Search This Blog

Saturday, June 12, 2021

Wayang Kulit Purwa

 

Wayang merupakan bentuk konsep berkesenian yang kaya akan cerita falsafah hidup sehingga masih bertahan di kalangan masyarakat jawa hinggga kini. 
Disaat pindahnya Keraton Kasunanan dari Kartasura ke Desa Solo (sekarang Surakarta) membawa perkembangan juga dalam seni pewayangan. Seni pewayangan yang awalnya merupakan seni pakeliran dengan tokoh utamanya Ki Dalang yang berceritera, adalah suatu bentuk seni gabungan antara unsur seni tatah sungging (seni rupa) dengan menampilkan tokoh wayangnya yang diiringi dengan gending/irama gamelan, diwarnai dialog (antawacana), menyajikan lakon dan pitutur/petunjuk hidup manusia dalam falsafah.


Seni pewayangan tersebut digelar dalam bentuk yang dinamakan Wayang Kulit Purwa, dilatar-belakangi layar/kelir dengan pokok cerita yang sumbernya dari kitab Mahabharata dan Ramayana, berasal dari India. Namun ada juga pagelaran wayang kulit purwa dengan lakon cerita yang di petik dari ajaran Budha, seperti cerita yang berkaitan dengan upacara ruwatan (pensucian diri manusia). Pagelaran wayang kulit purwa biasanya memakan waktu semalam suntuk.

Semasa Sri Susuhunan X di Solo seni Pakeliran berkembang medianya setelah didirikan tempat pementasan Wayang Orang, yaitu di Sriwedari yang merupakan bentuk pewayangan panggung dengan pemainnya terdiri dari orang-orang yang memerankan tokoh-tokoh wayang. Baik cerita maupun dialognya dilakukan oleh masing-masing pemain itu sendiri. Pagelaran ini diselenggarakan rutin setiap malam. Bentuk variasi wayang lainnya yaitu wayang Golek yang wayangnya terdiri dari boneka kayu.
Seniman keturunan Cina yang berada di Solo juga kadang menggelar wayang golek cina yang disebut Wayang Potehi. Dengan cerita dari negeri Cina serta iringan musiknya khas cina. 
Ada juga Wayang Beber yang dalam bentuknya merupakan lembaran kain yang dilukis dan diceritakan oleh sang Dalang, yang ceritanya berkisar mengenai Keraton Kediri, Ngurawan, Singasari (lakon Panji).

Wayang Klitik adalah jenis pewayangan yang media tokohnya terbuat dari kayu, ceritanya diambil dari babat Majapahit akhir (cerita Dhamarwulan).
Dulu terkadang "wong Solo" memanfaatkan waktu senggangnya membuat wayang dari rumput, disebut Wayang Rumput
Orang jawa mempunyai jenis kesenian tradisional yang bisa hidup dan berkembang hingga kini dan mampu menyentuh hati sanubari dan menggetarkan jiwa, yaitu seni pewayangan. Selain sebagai alat komunikasi yang ampuh serta sarana memahami kehidupan, wayang bagi orang jawa merupakan simbolisme pandangan-pandangan hidup orang jawa mengenai hal-hal kehidupan yang tertuang dalam dilaog dialur cerita yang ditampilkan.

Dalam wayang seolah-olah orang jawa tidak hanya berhadapan dengan teori-teori umum tentang manusia, melainkan model-model hidup dan kelakuan manusia digambarkan secara konkrit. Pada hakekatnya seni pewayangan mengandung konsepsi yang dapat dipakai sebagai pedoman sikap dan perbuatan dari kelompok sosial tetentu.
Konsepsi-konsepsi tersebut tersusun menjadi nilai nilai budaya yang tersirat dan tergambar dalam alur cerita-ceritanya, baik dalam sikap pandangan terhadap hakekat hidup, asal dan tujuan hidup, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan lingkungannya serta hubungan manusia dengan manusia lain.

Pertunjukkan wayang terutama wayang kulit sering dikaitkan dengan upacara adat: perkawinan, selamatan kelahiran bayi, pindahan rumah, sunatan, dll, dan biasanya disajikan dalam cerita-cerita yang memaknai hajatan dimaksud, misalnya dalam hajatan perkawinan cerita yang diambil "Parto Krama" (perkawinan Arjuna), hajatan kelahiran ditampilkan cerita Abimanyu lahir, pembersihan desa mengambil cerita "Murwa Kala/Ruwatan" 

