Search This Blog

Wednesday, May 23, 2012

Bima berguru kepada Durna




DEWA RUCI KIDUNG

Cerita kisah ajaran Dewa Ruci kepada Arya Wrekudara ketika masuk ke dasar samudera, memenuhi tugas gurunya dalam mencari air penghidupan (tirtamerta) ditulis pada sekitar abad 19 Masehi, disadur dari bentuk kakawin (berbentuk tembang) oleh pujangga Surakarta (tidak disebutkan namanya).

Serat Dewa Ruci Kidung ini disampaikan dalam bentuk tembang macapat, dengan bahasa yang sangat halus. Bahasa yang digunakan disesuaikan dengan aliterasi dan asonansi sesuai denga rumus-rumus tembang. Untuk itulah banyak kita temukan bahasa-bahasa yang tidak mudah dipahami karena berasal dari bahasa 
Kawi, Sanskerta dan Jawa Kuno. Dan meskipun terjemahan ini masih jauh dari sempurna dan memerlukan perbaikan disana-sini, kiranya tetap dapat berguna untuk pelestarian kebudayaan kita,dan selanjutnya mohon koreksi kepada pembaca yang budiman tentang hal terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

———— Bebukaning Carita ———–

Kidung Dhandhanggula

 
Arya Sena duk puruhita ring, Dhang Hyang Druna kinen ngulatana, toya ingkang nucekake, marang sariranipun, Arya Sena alias Wrekudara mantuk wewarti, marang negeri Ngamarta, pamit kadang sepuh, sira Prabu Yudistira, kang para ri sadaya nuju marengi, aneng ngarsaning raka.


Arya Sena ketika berguru kepada, Dhang Hyang Druna disuruh mencari, air yang mencyucikan, kepada badannya, Arya Sena alias Wrekudara pulang memberi kabar, kepada negeri Ngamarta, mohon diri 
kepada 
kakaknya, yaitu Prabu Yudistira, dan adik-adiknya semua, ketika kebetulan di hadapan kakaknya.

 
Arya Sena matur ing raka ji, lamun arsa kesah mamprih toya, dening guru piduhe, Sri Darmaputra ngungun amiyarsa aturing ari, cipta lamun bebaya, Sang Nata mangungkung, Dyan Satriya Dananjaya, matur
 manembah ing raka Sri Narpati, punika tan sakeca.


Arya Sena berkata kepada Kakanda Raja, bahwa ia akan pergi mencari air, dengan petunjuk gurunya, Sri Darmaputra heran mendengar kata adiknya, memikirkan mara bahaya, Sang Raja menjadi berduka, Raden Satriya Dananjaya, berkata sambil meyembah kepada Kanda Raja, bahwa itu tidak baik.

Inggih sampun paduka lilani, rayi tuwan kesahe punika, boten sakeca raose, Nangkula Sadewaku, pan umiring aturireki, watek raka paduka, Ngastina Sang Prabu, karya pangendra sangsara, pasthi Druna ginubel pinrih ngapusi, Pandawa sirnanira.

Sudahlah jangan diizinkan, adinda (Wrekudara) itu pergi rasanya itu tidak baik, Nakula dan Sadewa, juga menyetujui kata-kata Dananjaya, sifat kakanda tuanku, yang tinggal di Ngastina, hanya ingin menjerumuskan ke dalam kesengsaraan, tentu Druna dibujuk agar medustai, demi musnahnya Pandawa.

Arya Sena miyarsa nauri, ingsun masa kenaa den ampah prapteng tiwas ingsun dhewe, wong nedya amrih putus, ing sucine badanireki, Sena sawusnya mojar, kalepat sumebrung, sira Prabu Darmaputra, myang kang rayi tetiga ngungun tan sipi, lir tinebak wong tuna.

Arya Sena mendengar itu lalu menjawab, aku tak mungkin dapat ditipu dan dibunuh, karena ingin mencari kesempurnaan, demi kesucian badan ku ini, setelah berkata begitu, Sena lalu segara pergi, Sang Prabu Darmaputra, dan ketiga adiknya sangat heran, bagaikan kehilangan sesuatu.

Tan winarna kang kari prihatin, kawuwusa Sena lampahira, tanpa wadya among dhewe, mung braja kang tut pungkur, lampah mbener amurang margi, prahara munggeng ngarsa gora reh gumuruh, samya giras wong padesan, ingkang kambuh kaprunggul ndarodog ajrih mendhak ndhepes manembah.

Tak terkisahkan keadaan yang ditinggalkan dalam kesedian, diceritakanlah perjalanan Sena, tanpa kawan hanya sendirian, hanyalah sang petir yang mengikutinya dari belakang, berjalan lurus menentang jalan, angin topan yang menghadang di depan terdengar gemuruh riuh, orang-orang desa bingung, yang bertemu di tengah jalan gemetar katakutan sambil menyembah.

Ana atur segah tan tinolih, langkung adreng prapteng Kurusetra, marga geng kambah lampahe, glising lampahira sru, gapura geng munggul kaeksi, pucak mutyara muncar, saking doh ngenguwung, lir kumembaring baskara, kuneng wau kang lagya lampah neng margi, wuwusen ing Ngastina.

Kesediaan yang sudah disanggupi tak mungkin ditolehnya, sangat kuat tekatnya untuk menuju hutan Kurusetra, jalan besar yang dilaluinya, sungguh cepat jalanya, pintu gerbang tampak dari kejauhan, puncaknya seperti mutiara berbinar-binar, dari jauh seperti pelangi, bagaikan matahari kembar, sampai di sini dulu kisah perjalanan Arya Sena Wrekudara, sekarang dikisahkan keaadaan di negeri Ngastina.

————- Di Negeri Ngastina ————-

Prabu Suyudana animbali, Resi Druna wus prapteng jro pura, nateng Mandraka sarenge, Dipati Karna tumut, myang Santana andeling westi, pan sami tinimbalan, marang jro kadhatun, Dipati ing Sundusena, Jayajatra miwah sang patih Sangkuni, Bisma myang Dursasana.

Prabu Suyudana memanggil, Rsei Druna sudah tiba di dalam istana, bersama Raja Mandaraka, Adipati Karna pun ikut dan sentana/pembesar andalan menumpas bahaya, semua dipanggil, masuk keistana, Adipati dari Sindusena, Jayajatra, Sang Patih Sangkuni, Bisma dan Dursasana.

Raden Suwirya Kurawa sekti, miwah Rahaden Jayasusena, Raden Rikadurjayane, prapteng ngarsa sang prabu, kang pinusthi mrih jayeng jurit, sor sirnaning Pandhawa, ingkang dadya wuwus, ajwa kongsi Bratayuda, yen kenaa ingapus kramaning aris, sirnaning kang Pandhawa.

Raden Suwirya Kurawa yang sakti, dan Raden Jayasusena Raden Rikadurjaya, tiba dihadapan Raja, yang disembah agar menang dalam perang, mengalahkan para Pandawa, yang menjadi dalam pembicaraan, jangan sampai terjadi perang Baratayuda, bila dapat ditipu secara halus, kemusnahan sang Pandawa.

