Search This Blog
Saturday, June 12, 2021
Wayang Kulit Purwa
Wednesday, June 9, 2021
Jenis Gamelan
Gamelan
adalah sebuah musik ensambel tradisional yang populer di wilayah Jawa,
Sunda, dan Bali. Gamelan menggunakan skala nada pentatonis dalam sistem
skala nada (laras) slendro dan pelog.
Mungkin kebanyakan orang belum memahami betul instrumen apa saja yang digunakan dalam kesenian gamelan ini. disini akan saya jelas tentang Jenis Gamelan tersebut diantara nya adalah :
Alat musik kendang memiliki beberapa jenis yang dibedakan berdasarkan ukurannya. Jenis kendang yang kecil disebut ketipung, yang ukuran sedang disebut kendang ciblon/kebar. Pasangan ketipung ada satu lagi bernama kendang gedhe atau biasa dikenal dengan kendang kalih.
Jenis kendang kalih biasa dimainkan pada lagu atau gendhing yang berkarakter halus, seperti Ketawang, Gendhing Kethuk Kalih, dan Ladrang Irama Dadi. Selain itu bisa juga dimainkan cepat seperti pada pembukaan lagu jenis lancaran, ladrang irama tanggung, Kebanyakan kendang dimainkan oleh para pemain profesional gamelan yang sudah lama menyelami Budaya Gamelan.
Dalam satu set gamelan, biasanya terdapat 4 saron yang semuanya memiliki jenis laras pelog dan slendro. Saron menghasilkan nada 1 oktaf lebih tinggi daripada demung, namun dengan ukuran yang lebih kecil. Tabuh saron biasanya terbuat dari kayu yang dibuat menyerupai palu.
Dalam teknik permainan saron, tangan kanan memukul bilahan logam dengan tabuh, sementara tangan kiri menahan bilahan yang dipukul sebelumnya untuk menghilangkan dengungan yang tersisa. Teknik ini sudah familiar disebut memathet (memencet).
Jika dibandingkan dengan saron, demung memiliki bilahan yang relatif lebih tipis namun lebih lebar daripada bilahan saron, sehingga nada yang dihasilkannya lebih rendah. Tabuh demung juga terbuat dari kayu yang dibentuk menyerupai palu, dengan ukuran yang lebih besar dan berat daripada tabuh saron.
Dalam satuan alat musik gamelan Jawa, bonang termasuk dalam keluarga alat musik ‘pencon’, yaitu alat musik gamelan yang terbuat dari logam dan berbentuk cekungan, di bagian atasnya dibuat poros cembung sebagai tempat pukul. Alat musik ini dimainkan dengan cara dipukul menggunakan tongkat pemukul khusus.
Dalam gamelan Jawa, ada tiga jenis bonang yang dibedakan berdasarkan skala nada yang digunakan, yaitu:
Bonang Panembung merupakan jenis bonang yang memiliki ukuran paling besar di antara jenis yang lain. Meski begitu, bonang ini menghasilkan nada yang paling rendah.
Bentuk kenong yang besar menghasilkan suara yang rendah namun nyaring dengan timbre yang khas. Dalam telinga masyarakat Jawa, suara kenong ditangkap berbunyi ‘ning-nong’, sehingga dinamakan alat musik ‘kenong’. Dalam ensambel gamelan, suara kenong mengisi sela-sela suara kempul.
Dalam ensambel gamelan, kempul termasuk dalam keluarga instrumen pencon, sebagaimana dengan gong. Kempul bisa memainkan nada yang sama dengan alat musik balungan, bahkan kadang kempul dapat mendahului nada balungan.
Pada sebuah gambang, terdapat sebanyak 18 bilah nada yang diletakkan di atas sebuah rak resonator yang berbentuk menyerupai perahu. Bilah-bilah tersebut disusun secara berurutan dari yang terkecil hingga yang paling panjang.
Tak jauh berbeda dengan instrumen lain, dalam satu set gamelam terdapat slenthem dengan versi slendro dan pelog. Pada bilahan slenthem pelog umumnya memiliki rentang nada C hingga B, sedangkan pada slenthem slendro memiliki rentang nada C, D, E, G, A, C.
Cara memainkannya tidak jauh berbeda dengan alat musik metalofon lain, yaitu dengan dipukul menggunakan tabuh yang terbuat dari kayu (Bali) atau kayu berlapis kain (Jawa). Skala nada yang digunakan pada alat musik ini pun bermacam-macam. Pada satu set gamelan Jawa yang lengkap, terdapat tiga jenis gender: slendro, pelog pathet nem dan lima, dan pelog pathet barang.