KHUSUS WAYANG PURWA 
Wayang purwa adalah bagian dari beberapa macam yang ada, diantaranya wayang gedog, wayang madya, wayang klitik purwa, wayang wahyu, wayang wahono dan sebagainya.
Wayang purwa sudah ada beberapa ratus tahun yang lalu dimana wayang timbul pertama fungsinya sebagai upacara menyembah roh nenek moyang. Jadi merupakan upacara khusus yang dilakukan nenek moyang untuk mengenang arwah para leluhur. Bentuk wayang masih sangat sederhana yang dipentingkan bukan bentuk wayang tetapi bayangan dari wayangan tersebut. 
Perkembangan jaman dan budaya manusia selalu berkembang wayang ikut pula dipengaruhi bentuk wayang pun berubah, misalnya, bentuk mata wayang seperti bentuk mata manusia, tangan berkabung menjadi satu dengan badannya. Hal ini dipandang kurang enak maka tangan wayang dipisah, untuk selanjutnya diberi pewarna.

Perkembangan wayang pesat pada jaman para wali, diantaranya Sunan Kalijaga, Sunan Bonang dan yang lain ikut merubah bentuk wayang sehingga menjadi lebih indah bentuknya.
Langkah penyempurnaan di jaman Sultan Agung Hanyakrakusuma, jaman kerajaan Pajang, kerajaan Surakarta, jaman Pakubuwono banyak sekali menyempurnakan bentuk wayang sehingga tercipta bentuk sekarang ini, dimana telah mengalami kemantapan yang dirasa pas dihati pemiliknya.

Pengaturan wayang
Jumlah wayang dalam satu kotak tidak sama trgantung kepada pemiliknya. Jadi ada wayang yang jumlahnya 350 sampai 400 wayang, ada yang jumlahnya hanya 180 wayag dan ada yang kurang dari 180 wayang. Biasanya wayang yang banyak, wayang yang rangkap serta wanda yang banyak sesuai yang diinginkan. Pengaturan wayang pada layar atau kelir atau disebut simpingan. Di dalam simpingan wayang ada simpingan kanan dan simpingan kiri. 

SIMPINGAN KIRI 
1. Buto raton (Kumbakarno) 
2. Raksasa muda (Prahasta,Suratimantra) 
3. Rahwana dengan beberapa wanda 
4. Wayang Bapang (ratu sabrang) 
5. Wayang Boma (Bomanarakasura) 
6. Indarajit 
7. Trisirah 
8. Trinetra dan sejenisnya 
9. Prabu Baladewa dengan beberapa wanda 
10. Raden Kakrasana 
11. Prabu Salya 
12. Prabu Matswapati 
13. Prabu Duryudana 
14. Prabu Salya
15. Prabu Salya 
16. Prabu Matswapati 
17. Prabu Duryudana 
18. Raden Setyaki 
19. Raden Samba 
20. Raden Narayana 

Keterangan :
Pada contoh diatas hanya secara garis besar saja. Jadi masih banyak nama tokoh yang tidak di cantumkan.
* Wayang Eblekan : 
Yaitu wayang yang masih diatur rapi didalam kotak, tidak ikut disimping.
Contoh: Buta brabah, wayang wanara, wayang kewanan (hewan), wayang tatagan yang lain, misal: wadya sabrang buta cakil dan lain-lain.

* Wayang dudahan :
Yaitu wayang yang diletakkan di sisi kanan dhalang.
Contoh: Punakawan, pandita, rampogan, dewa dan beberapa tokoh wayang yang akan digunakan didalam pakeliran.

SIMPINGAN KANAN 
Dimulai dari wayang Tuguwasesa diakhiri wayang bayen. Adapun wayang yang disimping adalah sebagai berikut :
1. Prau Tuguwasesa (Tuhuwasesa) 
2. Werkudara dari beberapa macam wanda 
3. Bratasena dari beberapa macam wanda 
4. Rama Parasu 
5. Gatotkaca dari beberapa macam wanda 
6. Ontareja
7. Anoman dari beberapa macam wanda 
8. Kresna dari beberapa macam wanda 
9. Prabu Rama 
10. Prabu Arjuna Sasra 
11. Pandhu 
12. Arjuna 
13. Abimanyu 
14. Palasara 
15. Sekutrem 
16. Wayang putran 
17. Bati 

Keterangan :
Wayang tersebut disimping pada debog atau batang pisang bagian atas. Untuk batang pisang bagian bawah hanya terdiri dari simpingan wayang putren.
Simpingan sebelah kiri terdiri atas:
1.Buta raton 
2.Wayang buta enom (raksasa muda) 
3.Wayang boma 
4.Wayang Sasra 
5.Wayang Satria