Golong mangkana aturnya sami, Raden Sumarma Suranggakara, anut rempeg samya ture, wau sira sang prabu, Suyudana menggah ing galih, datan pati ngarsakna, ing cidranireki, kagagas kadang nak sanak, lagya eca gunem Wrekudara prapti, dumorojog munggeng pura.

Mereka sepakat, Raden Sumarma Suranggakara, menyetujui semua pembicaraan, demikian Sang Prabu, Suyudana dalam hatinya, tidak begitu dirasakan, tentang kecurangannya, memikirkan saudara dekat, ketika sedang asyik bercakap-cakap Wrekudara datang, terburu-buru masuk ke istana.

Kagyat obah kang samya alinggih, Prabu Duryudana lon ngandika, yayi den kapareng kene, Dyan Wrekudara njujug Dhang Hyang Druna sigra ngabekti, rinangkul jangganira, babo suteng ulun, sira sida ngulatana, tirta ening dadi sucining ngaurip, yen iku ketemua.

Terkejutlah semua yang hadir, Prabu Dryudana berkata pelan, adikku marilah kesini, Raden Wrekudara langsung menghadap Dhang Hyang Druna segera meyembah, dirangkul/dipeluk lehernya, wahai anakku, kau jadi pergi mencari, air jernik untuk menyucikan diri, jika itu telah kau temukan.

Tirta nirmala wisesaning urip, wus kawengku aji kang sampurna, pinunjul ing jagad kabeh, kauban bapa biyung, mulya saking sira nak mami, leluwihing triloka, langgeng ananipun, Arya Sena matur nembah, inggih pundi prenahe kang toya ening, ulun mugi tedahana.

Air suci penghidupan, sudah berarti kau mencapai kesempurnaan, menonjol di antara sesama makhluk, dilindungi ayah ibu, mulia darimu anakku, berada dalam triloka, adanya kekal, Arya Sena berkata sembah, ya dimanakah tempatnya sang air jernih, mohon aku ditunjukkan.

Sayektine yen ulun lampahi, Resi Druna alon wuwusira, adhuh suteng ulun angger, tirta suci nggenipun, pan ing wana Tibrasareki, turuten tuduhingwang, banget parikudu, nucekaken ing badanira, ulatana soring Gadawedaneki, ing wukir Candradimuka.

Sungguh akan kutunjukkan, Resi Druna lirih kata-katanya, aduh anakku tercinta, air suci letaknya, berada di hutan Tibrasara, ikutilah petunjukku, harus diperhatikan, itu akan menyucikan dirimu, carilah di bawah Gandawedana, di gunung Candramuka.

Drungkarana ing wukir-wukir, jroning guwa ing kono nggonira, tirta nirmala yektine, ing nguni-uni durung, ana kang wruh ngone toya di, Arya Bima trustheng tyas, pamit awot santun, mring Druna myang Suyudana, Prabu ing Ngastina, angandika aris, Yayi Mas den prayitna.

Carilah di gunung-gunung, di dalam gua gua di situlah letaknya, air suci yang sesungguhnya, di masa lalu belum ada yang tahu tempatnya, Arya Bima gembira hatinya, mohon diri sambil meyembah, kepada Druna dan Suyudana, Prabu di Ngastina, berkata pelan, berhati-hatilah adikku.

Bok kasasar nggonira ngulati, saking ewuhe panggonanira, Arya Sena lon wuwuse, nora pepeka ingsun, anglakoni tuduh sang Yogi, Bima gya pamit medal, lajeng lampahipun, kang maksih aneng jro pura, samya mesem nateng Mandraka nglingnya ris, kaya paran solahnya.

Jangan sampai tersesat dalam usaha mencari, oleh sulitnya letak air suci itu, Arya Sena menjawab pelan, aku tidak akan mengalami kesulitan, dalam menjalankan petunjuk sang guru. Bima segera mohon diri keluar, melanjutkan perjalanan, yang masih tinggal di dalam istana, semua terseyum, Raja Mandaraka berkata lirih, bagaimana caranya ia memperoleh air itu.

Gunung Candradimuka guwaneki, dene kanggonan reksasa krura, kagir-giri gedhene, pasthi yen lebur tempur, ditya kalih pangawak wukir, tan ana wani ngambah, sadaya gumuyu, ngrasantuk upayanira, sukan-sukan boga andrawina menuhi, kuneng wau kocapa.

Gunung Candramuka dan guanya, di situ tinggal raksasa yang sangat menakutkan sangat besar, tentu akan hancur lebur, dua raksasa serupa gunung, tak ada yang berani melawan, semuanya tertawa, merasa berhasil tipu muslihatnya, bersuka ria pesta makan-minum sepuas-puanya, berganti yang dikisahkan.


1   2   3   4   5   6   7   8   9   10.......

Friday, May 11, 2012

SENGKUNI

Dalam pewayangan Jawa, Sangkuni sering dieja dengan nama Sengkuni. Sengkuni bukan kakak dari Dewi Gandari, melainkan adiknya. Sementara itu Gandara versi pewayangan bukan nama sebuah kerajaan, melainkan nama kakak tertua mereka. Saudara Sengkuni ada empat yaitu Prabu Gandara, Harya Sarabasta, Harya Gajaksa dan Dewi Gandari. Dewi Gandari lah yang selalu di pengaruhi Sengkuni untuk berbuat jahat, kemudian setelah itu anak dari Dhestarasta (Kurawa) yang didorong untuk berbuat jahat kepada putra Pandhu (Pandhawa).
Sengkuni adalah putra Prabu Kiswara/Suwala dari Kerajaan Plasajenar, wataknya licik, suka mengadu domba, suka berbohong dan berlaku semena-mena tapi sangat pintar dalam strategi perang. Senjatanya adalah cis dan kethu jingga. Istrinya bernama Dewi Sukesti berputra Antisura, Arya Surabasah dan Dewi Antiwati.

Sakuni bermata kedondongan, berhidung mungkal gerang, berbentuk batu asahan yang sudah aus, bergigi gusen, berjenggot. Kedua tangannya berlainan bentuk, yang satu tangan raksasa dan yang lainnya menunjuk, seperti tangan dagelan. Bergelang, berpontoh, dan berkeroncong. Kepala berketu udeng. Bersunting kembang kluwih. Berkalung ulur-ulur. Berkain rapekan tentara, bercelana cindai. Dalam cerita Sakuni mengidap sakit napas. Digambar tampak bahu tangan belakang agak naik, menandakan, bahwa orangnya mempunyai sakit napas.
Menurut cerita jawa Sengkuni itu titisan dari Bathara Dwapara Dewa Pengrusak, Musuh dari kebenaran, oleh kerena itu Sengkui juga memiliki watak yang jahat. Sengkuni sendiri dikisahkan memiliki nama asliHarya Suman. Dalam pewayangan Sunda, ia juga dikenal dengan nama Sangkuning.