Alat musik ini umumnya memiliki ukuran 20 x 50 cm, terbuat dari kayu jati dan memiliki 13 sampai 14 senar. Siter memiliki dua sisi yang mengandung skala nada yang berbeda. Pada sisi pertama disebut pelog dan sisi yang lain disebut slendro.
Ada beberapa yang menganggap bahwa alat musik Jawa ini banyak mengadopsi pengaruh dari kebudayaan India. Hal ini karena nama alat musik tersebut nyaris sama dengan alat musik ‘sitar’, sebuah alat musik tradisional India.
Cara memainkan kemanak adalah dengan cara dipukul dan dipadukan dengan alat musik tradisional lainnya. Ada teknik khusus dalam memainkan kemanak, yaitu dengan memukul bagian samping dan sedikit menggesekkannya. Apabila lubang pada bagian badannya ditutup, kemanak akan menghasilkan nada yang beragam.
Alat musik gendrum dimainkan oleh seorang gendrumer (pemain gendrum), dan bukan oleh sekelompok pemain perkusi. Kombinasi perkusi yang terdapat dalam seperangkat gendrum merupakan kesatuan harmoni yang telah disetem sesuai keperluan.
Itulah 15 alat musik gamelan , menjadi sebuah keunikan tersendiri sebagai ciri khas dari masyarakat Jawa. Selain alat musik daerah, masih banyak hal-hal menarik lain yang bisa kita telusuri, seperti: wisata-wisata di Jawa, kesenian, tari-tarian, upacara adat, dan masih banyak lagi.
Wednesday, June 2, 2021
Abaswa / Dursaha
Orang dengan nama Abaswa tergolong percaya diri.
Ia cenderung memimpin dengan berwibawa dan selalu mencari petualangan. Ia sangat tertarik dengan kehidupan dan memiliki sifat mandiri.
Orang ini juga bicara apa adanya dan tertarik secara fisik pada orang lain. Nama "Abaswa" memang tidak mencerminkan kualitas pribadinya, namun memiliki nama yang bagus akan membantu seseorang menjadi lebih percaya diri, dan lebih bersemangat untuk menjadi pribadi yang positif, serta selalu berusaha agar hidupnya dapat bermanfaat untuk banyak orang.
Sekali lagi kepribadian di atas adalah hasil studi cocoklogi, yang pastinya bukanlah penentu kepribadian sebenarnya. Ada banyak hal lain yang menentukan sifat dan kepribadian seseorang.
Friday, May 28, 2021
Dursasana (Duhsasana)
Dursasana bersaudara 100 orang --{99 orang pria dan 1 orang wanita} yang disebut Sata Kurawa.
Diantaranya yang dikenal dalam pedalangan adalah Duryudana (raja Negara Astina), Bogadatta (raja negara Turilaya), Bomawikata, Citraksa, Citraksi, Carucitra, Citrayuda, Citraboma, Durmuka, Durmagati, Durgempo, Gardapati (raja Negara Bukasapta), Gardapura , Kartamarma, (raja negara Banyutinalang), Kartadenta, Surtayu, Surtayuda, Wikataboma, Widandini (raja negara Purantara) dan Dewi Dursilawati.
Dursasana menikah dengan Dewi Saltani, putri Adipati Banjarjungut.
Dari perkawinan ini ia berputra seorang lelaki bernama Dursala. Dursasana berbadan besar, gagah dan bermulut lebar, mempunyai watak dan sifat; takabur, gemar bertindak sewenang-wenang, besar kepala, senang meremehkan dan menghina orang lain.
Dursasana mempunyai pusaka sebuah keris yang luar biasa besarnya bernama Kyai Barla.
Dursasana mati di medan perang Bharatayuda oleh Bima/Werkudara dalam keadaan sangat menyedihkan.
Dadanya dibelah dengan kuku Pancanaka. Darah yang menyembur ditampung Bima untuk memenuhi sumpah Dewi Drupadi, yang akan dibuat kramas dan mencuci rambutnya.
Anggota tubuh dan kepala Dursasana hancur berkeping-keping, dihantam gada Rujakpala.