Untuk lebih jelasnya mari kita lihat urutan yang diatur seperti tersebut dibawah ini :
Pakem Ringgit Purwa Warni-warni: 
Lakon-lakon: Peksi Dewata, Gambiranom, Semar Mantu, Bangbang Sitijaya, Wangsatama Maling, Thongthongborong, Srikandhi Mandung, Danasalira, Lesmana Buru Bojone Bangbang, Caluntang, Carapang Sasampuning Prang Baratayuda, Parikesit, Yudayana, Prabu Wahana, Mayangkara, Tutugipun Lampahan Bandung, Carangan Ingkang Kantun Jayaseloba, Doradresanala Larase Semarasupi. Bandhaloba, Ambungkus, Lahire Pandhu, Lahiripun Dasamuka, Dasamuka Tapa Turu, Lahire Indrajit, Lokapala, Sasrabahu, Bambang Sumantri, Sugriwa Subali, Singangembarawati, Anggit Dalem, Tutugipun Lampahan Wilugangga, Tunjung Pethak, Gambar Sejati, Bangbang Dewakasimpar, Ingkang Serkarta Jalintangan Suksma Anyalawadi, Samba Rambi, Antasena Rabi, Wilmuka Rabi, Partajumena, Wisatha Rabi, Sumitra Rabi, Sancaka Rabi, Antareja Rabi, Pancakumara Rabi, Sayembara Dewi Mahendra, Sayembara Dewi Gandawati, Sayembara Tal Pethak, Dhusthajumena Rabi, Pancadriya Rabi, Rukma Ical, Ugrasena Tapa, Leksmana Mandrakumara Rabi, Ada-ada Bimasuci, Pandhawa Kaobongan, Sembadra Dilarung and Secaboma (59 wayang lakon). 

Pakem Ringgit Wacucal: 
Lakon-lakon: Kresna Kembang, Sayembara Setyaki, Erangbaya,Kresna Gugah, Prabu Kalithi, Wilugangga, Waosan Panitibaya Lampahipun Para Dewa, Asmaradahana, Karagajawa dan Sudhamala (11 wayang lakon). 

Pakem Ringgit Purwa Warni-warni: 
Lakon-lakon: Sembadra Edan, Sembadra Larung, Arjuna Besus, Sukma Ngembaraning Sembadra, Peksi Gadarata, Wrekudara Dados Gajah, Cekel Endralaya, Manonbawa, Surga Bandhang, Bangbang Kembar, Bangbang Danuasmara, Palgunadi, Bimasuci, Loncongan, Wrekudara Dipun Lamar, Yuyutsuh, Samba Rajah, Sunggen Wilmuka, Lobaningrat, Anggamaya, Brajadenta Balik, Tapel Sewu, Dewakusuma, Sunggen Gathutkaca, Sugata, Tuguwasesa, Lambangkara, Semar Minta Bagus, Retna Sengaja, Prabu Pathakol, Jayamurcita, Karna Wiguna, Bangbang Supena, Pandhawa Gupak, Gugahan Kresna, Srikandhi Manguru Manah, Kresna Malang Dewa, Bangbang Sinom Prajangga Murca Lalana dan Pandha Widada (42 wayang lakon). 

Pakem Ringgit Purwa: 
Lakon-lakon: Angruna-Angruni, Mikukuhan, Begawan Respati, Watugunung, Wisnupati, Prabu Namintaya, Nagatatmala, Sri Sadana, Parikenan, Bambang Sakutrem, Bambang Sakri, Bagawan Palasara, Kilatbuwana, Narasoma, Basudewa Rabi, Gandamana Sakit, Rabinipun Harya Prabu Kaliyan Ugrasena, Bima Bungkus, Rabinipun Ramawidura, Lisah Tala, Obong-obongan Pasanggrahan Balesegala, Bambang Kumbayana, Jagal Bilawa, Babad Wanamarta, Kangsa Pragat, Semar Jantur, Jaladara Rabi, Alap-alapan
Surtikanthi, Clakutana, Suyudana Rabi, Jayadrata Rabi, Pandhawa Dulit, Gandamana, Kresna Sekar, Alap-alapan Secaboma, Kuntul Wilanten, Partakrama, Gathutkaca Lair, Setija, Bangun Taman Maerakaca dan Wader Bang (43 wayang lakon).