Naiknya Sengkuni atau harya Suman sebagai patih pun melalui jalan curang. Dalam lakon ‘Gandamana Luweng’ dikisahkan bagaimana Harya Suman menyiapkan jebakan luweng (lubang) bagi Patih Gandamana saat mereka berperang melawan Pringgondani. Harya Suman melapor kepada Prabu Pandu Dewanata bahwa Gandamana –yang terkubur dalam luweng– tertangkap musuh dan berkhianat. Setelah Pringgondani berhasil diduduki, Harya Suman melaporkan bahwa Gandamana tewas. Maka ia pun diangkat menjadi patih, menggantikan Gandamana.
Setelah diselamatkan oleh prajurit yang masih setia, Gandamana yang marah karena merasa difitnah menghajar Harya Suman habis-habisan sehingga wajahnya yang tampan berubah menjadi jelek. Sejak saat itu, Suman pun terkenal dengan sebutan Sengkuni, Nama Sengkuni atau Sakuni, berasal dari kata ‘saka’ (dari) dan ‘uni’ (ucapan). Artinya, ia menderita cacad buruk rupa adalah karena hasil ucapannya sendiri. Jadi Sengkuni melambangkan manusia yang sifatnya senang memfitnah, menghasut dan mencelakakan orang lain. Atau lambang orang yang berperangai licik dan kejam.

Dalam lakon ‘Bale Sigalagala’ atau ‘Pandawa Obong’, pihak Pandawa dan Dewi Kunti diundang menghadiri pesta dalam bangunan yang bahannya rawan terbakar. Pihak Kurawa lalu membakar bangunan tersebut. Pandawa selamat dibopong Bima mengikuti garangan putih. Dalam lakon ‘Pandawa Dadu’, Pandawa kalah dan harus menyerahkan kerajaan Astina kepada Kurawa. Kedua taktik ini jelas dahsyat, sebuah tipu muslihat yang ampuh, membuat lawan tidak berkutik. Dan tak lain merupakan buah kelicikan dari Sengkuni.

Pada hari terakhir Baratayuda, Sangkuni bertempur melawan Bima. Kulitnya yang kebal karena pengaruh minyak tala bahkan sempat membuat Bima sulit mengalahkan Sengkuni. Penasihat Pandawa selain Kresna, yaitu Semar muncul memberi tahu Bima bahwa kelemahan Sangkuni berada di bagian dubur, karena bagian tersebut dulunya pasti tidak terkena pengaruh minyak tala. Bima pun maju kembali. Sangkuni ditangkap dan disobek duburnya menggunakan Kuku Pancanaka yang tumbuh di ujung jari Bima. Ilmu kebal Sengkuni pun musnah. Dengan beringas, Bima menyobek dan menguliti Sangkuni tanpa ampun.

Versi lain, Bima meraih leher Sengkuni, lalu dihimpitnya dengan lengannya kuat kuat, sehingga lehernya tercekik, dan mulutnya pun membuka lebar kehabisan napas. Bima memasukkan kuku Pancanaka kedalam mulut Sengkuni karena Sengkuni tidak meminum minyak tolo,maka dengan mudah dirobek robeknya sampai kedalam leher dan menembus ke jantungnya. Matinya Sakuni melambangkan, bahwa orang pandai bicara yang tak jujur sepantasnya kalau dirobek-robek mulutnya.

1     2     3     4     5     6     7     8     9     10

Punakawan

Dahulunya Sunan Kalijogo menciptakan wayang sebagai sarana dakwah. Salah satu karakter pewayangan yang ada adalah Punakawan. Nama Punakawan berasal dari kata “Puna” yang berarti Susah dan “Kawan” yang berarti teman, yang bisa dimaknai sebagai teman di kala susah. Selain itu, ada juga yang menafsirkan Punakawan berasal dari kata “Pana” yang berarti terang dan”Kawan” yang berarti teman, yang apabila diterjemahkan menjadi teman untuk menuju jalan yang terang.

Punakawan terdiri dari empat tokoh, yakni Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Sunan Kalijogo membuat empat karakter ini untuk menggambarkan sifat kebanyakan manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Nah, kira-kira pesan apa saja yang ditinggalkan Sunan Kalijogo lewat karakter Punakawan ini? Berikut kami ulas pesan-pesan Sunan Kalijogo lewat karakter Punakawan yang tentunya wajib kamu ketahui.
Semar
Tokoh Semar merupakan pusat dari keseluruhan punakawan dan menjadi asal usul munculnya Punakawan. Nama Semar berasal dari kata “Samara”, yang artinya bergegas. Dalam cerita pewayangan, tokoh Semar sangat disegani oleh siapa saja, baik kawan maupun lawan. Bisa dikatakan, ia adalah sumber rujukan untuk para kesatria bila mereka hendak meminta nasehat dan petunjuk dalam peperangan. Oleh karena itulah, Semar ini memiliki posisi yang sangat dihormati dalam pewayangan.
Tokoh Semar memiliki watak yang rendah hati, tidak menyombongkan diri, jujur dalam berbicara, dan suka mengasihi sesamanya. Ia juga memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan yang lain tapi itu tak membuatnya lupa diri. Dalam pewayangan, Semar adalah teladan dan panutan. Jari telunjuknya yang menuding ke bawah digambarkan sebagai karsa atau keinginan yang kuat untuk menciptakan sesuatu. Matanya yang sipit melambangkan ketelitian dan keseriusan dalam mencipta.
Gareng
Gareng merupakan anak Semar yang berarti pujaan atau didapatkannya dengan cara memuja. Nama Nala Gareng berasal dari kata “Nala khairan”, yang berarti memperoleh kebaikan. Gareng merupakan tokoh punakawan yang tak pandai berbicara. Yang dikatakannya terkadang serba salah. Ia digambarkan sebagai seorang tokoh yang sangat lucu dan menggelikan sehingga orang di sekitarnya menjadi terhibur.
Sebagai seorang tokoh Punakawan, Gareng digambarkan memiliki kecacatan fisik. Matanya juling, kakinya pincang, dan tangannya cacat. Mata yang juling dimaknai untuk menunjukkan manusia mesti memahami realitas kehidupan yang kadang tidak seperti keinginan. Kaki yang pincang menggambarkan manusia harus hati-hati dalam kehidupan. Dan tangan yang cacat disimbolkan manusia bisa berusaha semaksimal mungkin, namun tetap Tuhan lah yang menentukan hasilnya.
Petruk
Petruk merupakan anak kedua dari Semar. Nama Petruk berasal dari kata “Fat ruk”, yang berarti tinggalkanlah. Dalam pewayangan, tokoh Petruk digambarkan sebagai tokoh yang nakal dan cerdas. Selain itu ia juga digambarkan sebagai tokoh yang memiliki wajah yang manis dengan senyuman yang menarik hati, pandai berbicara, dan watak yang lucu. Dengan lawakan-lawakannya, ia suka menyindir segala ketidakbenaran yang terjadi di sekitarnya.
Tokoh Petruk digambarkan dengan fisik yang panjang, seperti tangan dan kaki yang panjang, tubuh yang langsing dan tinggi, serta hidung yang mancung. Hal ini disimbolkan supaya manusia mempunyai pikiran yang panjang, tidak sekedar grusa-grusu, dan sabar. Bila sering grusa-grusu, bisa jadi akan menimbulkan penyesalan di akhir.
Bagong
Bagong adalah anak bungsu dari Semar. Nama Bagong berasal dari kata “Al ba gho ya” yang berarti perkara buruk. Diceritakan, bahwa Bagong adalah tokoh pewayangan yang diciptakan dari bayangan Semar. Oleh karenanya, Bagong tumbuh dengan tubuh gemuk dan tambun seperti Semar. Meski demikian, Bagong tumbuh seperti kedua saudaranya yang suka bercanda dan melucu. Ia bahkan suka bercanda saat menghadapi persoalan yang teramat serius, memiliki sifat lancang, dan suka berlagak bodoh.
Tokoh Bagong dalam cerita punakawan digambarkan sebagai manusia yang sesungguhnya. Meski petruk mempunyai kelebihan akan keindahan serta kesempurnaan, Bagong lah yang justru memiliki sifat kekurangan. Seperti inilah manusia, memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga Bagong dianggap sebagai manusia sesungguhnya. Untuk itulah Bagong bersifat sederhana, sabar, dan tidak terlalu kagum dengan kehidupan dunia. Suatu hal yang mestinya juga harus dilakukan oleh manusia seutuhnya.