Raden Dursasana, putra Prabu Destarastra, raja negara Astina. Ia adalah putra kedua, seorang ksatria agung Korawa yang bersemayam di kesatriyan Banjarjungut dan karena itu ia disebut juga ksatria Banjarjungut. Dursasana sangat disayang oleh bapak, ibu dan saudara tuanya Prabu Suyudana. Ia suka dipuji dan berbuat sekehendak hatinya. Tak ada seorang pun yang bisa melarangnya. Kata-kala Dursasana kasar dan diikuti oleh ketawa. Ia tak pernah bisa tenang. Pada waktu berjalan, demikian pula pada waktu duduk, ia berlenggang panjang dengan tanggannya, suatu kebiasaan yang memang ganjil sekali. Dursasana diangkat sebagai pahlawan Astina untuk perang tanding kelak dengan Wrekodara dalam perang Baratayuda.
Dursasana sangat disayang oleh ibu-bapak. Ia tak pernah dilarang untuk berbuat apapun. Andaikan berbuat salah pun, ia dibiarkan saja.
Di dalam lakon Arjuna Papa, Arjuna menderita sengsara. Para Korawa merasa terbalas dendam mereka terhacap Pendawa. Arjuna tertangkap oleh Korawa dan disiksa, ketika Arjuna sedang disiksa oleh para Korawa, Dursasana, yang tertua di antara para Korawa yang menyiksa itu, senang sekali menyaksikan peistiwa penyiksaan itu. Tetapi kemudian tingkah laku Dursasana itu menemui pembalasanny dalam amukan Wrekodara.
Demikian pula dalam lakon Baleseagalagala. para Koawa merasa berhasil mengenyahkan kerabat Pendawa dari muka bumi, ketika para Pendawa mabuk di dalam perayaan dan tempat di mana perayaan diadakan dibakar oleh para Korawa, sehingga menurut dugaan mereka ini punahlah sudah para Pendawa.
Tetapi oleh pertolongan Dewa Bumi, Hyang Antaboga kepada para Pendawa dapat ditunjukkan jalan ke Saptapertala dengan seekor garangan, musang putih sebagai penunjuk jalannya dan sesudah mengalami peristiwa pembakaran itu, keluarga Pendawa malahan menemui kemuliaannya. Sesudah mengetahui, bahwa Pendawa dapat menyelamatkan diri dari kebakaran, para Korawa terheran-heran dan bernafsu untuk memusnahkan Pendawa.
Dalam perang Baratayuda, Dursasana benar-benar berhadapan dengan Wrekodara dan tewas oleh ksatria ini.
Dursasana bermata telengan putih, berhidung dempak, bermulut gusen. Berperawakan tinggi dan besar. Dalam anggapan Korawa, Dursasana adalah Wrekodaranya Astina dan menjadi imbangan Wrekodara yang sebenarnya.
Dursasana bermahkota bentuk topeng, berjamang dengan garuda membelakang, bersunting kembang kluwih. Berkalung ulur-ulur. Bergelang, berpontoh, dan berkeroncong. Berkain kerajaan lengkap.
Dalam lakon Alap-alapan Ulupi, cenitanya berpokok kawinnya Dewi Ulupi, putri Begawan Kanwa dan Yasarata, dengan Arjuna.
Ada lakon-lakon lain mengenai Astina seperti mialnya akan kawinnya Pendita Durna dengan Dewi Setyaboma, tetapi kemudian putri ini kawin dengan Prabu Kresna.
Akan kawinnya Raden Lesmanamandrakumara, putra Prabu Suyudana, dengan Dewi Titisari, putri Prabu Kresna, akhirnya tak jadi dan pihak Astina mendapat malu besar, oleh karena Lesmana dipermainkan oleh orang-orang Dwarawati, negara Prabu Kresna. Menurut adat kebiasaan perkawinan orang Jawa, orang laki-laki harus dapat membatasi diri dalam soal makan dan hanya makan nasi putih saja misalnya, dalam hal mana dikatakan, bahwa dia putih.
Lesmana pun berbuat demikian, tetapi yang dimakannya ialah putihnya telur asin, yang dianggapnya putih juga.
Dalam perkawinan Prabu Suyudana dengan Dewi Banowati, Suyudana diminta mewujudkan suatu janji yang berat.