Pakem Ringgit Purwa Warni-warni:
Lakon-lakon: Sembadra Edan, Sembadra Larung, Arjuna Besus, Sukma Ngembaraning Sembadra, Peksi Gadarata, Wrekudara Dados Gajah, Cekel Endralaya, Manonbawa, Surga Bandhang, Bangbang Kembar, Bangbang Danuasmara, Palgunadi, Bimasuci, Loncongan, Wrekudara Dipun Lamar, Yuyutsuh, Samba Rajah, Sunggen Wilmuka, Lobaningrat, Anggamaya, Brajadenta Balik, Tapel Sewu, Dewakusuma, Sunggen Gathutkaca, Sugata, Tuguwasesa, Lambangkara, Semar Minta Bagus, Retna Sengaja, Prabu Pathakol, Jayamurcita, Karna Wiguna, Bangbang Supena, Pandhawa Gupak, Gugahan Kresna, Srikandhi Manguru Manah, Kresna Malang Dewa, Bangbang Sinom Prajangga Murca Lalana dan Pandha Widada (42 wayang lakon).

Pakem Ringgit Purwa Warni-warni:
Lakon-lakon: Peksi Dewata, Gambiranom, Semar Mantu, Bangbang Sitijaya, Wangsatama Maling, Thongthongborong, Srikandhi Mandung, Danasalira, Lesmana Buru Bojone Bangbang, Caluntang, Carapang Sasampuning Prang Baratayuda, Parikesit, Yudayana, Prabu Wahana, Mayangkara, Tutugipun Lampahan Bandung, Carangan Ingkang Kantun Jayaseloba, Doradresanala Larase Semarasupi. Bandhaloba, Ambungkus, Lahire Pandhu, Lahiripun Dasamuka, Dasamuka Tapa Turu, Lahire Indrajit, Lokapala, Sasrabahu, Bambang Sumantri, Sugriwa Subali, Singangembarawati, Anggit Dalem, Tutugipun Lampahan Wilugangga, Tunjung Pethak, Gambar Sejati, Bangbang Dewakasimpar, Ingkang Serkarta Jalintangan Suksma Anyalawadi, Samba Rambi, Antasena Rabi, Wilmuka Rabi, Partajumena, Wisatha Rabi, Sumitra Rabi, Sancaka Rabi, Antareja Rabi, Pancakumara Rabi, Sayembara Dewi Mahendra, Sayembara Dewi Gandawati, Sayembara Tal Pethak, Dhusthajumena Rabi, Pancadriya Rabi, Rukma Ical, Ugrasena Tapa, Leksmana Mandrakumara Rabi, Ada-ada Bimasuci, Pandhawa Kaobongan, Sembadra Dilarung and Secaboma (59 wayang lakon). 

Pakem Ringgit Wacucal:
Lakon-lakon: Kresna Kembang, Sayembara Setyaki, Erangbaya,Kresna Gugah, Prabu Kalithi, Wilugangga, Waosan Panitibaya Lampahipun Para Dewa, Asmaradahana, Karagajawa dan Sudhamala (11 wayang lakon).

Pakem Wayang Purwa I:
Ki Prawirasudirja Surakarta.
Lakon-lakon: Angruna Angruni, Bambang Srigati, Bathara Sambodana Rabi, Hendrasena, Ramaparasu, Setyaki Rabi, Bagawan Sumong, Doradresana Makingkin, Tuhuwisesa, Sridenta, Bratadewa, Jayawisesa, Janaka Kembar, Jayasuparta, Endhang Madyasari, Sekar Widabrata, Samba Rabi, Partajumena Rabi, Calunthang dan Carapang.

Cerita Wayang dan Wanita
Kunti adalah sosok seorang ibu yang sangat setia terhadap putra-putranya, hal ini diperlihatkan ketika putranya ( Pandawa ) Menjalani pembuangan di alasa atau hutan Amarta, akibat tipu daya kalah judi dengan saudaranya Kurawa. Kunti sebagai figur seorang ibu raja yang lingkungan hidupnya penuh kemewahan rela mengikuti putra-putranya dalam penderitaan di pembuangan tersebut. 

Diceritakan dalam pembuangan tersebut : 
Putranya yang masih kecil yaitu: Nakula dan Sadewa mengalami kelaparan akibat kehabisan makanan selama dua minggu tidak pernah meminum susu dan madu lagi, yang biasanya diberikan, sehingga ibu Kunti memerintahkan Arjuna untuk mencarikan kebutuhan tersebut bagi sang putra. Dalam perjalanan mencari susu dan madu Arjuna dikagetkan oleh seorang putri, putri yang amat jelita yang berlari menuju sang Arjuna untuk mengabdikan diri bila sang Arjuna mau menolong dirinya dari kejaran sang lurah yang buruk rupa namun sakti yang ingin mengawininya. 