Itulah pesan-pesan yang ditinggalkan Sunan Kalijogo lewat karakter Punakawan. Sunan Kalijogo berusaha mengingatkan karakter manusia seutuhnya, supaya kita mengingat Tuhan yang Maha Menciptakan. Oleh karenanya, dengan kelebihan dan kekurangan telah yang diberikan, maka tinggal kita saja bagaimana seharusnya bisa bijak menggunakannya.

Wednesday, May 9, 2012

GATOTKACA

Raden Gatotkaca adalah putera Raden Wrekudara, Pandawa yang kedua. Kesaktiannya dikisahkan luar biasa, antara lain mampu terbang di angkasa tanpa menggunakan sayap, serta terkenal dengan julukan "otot kawat tulang besi".
Ibunya seorang putri raksasa bernama Dewi Arimbi . Arimbi bukan sekadar penghuni hutan biasa, melainkan putri Prabu Tremboko dari Kerajaan Pringgadani, negeri bangsa rakshasa. 
Kisah kelahiran Gatotkaca

Kisah kelahiran Gatotkaca dikisahkan secara tersendiri dalam pewayangan Jawa. Namanya sewaktu masih bayi adalah Jabang Tetuka. Sampai usia satu tahun tali pusarnya belum bisa dipotong walau menggunakan senjata apa pun. 
Arjuna (adik Bimasena) pergi bertapa untuk mendapatkan petunjuk dewa demi menolong nasib keponakannya itu. Namun pada saat yang sama Karna, panglima Kerajaan Hastina juga sedang bertapa mencari senjata pusaka.
Karena wajah keduanya mirip, Batara Narada selaku utusan kahyangan memberikan senjata Kontawijaya kepada Karna, bukan kepada Arjuna. Setelah menyadari kesalahannya, Narada pun menemui Arjuna yang sebenarnya. Arjuna lalu mengejar Karna untuk merebut senjata Konta.
Pertarungan pun terjadi. Karna berhasil meloloskan diri membawa senjata Konta, sedangkan Arjuna hanya berhasil merebut sarung pembungkus pusaka tersebut. Namun sarung pusaka Konta terbuat dari Kayu Mastaba yang ternyata bisa digunakan untuk memotong tali pusar Tetuka.

Akan tetapi keajaiban terjadi. Kayu Mastaba musnah dan bersatu dalam perut Tetuka. Kresna yang ikut serta menyaksikannya berpendapat bahwa pengaruh kayu Mastaba akan menambah kekuatan bayi Tetuka. Namun ia juga meramalkan bahwa kelakTetuka akan tewas di tangan pemilik senjata Konta.

Dengan kehendak dewa-dewa, bayi Gatotkaca itu dimasak seperti bubur dan diisi dengan segala kesaktian; karena itu Raden Gatotkaca berurat kawat, bertulang besi, berdarah gala-gala, dapat terbang di awan dan duduk di atas awan yang melintang. Kecepatan Gatotkaca pada waktu terbang di awan bagai kilat dan liar bagai halilintar.
Tetuka kemudian dipinjam Narada untuk dibawa ke kahyangan yang saat itu sedang diserang musuh bernama Patih Sekipu dari Kerajaan Trabelasuket. Ia diutus rajanya yang bernama Kalapracona untuk melamar bidadari bernama Batari Supraba. Bayi Tetuka dihadapkan sebagai lawan Sekipu. Anehnya, semakin dihajar bukannya mati, Tetuka justru semakin kuat.

Karena malu, Sekipu mengembalikan Tetuka kepada Narada untuk dibesarkan saat itu juga. Narada kemudian menceburkan tubuh Tetuka ke dalam kawah Candradimuka, diGunung Jamurdipa. Para dewa kemudian melemparkan berbagai jenis senjata pusaka ke dalam kawah. Beberapa saat kemudian, Tetuka muncul ke permukaan sebagai seorang laki-laki dewasa. Segala jenis pusaka para dewa telah melebur dan bersatu ke dalam dirinya.
Tetuka kemudian bertarung melawan Sekipu dan berhasil membunuhnya menggunakan gigitan taringnya. Kresna dan para Pandawa saat itu datang menyusul ke kahyangan.Kresna kemudian memotong taring Tetuka dan menyuruhnya berhenti menggunakan sifat-sifat kaum raksasa.

Batara Guru raja kahyangan menghadiahkan seperangkat pakaian pusaka, yaitu Caping Basunanda, Kotang Antrakusuma, dan Terompah Padakacarma untuk dipakai Tetuka, yang sejak saat itu diganti namanya menjadi Gatotkaca. Dengan mengenakan pakaian pusaka tersebut, Gatotkaca mampu terbang secepat kilat menuju Kerajaan Trabelasuket dan membunuh Kalapracona.

Kisah Perkawinan Gatotkaca
Tersebut dalam cerita, Raden Gatotkaca seorang kesatria yang tak pernah bersolek, hanya berpakaian bersahaja, jauh dari wanita. Tetapi setelah Gatotkaca melihat puteri Raden Arjuna, Dewi Pregiwa, waktu diiring oleh Raden Angkawijaya, Raden Gatotkaca jatuh hati lantaran melihat puteri itu berhias serba bersahaja. Berubah tingkah Raden Gatotkaca ini diketahui oleh ibunya (Dewi Arimbi) dengan sukacita dan menuruti segala permintaan Raden Gatotkaca. Kemudian Gatotkaca menikah dengan sepupunya, yaitu Pregiwaputri Arjuna.
Ia berhasil menikahi Pregiwa setelah melalui perjuangan berat, yaitu menyingkirkan saingannya, bernama Laksmana Mandrakumara putra Duryudana dari keluarga Korawa.

Dari perkawinan Gatotkaca dengan Pregiwa lahir seorang putra bernama Sasikirana. Ia menjadi panglima perang Kerajaan Hastina pada masa pemerintahan Parikesit, putra Abimanyu atau cucu Arjuna.
Gatotkaca memiliki dua orang istri lagi selain Pregiwa, yaitu Suryawati dan Sumpaniwati. Dari keduanya masing-masing lahir Suryakaca dan Jayasumpena.