Duryodana (Suyodana)
Duryodana, sang pemimpin kurawa merupakan tokoh antagonis utama dalam cerita Mahabharata,Lawan para pandawa. Duryodana adalah putera sulung Prabu Drestarasta, Raja Astina dengan Dewi Gandari, putri Prabu Gandara dari negara Gandaradesa. Duryodana bersaudara seratus orang, dimana sembilan puluh sembilan diantaranya adalah laki-laki dan satu orang perempuan, yang disebut sebagai Sata Kurawa. Duryodana memiliki dua orang anak kembar bernama Lesmana Mandarakumara dan Lesmanawati dari pernikahannya dengan Banowati.
Duryodana didampangi oleh para ksatria kuat yang siap melindunginya dalam perang besar di Kurukshetra. Duryodana menggantungkan harapan untuk meraih kemenangan kepada Bisma dan Karna, sahabat yang bersumpah setia akan selalu memihak Duryodana. Namun para ksatria yang memihak Duryodana gugur satu-persatu, begitu pula Bisma dan Karna. Menjelang akhir peperangan Duryodana pun merasa cemas akan kekalahannya. Takut akan kekalahan puteranya, Ratu Gandari pun memberikan Duryodana kekuatan yang berasal dari kedua matanya yang ia tutup. Dengan kekuatan tersebut Duryodana akan kebal terhadap segala macam serangan. Untuk mendapatkan kekuatan tersebut Duryodana diharuskan mandi dengan keadaan telanjang dihadapan Ibunya. Karena malu setelah mendapat ejekan dari Kresna, Duryodana pun menutup bagian bawah perutnya, termasuk pahanya. Saat Gandari melepas penutup matanya kekuatan pun dilimpahkan ketuhuh Duryodana. Namun, bagian bawah perut yang ditutupi tidak mendapat kekuatan dan tidak kebal terhadap serangan.
Sunday, May 23, 2021
Wayang Golek
Dalam gamelan Sunda, alat-alat di antara adalah saron, peking, selentem, kenong, gong, kempul, kendang indung, kendang kulanter, gambang dan rebab. Juga akan ada sinden yang akan mengiringi pertunjukan wayang golek dengan nyanyian yang indah.
Babak unjal, lalu Paseban dan bebegalan.
Negara Sejen
Patepah
Perang Gagal
Panakawan atau Goro-goro
Perang Kembang
Perang Raket
Tutug
Pertunjukan wayang golek ditujukan agar mampu membuat orang-orang bisa terhindar dari marabahaya. Ada beberapa orang yang diruwat atau istilahnya sukerta. Di antaranya:
Nanggung Bugang (adik dari seorang kakak yang meninggal dunia)
Suramba (4 orang putra)
Surambi (4 orang putri)
Pandawa (5 orang putra)
Talaga tanggal kausak (seorang anak lelaki yang diapit dua anak perempuan)
Samudra Hapit sindang (seorang anak perempuan yang diapit dua anak lelaki)
dan sebagainya
Cepot kerap menemani ksatria baik seperti Arjuna misalnya. Cepot kerap bertindak lucu dan konyol, meski sebenarnya yang di hadapannya adalah majikannya. Tak jarang justru dewa yang berada di depannya.
Lewat Cepot juga, pesan-pesan bebas bisa masuk ke penonton meski berada di tengah cerita. Tapi bukan berarti Cepot tidak pernah ikut perang.
Sementara itu, ada pula Semar yang bedanya anak-anaknya bukanlah Petruk dan Bagong. Anak-anak Semar Badranaya dalam wayang golek antara lain Gareng, Cepot dan Dewala.
Itu penjelasan singkat atau pengantar tentang wayang golek. Berikutnya akan dibahas lebih lanjut cerita dan tokoh-tokoh lainnya dalam wayang golek Sunda.
Saturday, May 22, 2021
Pariksit
Ketika Abhimanyu gugur di palagan Kuruksetra Janin Pariksit masih berdiam di guogarbo Uttari Ketika terlahir, Parikesit jadi “bocah lola bapa”, Telah yatim sedari dalam kandungan bundanya
Kekalahan Abhimanyu lantaran kelicikan dari para perwira Korawa, dengan membunuhnya secara kroyokan pada pertempuran hari ke- 13 dalam formasi melingkar (cakrabhyuja). Terhadap formasi tempur ini, Pandawa tidak mempunyai pilihan selain menaruh harapan kepada Abimanyu, yang dikalkulasi memiliki pengetahuan dan ketrampilan perang tentang cara untuk menembus formasi cakrabyuha. Sayang sekali, meskipun mampu menembus formasi itu, namun tidak tahu cara keluar dari dalamnya. Untuk meyakinkan bahwa Abimanyu tidak terperangkap di dalam formasi cakrabyuha utu, maka Pandawa bersaudara dan sekutunya mengawal Abimanyu serta membantu keluar dari formasi cakrabyuja. Abimanyu berhasil menembus Cakrabyuja. Para Pandawa beserta sekutunya mencoba mengikutinya, namun dihadang oleh Jayadrata (raja Sindhu), yang menggunakan anugerah Siwa padanya untuk menahan serangan dari Pandawa.