Ketika Arjuna bertemu ki lurah tersebut, dengan bahasa yang santu memohon kepada Arjuna agar sang putri tersebut boleh dimintanya. Dengan rasa haru Arjuna menyanggupi agar si putri mau kembali dan mau diperistri ki lurah tersebut. Ketika Arjuna menyanggupinya, ki lurah berjanji akan memberikan jiwa dan raga bahkan apapun yang diminta oleh Arjuna. Kemudian ki lurah diminta kembali ke padepokannya kemudian Arjuna menemui sang putri sambil berkata " memang sudah kebetulan bahwa Arjuna diperintahkan mencari putri yang cantik yang akan dipersembahkan untuk sang maha raja agar menjadi santapannya " 
Mendengar ucapan tersebut sang putri lari ketakutan dan kembali ke padepokan memeluk ki lurah untuk mendapatkan perlindungan karena akan dijadikan santapan ( padahal sebelumnya putri tersebut merasa amat jijik ) 
Saking senangnya ki lurah buru-buru menjumpai kembali sang Arjuna sambil mengucapkan terima kasih lalu memohon untuk menyatakan : Imbalan apa yang ingin Arjuna ingingkan ? dijawab oleh Arjuna, bahwa ia hanya menginginkan madu dan susu. 
Oleh ki lurah dipilihkan madu dan susu yang sangat istimewa, bahkan ki lurah berjanji jika kelak di perang " mahabarata " ki lurah akan mempertaruhkan jiwa dan raga demi keluarga Pandawa. Setelah mendapatkan susu dan madu sang Arjuna menemui kembali sang ibu Kunti, untuk menyampaikan apa yang diperintahkannya. Dengan senang sang ibu menerima apa yang dibawa oleh Arjuna, sambil bertanya dimanakah gerangan engkau mendapatkan susu dan madu sebaik ini. Setelah diceritakan cara mendapatkannya, dengan marah sang ibu berkata untuk tidak melakukan perbuatan ini lagi bahkan membuangnya susu dan madu tadi dengan alasan apabila ini diminumkan kepada adikmu hai Arjuna akan menimbulkan malapetaka kelak dikemudian hari, karena susu dan madu tersebut didapat dengan jalan tidak halal ( ksatria ) yaitu dengan cara memanipulasi. 
"Sang Arjuna pun menyesal dan memohon ampun serta berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi di kemudian hari". 

Kesimpulan : 
1. Disinilah letak seorang ibu yang dinilai sangat bijaksana dalam memilih makanan pun diperhitungkan bagaimana cara mendapatkannya.
2. Kunti adalah sosok seorang ibu yang penuh pengabdian dan kasih sayang, dan tanggung jawab yang teramat besar terhadap putra-putranya. 
3. Kunti adalah ibu yang bijaksana yang dapat memilah dan mimilih mana yang semestinya dan mana yang tidak untuk diberikan kepada putra-putranya. 

1      2      3      4      5       6     7      8      9       10

Wednesday, June 9, 2021

Jenis Gamelan

Gamelan adalah sebuah musik ensambel tradisional yang populer di wilayah Jawa, Sunda, dan Bali. Gamelan menggunakan skala nada pentatonis dalam sistem skala nada (laras) slendro dan pelog.

Dalam satuan gamelan, terdiri dari instrumen musik perkusi yang digunakan dalam seni karawitan. Instrumen yang paling umum dipakai adalah keluarga metalofon seperti gangsa, gender, bonang, gong, dan saron. Selain itu juga menggunakan alat-alat musik membranofon, idiofon, aerofon, dan xilofon yang diisi dengan instrumen tradisional Jawa dan Bali.
Mungkin kebanyakan orang belum memahami betul instrumen apa saja yang digunakan dalam kesenian gamelan ini. disini akan saya jelas tentang Jenis Gamelan tersebut diantara nya adalah :


1. Kendang
Kendang, kendhang, atau gendang merupakan salah satu instrumen gamelan Jawa. Salah satu fungsi utama kendang adalah mengatur irama dalam ensambel musik gamelan. Instrumen ini dimainkan dengan cara dipukul menggunakan telapak tangan, tanpa alat bantu.

Alat musik kendang memiliki beberapa jenis yang dibedakan berdasarkan ukurannya. Jenis kendang yang kecil disebut ketipung, yang ukuran sedang disebut kendang ciblon/kebar. Pasangan ketipung ada satu lagi bernama kendang gedhe atau biasa dikenal dengan kendang kalih.