Menjadi Raja Pringgandani
Tremboko tewas di tangan Pandu ayah para Pandawa akibat adu domba yang dilancarkan Sangkuni. Ia kemudian digantikan oleh anak sulungnya yang bernama Arimba.
Arimba sendiri akhirnya tewas di tangan Bimasena pada saat para Pandawa membangun Kerajaan Amarta. Takhta Pringgadani kemudian dipegang oleh Arimbi yang telah diperistri Bima. Rencananya takhta kelak akan diserahkan kepada putra mereka setelah dewasa.
Arimbi memiliki lima orang adik bernama Brajadenta, Brajamusti, Brajalamadan, Brajawikalpa, danKalabendana. Brajadenta diangkat sebagai patih dan diberi tempat tinggal di Kasatrian Glagahtinunu. Sangkuni dari Kerajaan Hastina datang menghasut Brajadenta bahwa takhta Pringgadani seharusnya menjadi miliknya bukan milik Gatotkaca.

Akibat hasutan tersebut, Brajadenta pun memberontak hendak merebut takhta dari tangan Gatotkaca yang baru saja dilantik sebagai raja. Brajamusti yang memihak Gatotkaca bertarung menghadapi kakaknya itu. Kedua raksasa kembar tersebut pun tewas bersama. Roh keduanya kemudian menyusup masing-masing ke dalam telapak tangan Gatotkaca kiri dan kanan, sehingga manambah kesaktian keponakan mereka tersebut.

Setelah peristiwa itu Gatotkaca mengangkat Brajalamadan sebagai patih baru, bergelar Patih Prabakiswa.
Kesaktiannya dalam perang, dapat mencabut leher. musuhnya dengan digunakan pada saat yang penting. Gatotkaca diangkat jadi raja di Pringgadani dan ia disebut kesatria di Pringgadani, karena pemerintahan negara dikuasai oleh keturunan dari pihak perempuan.
Dalam perang Baratayudha Gatotkaca tewas oleh senjata Kunta yang ditujukan kepada Gatotkaca. Ketika Gatotkaca bersembunyi dalam awan. Gatotkaca jatuh dari angkasa dan mengenai kereta kendaraan Karna hingga hancur lebur.

Dalam riwayat, Gatotkaca mati masih sangat muda, hingga sangat disesali oleh sekalian keluarganya.Gatotkaca bermata telengan (membelalak), hidung dempak, berkumis dan beryanggut. Berjamang tiga susun, bersunting waderan, sanggul kadal-menek, bergaruda membelakang, berpraba, berkalung ulur-ulur, bergelang, berpontoh dan berkeroncong. Berkain kerajaan lengkap.
Gatotkaca berwanda
  1. Guntur,
  2. Kilat
  3. Tatit.
  4. Tatit sepuh,
  5. Mega dan
  6. Mendung.
Menurut kata dalang waktu Raden Gatotkaca akan mengawan, diucapkan seperti berikut :
Tersebutlah, pakaian Raden Gatotkaca yang juga disebut kesatria di Pringgadani:
Berjamang mas bersinar-sinar tiga susun, bersunting mas berbentuk bunga kenanga dikarangkan berupa Surengpati.
  • (Surengpati berarti berani pada ajalnya. Sunting serupa ini juga dipakai untuk seorang murid waktu menerima ilmu dari gurunya bagi ilmu kematian, untuk lambang bahwa orang yang menerima ilmu itu takkan takut pada kematiannya).
  • Bergelung (sanggul) bentuk supit urang tersangga oleh praba, berkancing sanggul mas tua bentuk garuda membelakang dan bertali ulur-ulur bentuk naga terukir, berpontoh nagaraja, bergelang kana (gelang empat segi).
  • Berkain (kampuh) sutera jingga, dibatik dengan lukisan seisi hutan, berikat-pinggang cindai hijau, becelana cindai biru, berkeroncong suasa bentuk nagaraja, uncal diberi emas anting.
Diceritakan, Raden Gatotkaca waktu akan berjalan ia berterumpah Padakacarma, yang membuatnya dapat terbang tanpa sayap. Bersongkok Basunanda, walaupun pada waktu panas terik takkan kena panas, bila hujan tak kena air hujan. Diceritakan Raden Gatotkaca menyingsingkan kain bertaliwanda, ialah kain itu dibelitkan pada badan bagian belakang Raden Gatotkaca segera menepuk bahu dan menolakkan kakinya kebumi, terasa bumi itu mengeram di bawah kakinya. Mengawanlah ia ke angkasa.

Wayang itu diujudkan sebagai terbang, ialah dij alan kain, dari kanan ke kiri, di bagian kelir atas beberapa kali lalu dicacakkan, ibarat berhenti di atas awan, dan dalang bercerita pula, Tersebutlah Raden Gatotkaca telah mengawan, setiba di angkasa terasa sebagai menginjak daratan, menyelam di awan biru, mengisah awan di hadapannya dan tertutuplah oleh awan di belakangnya, samar samar tertampak ia di pandangan orang. Sinar pakaian Gatotkaca yang kena sinar matahari sebagai kilat memburunya.
Maka berhentilah kesatria Pringgadani di awan melintang, menghadap pada awan yang lain dengan melihat ke kanan dan ke kiri. Setelah hening pemandangan Gatotkaca, turunlah ia dari angkasa menuju ke bumi, Adipati Karna waktu perang Baratayudha berperang tanding melawan Gatotkaca. Karna melepaskan senjata kunta Wijayadanu, kenalah Gatotkaca dengan senjata itu pada pusatnya. Setelah Gatotkaca kena panah itu jatuhlah Gatotkaca dari angkasa,, menjatuhi kereta kendaraan Karna, hingga hancur lebur kereta itu.

Dirangkum oleh R. Hutami untuk Laman Wayang Nusantara
Sumber:
Sedjarah Wayang Purwa, terbitan Balai Pustaka juga tahun 1965. Disusun oleh Pak Hardjowirogo.

1     2     3     4     5     6     7     8     9     10

SEMAR

Semar menganjurkan manusia memohon dan mendekatkan diri kepada Gusti Allah dengan ”Eling lan Percaya, Sumarah, sumeleh lan mituhu”.
Sumarah : Berserah, Pasrah, Percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. 

Dengan sumarah, manusia diharapkan percaya dan yakin akan kasih sayang dan kekuasaan Gusti Kang Murbeng Dumadi, bahwa DIA-lah yang mengatur dan akan memberikan kebaikan dalam kehidupan kita. Keyakinan ...bahwa apabila kita menghadapai gelombang kehidupan maka Allah akan memberikan jalan keluar yang terbaik bagi kita. Gelombang kehidupan adalah ujian untuk sebuah perjalanan spiritualitas.
Sumeleh: artinya Patuh dan Bersandar kepada Allah Yang Maha Tunggal. Manusia sebagai hamba hanyalah berusaha dan keberhasilannya tergantung Kuasa Tuhan, maka dengan "sumeleh" ini manusia diharapkan tak mudah putus asa dan teguh dalam usahanya. Bekerja tanpa memikirkan hasilnya, semua kembali kepadaNYA.
Mituhu: artinya patuh taat dan disiplin. Patuh dan mentaati setiap laranganNYA dan disiplin dalam mengaji DIRI dan mengaji RASA.