Setelah tertinggal, makavAbimanyu musti berjuang sendirian menghadapi serangan dari pihak Korawa. Abimanyu berhasil membinasakan beberapa orang kesatria Korawa yang medekatinya, termasuk putra Duryodana, yaitu Laksmana. Demi menyaksikan putra terkasih terbunuh, murkalah Duryodana, dan memerintahkan segenap perwira Korawa, seperti Dursasana, Sangkuni, Aswatama maupun Karna untuk segera membunuh Abimanyu. Tanpa peduli akan aturan perang, sontak mereka menyerang Abimanyu. Setelah tidak berhasil untuk hancurkan baju zirah dari Abimanyu, Karna menghancurkan busur panah Abhimanyu dari arah belakang. Lantas hancurkan kereta perang (ratha)nya; membunuh kusir beserta kuda-kudanya, hingga seluruh senjata Abhimanyu turut terbuang. Namun hebatnya dari Abimanyu adalah mampu untuk bertahan sampai pedangnya patah dan roda kereta yang digunakan sebagai perisai hancur berkeping- keping. Tidak berapa kemudian, Abimanyu dibunuh oleh putra Dursasana dengan cara menghancurkan kepalanya menggunakan gada.
Kata “lola” didapati dalam bahasa Jawa Baru, yang berarti seorang anak yang tumbuh dan berkembang tanpa disertai oleh salah satu ataupun kedua orang tua kandungnya. Istilah “lola, alola” ataupun “lolita” sebenarnya telah kedapatan di dalam bahasa Jawa Kuna dan Tengahan, yang merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta, namun artinya: tak tenang, gelisah, berlari kesana kemari mari, bergoyang, bergoncang, bergetar, atau rasa rindu (Zoetmulder, 1995:607). Arti demikian lebih menyukai kapada dampak psikologis dari kondisi lola (tak berayah, tak beribu, atau keduanya). Rasa rindu misalnya, acap terjadi pada diri anak yang “lola”. Bgitu pula halnya dengab perasaan gelisah atau tidak tenang, acap menggerakan pada bocah lola. Bahkan, lantaran tak berayah-ibu, bocah lola terobang- ambing sendirian dalam menghadapi gejolak kehidupan.
Mengingat dampak psikoligis pada ” bocah lola” itu, makan segenap agama perintahkan untuk menaruh belas kasih, kepedean atau uluran tangan kepada anak yang berstatus “lola”. Dalam agama Islam, sebutan untuknya adalah : (a) kata “yatim” untuk anak yang “lola ayah”, (b) kata “piatu” untuk anak yang “lola ibu”, serta (c) kata ” yatim-piatu” untuk anak yang “lola ayah dan lola ibu”. Ada status” lola” yang menimpa diri anak setelah beberapa lama kelahirannya, namun ada pula seorang anak yang telah lola sebelum kelahirannya, tepatnya “lola ayah”, karena ayah kandungnya meninggal ketika anak bersangkutan berada di dalam kandungan ibunya. Parikesit adalah salah seorang contoh mengenai anak yang ” lola bapa” sedari dalam kandungan ibunya.
Parikesit “Lola Bapa” Sedari di Kandungan Abimanyu gugur saat istrinya (Utari) sedang hamil tua. Dengan demikian satu-satunya anak Abimanyu, yaitu Parikesit, terlahir setelah kematian dirinya. Keberadaan “satu-satunya” pada dirinya bukanlsh semata karena Parikesit merupakan satu- datunya putra abhimanyu, namun juga merupakan satu- satunya keturunan dinasti pandawa yang masih hidup pasca Perang Bharatayuddha dan pasca perjalan maha berat oleh anggota keluarga besar Pandawa menuju swargga (nirwana) yang pada parwa ke-18, yaitu Swargorohanaparwa, dikisahlkan sebagai pendakian menuju ke puncak Meru (nama arkhais untuk “Himalaya”).
