalahkan nafsu-nafsu angkaranya; sufiah, aluamah, amarah, dan mulhimah (Sri Mulyono dalam F.X. Koesno ‘Puspa Sari’ 1981:49).

Selain kedua penulis di atas, Suwaji Bastomi memberi arti simbolis perang kembang dalam Gandrung Wayang adalah sebagai berikut:
Perang kembang sebagai gambaran perjalanan hidup pemuda. Pada usia muda itu orang mencari jati diri untuk memasuki masa dewasa. Dalam menemukan jati diri itu pemuda masih menjumpai godaan-godaan, antara lain godaan setan (raksasa), Satria sebagai gambaran sifat “baik” melawan sifat “buruk” yang digambarkan berupa raksasa. Perang kembang dapat pula diartikan sebagai keberhasilan masa muda dalam memerangi nafsu-nafsu jelek yaitu nafsu aluamah, amarah, sopiah, dan mutmainah (1996a:68-69)

Berdasarkan pembicaraan awal dalam makalah ini, tari Bambangan-Cakil jelas merupakan cuplikan dari sebagian adegan perang kembang yang memiliki daya pukau (estetika) luar biasa bagi penonton. Oleh sebab itulah, perang kembang memiliki makna ganda, seperti:adegan primadona, lambang pertarungan antar nafsu baik buruk, konflik kasar halus, dan sebagainya.
Pertanyaannya adalah, apakah pemaknaan tentang halus dan kasar serta perang kembang seperti pendapat Franz Magnis-Suseno, Sri Mulyono, dan Suwaji Bastomi di atas dan mungkin masih banyak tokoh lain sekarang masih relevan? Apakah para dalang sekarang yang lebih berorientasi kepada komersial (pasar) juga memahaminya? Apalagi pakeliran sekarang telah mengalami pergeseran, perang kembang bukan lagi sebagai sesuatu yang diunggulkan atau dijadikan primadona dan bukan sesuatu yang selalu dinanti-nanti. Yang selalu ditunggu kehadirannya oleh penonton wayang sekarang adalah: adegan limbuk-cangik dan gara-gara yang lebih sarat dengan hiburan dalam durasi waktu yang sangat panjang. Pergeseran sikap demikian ini sering memprihatinkan berbagai kalangan yang masih menganggap pakeliran sebagai wacana budaya yang mengandung muatan nilai tuntunan (devosional dan etika) serta .tontonan (estetika dan hiburan)

Selamat bersarasehan.
Catatan kaki:
(1) Pada awalnya adegan perang kembang hanya dimiliki pada pakeliran Gaya Surakarta, perkembangan selanjutnya pakeliran Gaya Yogyakarta juga memakainya, yang biasa disebut dengan perang bégal.
(2) Pada awalnya adegan perang kembang hanya dimiliki pada pakeliran Gaya Surakarta, perkembangan selanjutnya pakeliran Gaya Yogyakarta juga memakainya, yang biasa disebut dengan perang bégal.

Profil Penulis:
Bambang Murtiyoso, selain menjabat sebagai Dosen S-1 dan S-2 beliau juga merupakan Kepala Unit Penelitian di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta

Saturday, November 2, 2019

Wayang Klitik

Wayang ini diciptakan pada adad ke-17, tetapi siapa penciptanya tidak diketahui. Seperti diketahui manusia Jawa menganggap wayangan sebagai upacara ritus komunikasi antara yang hidup dengan roh-roh leluhurnya yang di datangkan berupa perwujudan bayangan wayang. Mereka percaya bahwa kepercayaan Animisme yang berhubungan budaya Hindu ini menganggap bahwa permulaan adanya Negara dalam bentuk kerajaan di Jawa, sesuai apa yang tertera dalam cerita Ramayana dan Mahabharata, dilanjutkan ke masa Kediri Pejajaran sebagai jaman Madya dan berakhir dengan jatuhnya kerajaan Hindu Jawa Majapahit. Masing-masing jaman diwakili dengan bentuk wayang senddiri-sendiri. Jaman Purwa, Ramayana, Mahabharata diwakili wayang Purwa. Jaman Madya diwakili oleh Wayang Gedog Madya dengan cerita panji dan Jaman Wasana diwakili Wayang Wasana yang disebut wayang klitik.

Beberapa sarjana menganggap bahwa cerita Panji dalam Wayang Madya pada hakekatnya melambangkan siklus peredaran planet antara matahari dan bulan, siang dan malam dalam bentuk percintaan antara raden Panji dengan istrinya Candrakirana yang tak ada hentinya berpisah saling mencari-cari.