1   2   3   4   5   6   7   8   9   10.......

Thursday, April 19, 2012

WAYANG


Wayang merupakan bentuk konsep berkesenian  yang kaya akan cerita falsafah hidup sehingga masih bertahan di kalangan masyarakat jawa hinggga kini.
Disaat pindahnya Keraton Kasunanan dari Kartasura ke Desa Solo (sekarang Surakarta) membawa perkembangan juga dalam seni pewayangan. Seni pewayangan yang awalnya merupakan seni pakeliran dengan tokoh utamanya Ki Dalang yang berceritera, adalah suatu bentuk seni gabungan antara unsur seni tatah sungging (seni rupa) dengan menampilkan tokoh wayangnya yang diiringi dengan gending/irama gamelan, diwarnai dialog (antawacana), menyajikan lakon dan pitutur/petunjuk hidup manusia dalam falsafah.
           Seni pewayangan tersebut digelar dalam bentuk yang dinamakan Wayang Kulit Purwa, dilatar-belakangi layar/kelir dengan pokok cerita yang sumbernya dari kitab Mahabharata dan Ramayana, berasal dari India. Namun ada juga pagelaran wayang kulit purwa dengan lakon cerita yang di petik dari ajaran Budha, seperti cerita yang berkaitan dengan upacara ruwatan (pensucian diri manusia). Pagelaran wayang kulit purwa biasanya memakan waktu semalam suntuk.
           Semasa Sri Susuhunan X di Solo seni Pakeliran berkembang  medianya setelah didirikan tempat pementasan Wayang Orang, yaitu di Sriwedari yang merupakan bentuk pewayangan panggung dengan pemainnya terdiri dari orang-orang yang memerankan tokoh-tokoh wayang. Baik cerita maupun dialognya dilakukan oleh masing-masing pemain itu sendiri. Pagelaran ini diselenggarakan rutin setiap malam. Bentuk variasi wayang lainnya yaitu wayang Golek yang wayangnya terdiri dari boneka kayu.
           Seniman keturunan Cina yang berada di Solo juga kadang menggelar wayang golek cina yang disebut Wayang Potehi. Dengan cerita dari negeri Cina serta iringan musiknya khas cina.
           Ada juga Wayang Beber yang dalam bentuknya merupakan lembaran kain yang dilukis dan diceritakan oleh sang Dalang, yang ceritanya berkisar mengenai Keraton Kediri, Ngurawan, Singasari (lakon Panji).
           Wayang Klitik adalah jenis pewayangan yang media tokohnya terbuat dari kayu, ceritanya diambil dari babat Majapahit akhir (cerita Dhamarwulan).
Dulu terkadang "wong Solo" memanfaatkan waktu senggangnya membuat wayang dari rumput, disebut Wayang Rumput
           Orang jawa mempunyai jenis kesenian tradisional yang bisa hidup dan berkembang hingga kini dan mampu menyentuh hati sanubari dan menggetarkan jiwa, yaitu seni pewayangan. Selain sebagai alat komunikasi yang ampuh serta sarana memahami kehidupan, wayang bagi orang jawa merupakan simbolisme pandangan-pandangan hidup orang jawa mengenai hal-hal kehidupan yang tertuang dalam dilaog dialur cerita yang ditampilkan.
           Dalam wayang seolah-olah orang jawa tidak hanya berhadapan dengan teori-teori umum tentang manusia, melainkan model-model hidup dan kelakuan manusia digambarkan secara konkrit. Pada hakekatnya seni pewayangan mengandung konsepsi yang dapat dipakai sebagai pedoman sikap dan perbuatan dari kelompok sosial tetentu.
           Konsepsi-konsepsi tersebut tersusun menjadi nilai nilai budaya yang tersirat dan tergambar dalam alur cerita-ceritanya, baik dalam sikap pandangan terhadap hakekat hidup, asal dan tujuan hidup, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan lingkungannya serta hubungan manusia  dengan manusia lain.
           Pertunjukkan wayang terutama wayang kulit sering dikaitkan dengan upacara adat: perkawinan, selamatan kelahiran bayi, pindahan rumah, sunatan, dll, dan biasanya disajikan dalam cerita-cerita yang memaknai hajatan dimaksud, misalnya dalam hajatan perkawinan cerita yang diambil "Parto Krama" (perkawinan Arjuna), hajatan kelahiran ditampilkan cerita Abimanyu lahir, pembersihan desa mengambil cerita "Murwa Kala/Ruwatan"
 KHUSUS WAYANG PURWA
           Wayang purwa adalah bagian dari beberapa macam yang ada, diantaranya wayang gedog, wayang madya, wayang klitik purwa, wayang wahyu, wayang wahono dan sebagainya.
           Wayang purwa sudah ada beberapa ratus tahun yang lalu dimana wayang timbul pertama fungsinya sebagai upacara menyembah roh nenek moyang. Jadi merupakan upacara khusus yang dilakukan nenek moyang untuk mengenang arwah para leluhur. Bentuk wayang masih sangat sederhana yang dipentingkan bukan bentuk wayang tetapi bayangan dari wayangan tersebut.
           Perkembangan jaman dan budaya manusia selalu berkembang wayang ikut pula dipengaruhi bentuk wayang pun berubah, misalnya, bentuk mata wayang seperti bentuk mata manusia, tangan berkabung menjadi satu dengan badannya. Hal ini dipandang kurang enak maka tangan wayang dipisah, untuk selanjutnya diberi pewarna.
           Perkembangan wayang pesat pada jaman para wali, diantaranya Sunan Kalijaga, Sunan Bonang dan yang lain ikut merubah bentuk wayang sehingga menjadi lebih indah bentuknya.
           Langkah penyempurnaan di jaman Sultan Agung Hanyakrakusuma, jaman kerajaan Pajang, kerajaan Surakarta, jaman Pakubuwono banyak sekali menyempurnakan bentuk wayang sehingga tercipta bentuk sekarang ini, dimana telah mengalami kemantapan yang dirasa pas dihati pemiliknya.
Pengaturan wayang
           Jumlah wayang dalam satu kotak tidak sama trgantung kepada pemiliknya. Jadi ada wayang yang jumlahnya 350 sampai 400 wayang, ada yang jumlahnya hanya 180 wayag dan ada yang kurang dari 180 wayang. Biasanya wayang yang banyak, wayang yang rangkap serta wanda yang banyak sesuai yang diinginkan. Pengaturan wayang pada layar atau kelir atau disebut simpingan. Di dalam simpingan wayang ada simpingan kanan dan simpingan kiri.
SIMPINGAN KIRI 
1.      Buto raton (Kumbakarno)
2.      Raksasa muda (Prahasta,Suratimantra)
3.      Rahwana dengan beberapa wanda
4.      Wayang Bapang (ratu sabrang)
5.      Wayang Boma (Bomanarakasura)
6.      Indarajit
7.      Trisirah
8.      Trinetra dan sejenisnya
9.      Prabu Baladewa dengan beberapa wanda
10.  Raden Kakrasana
11.  Prabu Salya
12.  Prabu Matswapati
13.  Prabu Duryudana
14.  Prabu Salya
15.  Prabu Salya
16.  Prabu Matswapati
17.  Prabu Duryudana
18.  Raden Setyaki
19.  Raden Samba
20.  Raden Narayana