Jenis kendang kalih biasa dimainkan pada lagu atau gendhing yang berkarakter halus, seperti Ketawang, Gendhing Kethuk Kalih, dan Ladrang Irama Dadi. Selain itu bisa juga dimainkan cepat seperti pada pembukaan lagu jenis lancaran, ladrang irama tanggung, Kebanyakan kendang dimainkan oleh para pemain profesional gamelan yang sudah lama menyelami Budaya Gamelan.
2. Alat Musik Saron
Saron atau juga biasa disebut ‘ricik’ merupakan salah satu instrumen gamelan yang termasuk dalam keluarga balungan. Balungan yaitu jenis alat musik gamelan yang berupa bilahan (wilahan) logam yang berjumlah 6 atau 7 (1 oktaf), ditumpangkan pada bingkai kayu yang juga berfungsi sebagai resonator.
Dalam satu set gamelan, biasanya terdapat 4 saron yang semuanya memiliki jenis laras pelog dan slendro. Saron menghasilkan nada 1 oktaf lebih tinggi daripada demung, namun dengan ukuran yang lebih kecil. Tabuh saron biasanya terbuat dari kayu yang dibuat menyerupai palu.
Dalam teknik permainan saron, tangan kanan memukul bilahan logam dengan tabuh, sementara tangan kiri menahan bilahan yang dipukul sebelumnya untuk menghilangkan dengungan yang tersisa. Teknik ini sudah familiar disebut memathet (memencet).
3. Alat Musik Demung
Demung meruakan alat musik gamelan yang termasuk dalam keluarga balungan, seperti saron. Dalam satu set gamelan, biasanya terdapat 2 demung dengan jenis skala nada yang berbeda, yaitu pelog dan slendro. Demung menghasilkan nada dengan oktaf paling rendah di antara alat musik balungan, dengan ukuran fisik yang paling besar.

Jika dibandingkan dengan saron, demung memiliki bilahan yang relatif lebih tipis namun lebih lebar daripada bilahan saron, sehingga nada yang dihasilkannya lebih rendah. Tabuh demung juga terbuat dari kayu yang dibentuk menyerupai palu, dengan ukuran yang lebih besar dan berat daripada tabuh saron.
4. Bonang
Bonang adalah salah satu instrumen yang digunakan dalam ensambel gamelan Jawa. Alat musik ini berupa gong kecil (seringkali juga disebut ceret atau pot) yang diletakkan di atas string (tali) dalam bingkai kayu (rancak). Setiap ceret memiliki satu poros cembung (pencon) di bagian atas sebagai pusat tempat pukul.
Dalam satuan alat musik gamelan Jawa, bonang termasuk dalam keluarga alat musik ‘pencon’, yaitu alat musik gamelan yang terbuat dari logam dan berbentuk cekungan, di bagian atasnya dibuat poros cembung sebagai tempat pukul. Alat musik ini dimainkan dengan cara dipukul menggunakan tongkat pemukul khusus.
Dalam gamelan Jawa, ada tiga jenis bonang yang dibedakan berdasarkan skala nada yang digunakan, yaitu:
Bonang Panerus memiliki ukuran yang paling kecil di antar jenis bonang yang lain. Bonang ini dimainkan setengah ketukan dari bonang barung, sehingga apabila keduanya dimainkan secara bersama akan menimbulkan efek suara yang bersahutan. Notasi yang digunakan bonang panerus lebih tinggi 1 oktaf dari bonang barung, namun dengan jumlah ceret yang sama.
Bonang Barung, Bonang ini memiliki ukuran menengah di antara dua jenis bonang yang lain. Bonang barung dimainkan sebagai penentu ketukan pembukaan, patokan tempo, dan juga sebagai patokan dinamika. Dalam ensambel, alat ini bisa dikatakan salah satu instrumen penting, yaitu dalam memberikan isyarat kepada pemain gamelan lain.
Bonang Panembung merupakan jenis bonang yang memiliki ukuran paling besar di antara jenis yang lain. Meski begitu, bonang ini menghasilkan nada yang paling rendah.
5. Kenong
Kenong merupakan alat musik gamelan yang termasuk dalam keluarga ‘pencon’ di samping bonang yang sudah kita bahas sebelumnya. Kenong merupakan instrumen paling gemuk di antara keluarga pencon. Kenong disusun pada ‘pangkon’ berupa kayu yang dialasi dengan tali, sehingga tidak menghambat getaran kenong ketika ditabuh.

Bentuk kenong yang besar menghasilkan suara yang rendah namun nyaring dengan timbre yang khas. Dalam telinga masyarakat Jawa, suara kenong ditangkap berbunyi ‘ning-nong’, sehingga dinamakan alat musik ‘kenong’. Dalam ensambel gamelan, suara kenong mengisi sela-sela suara kempul.
 