Pada sebelum kelahirannya, Parikesit nyaris tak selamat hidup. Mahabharatta memuat kisah bahwa pada perang Bhatattsyuddha di akhir hari ke-18 Aswatama bertarung dengan Arjuna . Keduamya sama-sama sakti, bahkan sama-sama keluarkan senjata bernama “Brahmāstra”. Oleh karena dicegah oleh Rsi Byasa, maka Aswatama dianjurkan untuk mengarahkan senjata tersebut kepada objek lain. Namun, Aswatama malahan memilih srahkan senjatanya ke kandungan Utari, dan menyebakan terbunuhnya Parikesit yang masih berada dalam kandungan ibunya (Utari). Atas pertolongan dari Kresna, maka Parikesit bisa dihidupkan kembali. Itulah sebab mengapa Aswatama dikutuk kelak bakal mengembara di dunia selama-lamanya.
Demikianlah, sejak masih dalam kandungan ibunya, Parikesit telah menghadapi cobaan berat. Pertama, ayahnya (Abhimanyu) gugur di medan laga. Kedua, dirinya pernah mati, lantaran terkena panah milik Aswatama, namun beruntung dihidupkan kembali oleh Kresna, sehingga keberlanjutan dari Dinasti Pandawa tidak terputus. Tergambar bahwa cobaan demi cobaan — baca “tantangan (changes)” telah dihadapi oleh Psrikesit, sehingga ia terlatih untuk kuat dan mampu dalam menghadapi tantangan hidup, sehingga ia kelak menjadi seorang Ksatria tangguh.
Setelah kelahirannya, Rsi Dhomya menyampaikan ramalannya pada Yudhistira bahwa kelak Parikesit akan menjadi pemuja setia kepada Dewa Wisnu, lantaran ia pernah dihidupkan kembali oleh Bhattara Kresna setelah panah milik Aswatama mengenai janinnya yang ketika itu masih berada di dalam andungann ibunya. Ini adalah salah satu contoh kejadian, dimana Parikesit mendapat perlindungan dari Dewa. Terkait itu, Parikesit mendapat sebutan diri sebagai “Vishurata”, yakni orang yang selalu mendapat perlindungan Dewata. Selain itu, Rsi Dhomya meramalkan bahwa kelah Parikesit akan menjadi orang yang mencurahkan kebajikan, ajaran agama maupun kebenaran. Kala menjadi seorang pemimpin, Parikesit menjadi seorang pemimpin yang bijaksana, sehingga membawa kemasyhuran bagi keluarganya. Sebagaimama anak-snak lain yang terlahir dalam kondisi “lola ayah”, secara psikologis Parikesit pun mengalami keresahan, bahkan kegoncangan perasaan. Berkat upaya untuk melatih dirinya menghadapi tantangan atau goncangan jiwa, maka membuahkan pribadi yang mampu menstabilkan dirinya dan tidak panik (tenang) di dalam menghadapi cobaan atau tantangan.
Ksatriabhakti Abhimamyu Bhakti Ksatria merupakan perilaku luhur pada etika kehidupan ksatria. Seorang ksatria barulah dapat disebut sebagai “ksatria” sejati apabila bersedia untuk mengabdikan diri (mabhakti) kepada nagari, bahkan rela nengorbankan jiwa dan raganya untuk kesentausaan serta kejayaan negeri. Bhakti nagari yang disertai dengan kesedian untuk mati dinamai “bela nagari” atau “labuh nagari”. Dalam episode Sejarah Perjuangan Kemerdekaan, yaitu pada era Pendudukan Jepang, pengorbanan yang demikian diistilahi dengan “Pembela Tanah Air (PETA).
Diantara para ksatria yang dikisahkan dalam kitab Mahabharatta, Abhimamyu layak mendapatkan predikat sebagai sosok ksatria yang riil melakukan ” dhamma ksatria” atau “ksatriabhakti”, menjalankan “labuh nagari” atau “bela nagari”. Abhimamyu gugur sebagai kusuma nagari dalam usia yamg masih muda. Bahkan, tidak sempat untuk mengenyam kesempatan sebagai “bapa (ayah)” untuk putra pertamanya, yaitu Parikesit. Lantaran, ketika gugur di medan perang besar “bharattayuddha”, buah cinta-kasihnya dengan Uttari itu masih berada di dalam kandungan bundanya. Abhimamyu adalah seorang teladan tentang “ksatria sejati”.