Keterangan :
Pada contoh diatas hanya secara garis besar saja. Jadi masih banyak nama tokoh yang tidak di cantumkan.
* Wayang Eblekan :
Yaitu wayang yang masih diatur rapi didalam kotak, tidak ikut disimping.
Contoh: Buta brabah, wayang wanara, wayang kewanan (hewan), wayang tatagan yang lain, misal: wadya sabrang buta cakil dan lain-lain.
* Wayang dudahan :
Yaitu wayang yang diletakkan di sisi kanan dhalang.
Contoh: Punakawan, pandita, rampogan, dewa dan beberapa tokoh wayang yang akan digunakan didalam pakeliran.
 SIMPINGAN KANAN 
Dimulai dari wayang Tuguwasesa diakhiri wayang bayen. Adapun wayang yang disimping adalah sebagai berikut :
1.      Prau Tuguwasesa (Tuhuwasesa)
2.      Werkudara dari beberapa macam wanda
3.      Bratasena dari beberapa macam wanda
4.      Rama Parasu
5.      Gatotkaca dari beberapa macam wanda
6.      Ontareja
7.      Anoman dari beberapa macam wanda
8.      Kresna dari beberapa macam wanda
9.      Prabu Rama
10.  Prabu Arjuna Sasra
11.  Pandhu
12.  Arjuna
13.  Abimanyu
14.  Palasara
15.  Sekutrem
16.  Wayang putran
17.  Bati

Keterangan :
Wayang tersebut disimping pada debog atau batang pisang bagian atas. Untuk batang pisang bagian bawah hanya terdiri dari simpingan wayang putren.
Simpingan sebelah kiri terdiri atas:
1.Buta raton
2.Wayang buta enom (raksasa muda)
3.Wayang boma
4.Wayang Sasra
5.Wayang Satria

Untuk lebih jelasnya mari kita lihat urutan yang diatur seperti tersebut dibawah ini :
Pakem Ringgit Purwa Warni-warni:       
Lakon-lakon: Peksi Dewata, Gambiranom, Semar Mantu, Bangbang Sitijaya, Wangsatama Maling, Thongthongborong, Srikandhi Mandung, Danasalira, Lesmana Buru Bojone Bangbang, Caluntang, Carapang Sasampuning Prang Baratayuda, Parikesit, Yudayana, Prabu Wahana, Mayangkara, Tutugipun Lampahan Bandung, Carangan Ingkang Kantun Jayaseloba, Doradresanala Larase Semarasupi. Bandhaloba, Ambungkus, Lahire Pandhu, Lahiripun Dasamuka, Dasamuka Tapa Turu, Lahire Indrajit, Lokapala, Sasrabahu, Bambang Sumantri, Sugriwa Subali, Singangembarawati, Anggit Dalem, Tutugipun Lampahan Wilugangga, Tunjung Pethak, Gambar Sejati, Bangbang Dewakasimpar, Ingkang Serkarta Jalintangan Suksma Anyalawadi, Samba Rambi, Antasena Rabi, Wilmuka Rabi, Partajumena, Wisatha Rabi, Sumitra Rabi, Sancaka Rabi, Antareja Rabi, Pancakumara Rabi, Sayembara Dewi Mahendra, Sayembara Dewi Gandawati, Sayembara Tal Pethak, Dhusthajumena Rabi, Pancadriya Rabi, Rukma Ical, Ugrasena Tapa, Leksmana Mandrakumara Rabi, Ada-ada Bimasuci, Pandhawa Kaobongan, Sembadra Dilarung and Secaboma (59 wayang lakon).
Pakem Ringgit Wacucal:
Lakon-lakon: Kresna Kembang, Sayembara Setyaki, Erangbaya,Kresna Gugah, Prabu Kalithi, Wilugangga, Waosan Panitibaya Lampahipun Para Dewa, Asmaradahana, Karagajawa dan Sudhamala (11 wayang lakon).
Pakem Ringgit Purwa Warni-warni:
Lakon-lakon: Sembadra Edan, Sembadra Larung, Arjuna Besus, Sukma Ngembaraning Sembadra, Peksi Gadarata, Wrekudara Dados Gajah, Cekel Endralaya, Manonbawa, Surga Bandhang, Bangbang Kembar, Bangbang Danuasmara, Palgunadi, Bimasuci, Loncongan, Wrekudara Dipun Lamar, Yuyutsuh, Samba Rajah, Sunggen Wilmuka, Lobaningrat, Anggamaya, Brajadenta Balik, Tapel Sewu, Dewakusuma, Sunggen Gathutkaca, Sugata, Tuguwasesa, Lambangkara, Semar Minta Bagus, Retna Sengaja, Prabu Pathakol, Jayamurcita, Karna Wiguna, Bangbang Supena, Pandhawa Gupak, Gugahan Kresna, Srikandhi Manguru Manah, Kresna Malang Dewa, Bangbang Sinom Prajangga Murca Lalana dan Pandha Widada (42 wayang lakon).
Pakem Ringgit Purwa: 