6. Gong
Gong merupakan alat musik tradisional dari Vietnam yang sudah terkenal di Asia Tenggara dan Asia Timur. Alat musik tradisional ini terbuat dari leburan logam, seperti perunggu dengan tembaga yang dibentuk sedemikian rupa hingga menyerupai piring raksasa yang memiliki poros cembung di bagian tengahnya.
7. Alat Musik Kempul
Kempul merupakan alat musik gamelan yang dimainkan dengan cara ditabuh. Alat musik kempul seringkali disebut sebagai ‘anak gong’ karena memang bentuk dan karakteristik-nya yang nyaris sama dengan gong, hanya saja dengan ukuran yang lebih kecil. Dalam penggunaannya pun, kempul biasa digantung menjadi satu dengan gong.

Dalam ensambel gamelan, kempul termasuk dalam keluarga instrumen pencon, sebagaimana dengan gong. Kempul bisa memainkan nada yang sama dengan alat musik balungan, bahkan kadang kempul dapat mendahului nada balungan.
8. Gambang
Gambang merupakan salah satu alat musik gamelan yang dimainkan dengan cara dipukul menggunakan alat pemukul khusus yang biasa disebut tabuh. Umumnya, alat musik gambang terbuat dari kayu, kemudian pada bagian penghasil nadanya dibuat dari kayu atau bambu yang dibentuk menjadi bilahan. Dari sana, gambang memiliki bentuk dan suara yang khas dan unik
Pada sebuah gambang, terdapat sebanyak 18 bilah nada yang diletakkan di atas sebuah rak resonator yang berbentuk menyerupai perahu. Bilah-bilah tersebut disusun secara berurutan dari yang terkecil hingga yang paling panjang.
9. Alat Musik Slenthem
Slenthem juga merupakan alat musik keluarga balungan dalam ensambel gamelan. Slenthem menghasilkan dengungan rendah atau gema yang mengikuti nada instrumen balungan yang lain. Menurut beberapa ahli, slenthem seringkali dianggap sebagai gender panembung.
Tak jauh berbeda dengan instrumen lain, dalam satu set gamelam terdapat slenthem dengan versi slendro dan pelog. Pada bilahan slenthem pelog umumnya memiliki rentang nada C hingga B, sedangkan pada slenthem slendro memiliki rentang nada C, D, E, G, A, C.
10. Alat Musik Gender
Gender merupakan alat musik pukul logam yang menjadi bagian dari perangkat gamelan Jawa dan Bali. Alat ini memiliki 10 sampai 14 bilah nada yang terbuat dari kuningan yang digantungkan pada berkas, di atas resonator dari bambu atau seng.

Cara memainkannya tidak jauh berbeda dengan alat musik metalofon lain, yaitu dengan dipukul menggunakan tabuh yang terbuat dari kayu (Bali) atau kayu berlapis kain (Jawa). Skala nada yang digunakan pada alat musik ini pun bermacam-macam. Pada satu set gamelan Jawa yang lengkap, terdapat tiga jenis gender: slendro, pelog pathet nem dan lima, dan pelog pathet barang.
11. Alat Musik Siter
Siter merupakan alat musik gamelan yang dimainkan dengan cara dipetik, seperti guzheng dari Cina atau sitar dari India. Alat musik Jawa Tengah ini memang sudah sangat jarang dimainkan, bahkan bisa dibilang terancam punah. Padahal suara gitar Jawa ini tidak kalah menarik jika dibandingkan dengan alat musik petik lainnya.
Alat musik ini umumnya memiliki ukuran 20 x 50 cm, terbuat dari kayu jati dan memiliki 13 sampai 14 senar. Siter memiliki dua sisi yang mengandung skala nada yang berbeda. Pada sisi pertama disebut pelog dan sisi yang lain disebut slendro.
Ada beberapa yang menganggap bahwa alat musik Jawa ini banyak mengadopsi pengaruh dari kebudayaan India. Hal ini karena nama alat musik tersebut nyaris sama dengan alat musik ‘sitar’, sebuah alat musik tradisional India.
12. Rebab
Dalam gamelan Jawa, rebab merupakan instrumen penting dalam mengelaborasi dan menghiasi melodi dasar. Permainannya pun tidak harus sesuai persis dengan skala instrumen gamelan lainnya dan dapat dimainkan dalam waktu yang relatif bebas. Rebab juga sering memainkan buka yang saat itu merupakan bagian dari ensambel.
13. Suling
Suling merupakan alat musik dari keluarga alat musik tiup kayu yang terbuat dari bambu. Suara suling yang lembut dapat dipadukan dengan alat musik lainnya, juga dapat melebur dengan baik ketika dipadukan dalam ensambel manapun, termasuk gamelan.
14. Kemanak
Kemanak merupakan alat musik gamelan yang berbentuk seperti pisang atau sendok dan memiliki tangkai di bagian ujungnya. Pada bagian badan kemanak terdapat lubang memanjang. Biasanya kemanak terbuat dari logam perunggu atau besi. Alat musik ini memiliki karakter suara yang pelan dan biasa dipadukan lagu yang bertempo lambat.
Cara memainkan kemanak adalah dengan cara dipukul dan dipadukan dengan alat musik tradisional lainnya. Ada teknik khusus dalam memainkan kemanak, yaitu dengan memukul bagian samping dan sedikit menggesekkannya. Apabila lubang pada bagian badannya ditutup, kemanak akan menghasilkan nada yang beragam.
15. Alat Musik Gendrum
Gendrum sendiri terdiri dari sebuah kendang jaipong, sebuah kendang batangan, dua buah ketipung (panepak), dua buah ketibung (ketipung besar), sepasang bongo, cowbells, drum bass, dan seperangkat simbal yang terdiri atas sebuah ride, crash, splash, dan china.
Alat musik gendrum dimainkan oleh seorang gendrumer (pemain gendrum), dan bukan oleh sekelompok pemain perkusi. Kombinasi perkusi yang terdapat dalam seperangkat gendrum merupakan kesatuan harmoni yang telah disetem sesuai keperluan.