Sedang cerita Damarwulan sebaliknya merupakan lambang pertentangan antara Bulan (Damarwulan) dan Matahari (Minakjingga). Lambang abadi pertentangan gelap dan terang, kejahatan dan kebenaran yang tentu saja akan berakhir dengan kemenangan kebenaran.
Bentuk Wayang Klitik.
Jika Wayang Purwa dan Wayang gedog Madya berbentuk ukiran kulit secara keseluruhan hingga menimbulkan bayangan pada kelir, maka wayang klitik berupa ukiran papan kayu dengan tangan keduanya dari kulit. Nama Klitik ini tercipta karena suara yang ditimbulkan oleh gesekan antara wayang yang dibuat dari kayu tersebut. Pertunjukan wayang Klitik karenanya tidak memerlukan kelir untuk bayangan. Oleh karena itu sering pula disebut sebagai kelir kaca. Artinya pertunjukan tembus pandang antara penonton yang bertempat di depan maupun di belakang Dalang. Pemakaian kulit untuk kedua tangan wayang klitik ini menunjukkan adanya eksperimen baru dari bentuk wayang kulit ke wayang golek kayu.
Seperti halnya dengan wyang Kulit purwa, wayang Klitik juga mengenal wanda atau bentuk wajah dan perawakan kepala untuk melukiskan watak temperamen tokoh yang didasarkan atas warna-warna yang khas misalnya untuk tokoh Menakjingga sebagai lambang Matahari yang panas dan pemarah digambarkan dalam pewarnaan Merah jingga dan Damarwulan sebagai lambang Bulan dan kesejukan dilukiskan dalam warna putih dengan wanda ruruh. Dalam wayang Klitik juga dikenal wanda rangkap dan bentuk wayang yang berbeda, misalnya untuk tokoh-tokoh pokok dikenal wanda rangkap.
Jumlah wayang Klitik untuk tokoh-tokoh pokoknya tidak lebih dari dua puluh buah, dengan tambahan sekitar 10 buah yang diambilkan dari tokoh-tokoh wayang Bratasena, Anoman, Gunungan, rampogan dan wayang ricikan jenis binatang gajah, kuda dan sebagainya.

Seperti halnya wayang purwa, wayang klitik juga mengenal cirri-ciri menurut gaya Yogya, gaya Surakarta dan gaya Mangkunegaran. Gaya Yogyakarta kurang anatomis, terutama pada pahatan kakinya, sehingga mengarah pada bentuk primitif seperti halnya pada tokoh wayang kulit Bima sehingga menimbulkan kesan bahwa gaya Yogya lebih tua umurnya daripada gaya Surakarta. Hal ini perlu penelitian lebih lanjut. Yang jelas, watak Yogya mengarah pada gagah dan bregas penuh kesederhanaan dan gaya Surakarta mengarah pada kehalusan serta ketenangan. Hal ini tentunya tidak lepas dari kemantapan kehidupan keraton Sala dibandingkan dinamisme Kraton Yogya pada masa pembentukan kerajaan dibawah pimpinan Pangeran Mangkubumi. Dari segi bentuk, Wayang Klitik gaya Surakarta masih mendekati bentuk wayang kulit sedang gaya Yogya justru mengarah pada bentuk wayang golek.

Perangkat Pertunjukan
Perangkat untuk mengiringi pertunjukan wayang klitik ini, memakai gamelan dengan laras slendro berjumlah lima macam, yakni : kendang, saron, ketuk, kenong, kempul (barang) dan gong suwukan.
Jumlah lagu/gending yang dipergunakan untuk mengiringi tidak banyak dan kurang variasinya sehingga sangat senada. Gamelannya boleh dikatakan sama dengna irama Jatilan atau kuda lumping. Apalagi bila terjadi adegan perang, sangat monoton dengan iringan gending srepegan. Pada setiap adegan yang dinamakan jejeran, Ki dalang mengiringinya dengan tembang macapat seperti Dandanggula, Sinom, pangkur, Asmaradana dsb. Tembang ini berperan sebagai suluk dalam wayang kulit dengan penambahan candra wayang untuk setiap tokoh-tokoh wayang yang sedang dilakonkanya.
Sewaktu-waktupersiapan memasuki fase pagelaran wayang yang sesungguhnya dipakai gending Undur-undur.