Lakon-lakon: Angruna-Angruni, Mikukuhan, Begawan Respati, Watugunung, Wisnupati, Prabu Namintaya, Nagatatmala, Sri Sadana, Parikenan, Bambang Sakutrem, Bambang Sakri, Bagawan Palasara, Kilatbuwana, Narasoma, Basudewa Rabi, Gandamana Sakit, Rabinipun Harya Prabu Kaliyan Ugrasena, Bima Bungkus, Rabinipun Ramawidura, Lisah Tala, Obong-obongan Pasanggrahan Balesegala, Bambang Kumbayana, Jagal Bilawa, Babad Wanamarta, Kangsa Pragat, Semar Jantur, Jaladara Rabi, Alap-alapan
Surtikanthi, Clakutana, Suyudana Rabi, Jayadrata Rabi, Pandhawa Dulit, Gandamana, Kresna Sekar, Alap-alapan Secaboma, Kuntul Wilanten, Partakrama, Gathutkaca Lair, Setija, Bangun Taman Maerakaca dan Wader Bang (43 wayang lakon).
Pakem Ringgit Purwa Warni-warni:
Lakon-lakon: Sembadra Edan, Sembadra Larung, Arjuna Besus, Sukma Ngembaraning Sembadra, Peksi Gadarata, Wrekudara Dados Gajah, Cekel Endralaya, Manonbawa, Surga Bandhang, Bangbang Kembar, Bangbang Danuasmara, Palgunadi, Bimasuci, Loncongan, Wrekudara Dipun Lamar, Yuyutsuh, Samba Rajah, Sunggen Wilmuka, Lobaningrat, Anggamaya, Brajadenta Balik, Tapel Sewu, Dewakusuma, Sunggen Gathutkaca, Sugata, Tuguwasesa, Lambangkara, Semar Minta Bagus, Retna Sengaja, Prabu Pathakol, Jayamurcita, Karna Wiguna, Bangbang Supena, Pandhawa Gupak, Gugahan Kresna, Srikandhi Manguru Manah, Kresna Malang Dewa, Bangbang Sinom Prajangga Murca Lalana dan Pandha Widada (42 wayang lakon).
Pakem Ringgit Purwa Warni-warni:
Lakon-lakon: Peksi Dewata, Gambiranom, Semar Mantu, Bangbang Sitijaya, Wangsatama Maling, Thongthongborong, Srikandhi Mandung, Danasalira, Lesmana Buru Bojone Bangbang, Caluntang, Carapang Sasampuning Prang Baratayuda, Parikesit, Yudayana, Prabu Wahana, Mayangkara, Tutugipun Lampahan Bandung, Carangan Ingkang Kantun Jayaseloba, Doradresanala Larase Semarasupi. Bandhaloba, Ambungkus, Lahire Pandhu, Lahiripun Dasamuka, Dasamuka Tapa Turu, Lahire Indrajit, Lokapala, Sasrabahu, Bambang Sumantri, Sugriwa Subali, Singangembarawati, Anggit Dalem, Tutugipun Lampahan Wilugangga, Tunjung Pethak, Gambar Sejati, Bangbang Dewakasimpar, Ingkang Serkarta Jalintangan Suksma Anyalawadi, Samba Rambi, Antasena Rabi, Wilmuka Rabi, Partajumena, Wisatha Rabi, Sumitra Rabi, Sancaka Rabi, Antareja Rabi, Pancakumara Rabi, Sayembara Dewi Mahendra, Sayembara Dewi Gandawati, Sayembara Tal Pethak, Dhusthajumena Rabi, Pancadriya Rabi, Rukma Ical, Ugrasena Tapa, Leksmana Mandrakumara Rabi, Ada-ada Bimasuci, Pandhawa Kaobongan, Sembadra Dilarung and Secaboma (59 wayang lakon).
Pakem Ringgit Wacucal:
Lakon-lakon: Kresna Kembang, Sayembara Setyaki, Erangbaya,Kresna Gugah, Prabu Kalithi, Wilugangga, Waosan Panitibaya Lampahipun Para Dewa, Asmaradahana, Karagajawa dan Sudhamala (11 wayang lakon).
Pakem Wayang Purwa I:
Ki Prawirasudirja Surakarta.
Lakon-lakon: Angruna Angruni, Bambang Srigati, Bathara Sambodana Rabi, Hendrasena, Ramaparasu, Setyaki Rabi, Bagawan Sumong, Doradresana Makingkin, Tuhuwisesa, Sridenta, Bratadewa, Jayawisesa, Janaka Kembar, Jayasuparta, Endhang Madyasari, Sekar Widabrata, Samba Rabi, Partajumena Rabi, Calunthang dan Carapang.

Cerita Wayang dan Wanita
Kunti adalah sosok seorang ibu yang sangat setia terhadap putra-putranya, hal ini diperlihatkan ketika putranya ( Pandawa ) Menjalani pembuangan di alasa atau hutan Amarta, akibat tipu daya kalah judi dengan saudaranya Kurawa. Kunti sebagai figur seorang ibu raja yang lingkungan hidupnya penuh kemewahan rela mengikuti putra-putranya dalam penderitaan di pembuangan tersebut.  
Diceritakan dalam pembuangan tersebut :
Putranya yang masih kecil yaitu: Nakula dan Sadewa mengalami kelaparan akibat kehabisan makanan selama dua minggu tidak pernah meminum susu dan madu lagi, yang biasanya diberikan, sehingga ibu Kunti memerintahkan Arjuna untuk mencarikan kebutuhan tersebut bagi sang putra. Dalam perjalanan mencari susu dan madu Arjuna dikagetkan oleh seorang putri, putri yang amat jelita yang berlari menuju sang Arjuna untuk mengabdikan diri bila sang Arjuna mau menolong dirinya dari kejaran sang lurah yang buruk rupa namun sakti yang ingin mengawininya.
Ketika Arjuna bertemu ki lurah tersebut, dengan bahasa yang santu memohon kepada Arjuna agar sang putri tersebut boleh dimintanya. Dengan rasa haru Arjuna menyanggupi agar si putri mau kembali dan mau diperistri ki lurah tersebut. Ketika Arjuna menyanggupinya, ki lurah berjanji akan memberikan jiwa dan raga bahkan apapun yang diminta oleh Arjuna. Kemudian ki lurah diminta kembali ke padepokannya kemudian Arjuna menemui sang putri sambil berkata " memang sudah kebetulan bahwa Arjuna diperintahkan mencari putri yang cantik yang akan dipersembahkan untuk sang maha raja agar menjadi santapannya "
Mendengar ucapan tersebut sang putri lari ketakutan dan kembali ke padepokan memeluk ki lurah untuk mendapatkan perlindungan karena akan dijadikan santapan ( padahal sebelumnya putri tersebut merasa amat jijik )
Saking senangnya ki lurah buru-buru menjumpai kembali sang Arjuna sambil mengucapkan terima kasih lalu memohon untuk menyatakan : Imbalan apa yang ingin Arjuna ingingkan ? dijawab oleh Arjuna, bahwa ia hanya menginginkan madu dan susu.
Oleh ki lurah dipilihkan madu dan susu yang sangat istimewa, bahkan ki lurah berjanji jika kelak di perang " mahabarata " ki lurah akan mempertaruhkan jiwa dan raga demi keluarga Pandawa. Setelah mendapatkan susu dan madu sang Arjuna menemui kembali sang ibu Kunti, untuk menyampaikan apa yang diperintahkannya. Dengan senang sang ibu menerima apa yang dibawa oleh Arjuna, sambil bertanya dimanakah gerangan engkau mendapatkan susu dan madu sebaik ini. Setelah diceritakan cara mendapatkannya, dengan marah sang ibu berkata untuk tidak melakukan perbuatan ini lagi bahkan membuangnya susu dan madu tadi dengan alasan apabila ini diminumkan kepada adikmu hai Arjuna akan menimbulkan malapetaka kelak dikemudian hari, karena susu dan madu tersebut didapat dengan jalan tidak halal ( ksatria ) yaitu dengan cara memanipulasi.
"Sang Arjuna pun menyesal dan memohon ampun serta berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi di kemudian hari".

Kesimpulan :
1. Disinilah letak seorang ibu yang dinilai sangat bijaksana dalam memilih makanan pun diperhitungkan bagaimana cara mendapatkannya.
2. Kunti adalah sosok seorang ibu yang penuh pengabdian dan kasih sayang, dan tanggung jawab yang teramat besar terhadap putra-putranya.
 3. Kunti adalah ibu yang bijaksana yang dapat memilah dan mimilih mana yang semestinya dan mana yang tidak untuk diberikan kepada putra-putranya.  

1   2   3   4   5   6   7   8   9   10.......