Itulah 15 alat musik gamelan , menjadi sebuah keunikan tersendiri sebagai ciri khas dari masyarakat Jawa. Selain alat musik daerah, masih banyak hal-hal menarik lain yang bisa kita telusuri, seperti: wisata-wisata di Jawa, kesenian, tari-tarian, upacara adat, dan masih banyak lagi.

Wednesday, June 2, 2021

Abaswa / Dursaha

Abaśwa iku, salah sijining para Korawa satus. Jenengé diarani ing layang gancaran Adiparwa, kitab pratamané Mahabharata. artinya : Abaswa salah satu dari Bolo Kurowo , Namanya terdapat Pada Surat Adiparwa dgn Kitab Mahabarata.
Sifat dan karakter nama Abaswa
Orang dengan nama Abaswa tergolong percaya diri.
Ia cenderung memimpin dengan berwibawa dan selalu mencari petualangan. Ia sangat tertarik dengan kehidupan dan memiliki sifat mandiri.
Orang ini juga bicara apa adanya dan tertarik secara fisik pada orang lain. Nama "Abaswa" memang tidak mencerminkan kualitas pribadinya, namun memiliki nama yang bagus akan membantu seseorang menjadi lebih percaya diri, dan lebih bersemangat untuk menjadi pribadi yang positif, serta selalu berusaha agar hidupnya dapat bermanfaat untuk banyak orang.
Menurut studi nama "Abaswa" mempunyai kepribadian Tingkat spiritual tinggi, intuitif, tercerahkan, idealis, pemimpi.
Sekali lagi kepribadian di atas adalah hasil studi cocoklogi, yang pastinya bukanlah penentu kepribadian sebenarnya. Ada banyak hal lain yang menentukan sifat dan kepribadian seseorang.

Friday, May 28, 2021

Dursasana (Duhsasana)

DURSASANA adalah putra Prabu Drestarasta, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Gandari, putri Prabu Gandara dengan Dewi Gandini dari negara Gandaradesa.

Dursasana bersaudara 100 orang --{99 orang pria dan 1 orang wanita} yang disebut Sata Kurawa.
Diantaranya yang dikenal dalam pedalangan adalah Duryudana (raja Negara Astina), Bogadatta (raja negara Turilaya), Bomawikata, Citraksa, Citraksi, Carucitra, Citrayuda, Citraboma, Durmuka, Durmagati, Durgempo, Gardapati (raja Negara Bukasapta), Gardapura , Kartamarma, (raja negara Banyutinalang), Kartadenta, Surtayu, Surtayuda, Wikataboma, Widandini (raja negara Purantara) dan Dewi Dursilawati.
Dursasana menikah dengan Dewi Saltani, putri Adipati Banjarjungut.
Dari perkawinan ini ia berputra seorang lelaki bernama Dursala. Dursasana berbadan besar, gagah dan bermulut lebar, mempunyai watak dan sifat; takabur, gemar bertindak sewenang-wenang, besar kepala, senang meremehkan dan menghina orang lain.
Dursasana mempunyai pusaka sebuah keris yang luar biasa besarnya bernama Kyai Barla.
Dursasana mati di medan perang Bharatayuda oleh Bima/Werkudara dalam keadaan sangat menyedihkan.
Dadanya dibelah dengan kuku Pancanaka. Darah yang menyembur ditampung Bima untuk memenuhi sumpah Dewi Drupadi, yang akan dibuat kramas dan mencuci rambutnya.
Anggota tubuh dan kepala Dursasana hancur berkeping-keping, dihantam gada Rujakpala.

Raden Dursasana
, putra Prabu Destarastra, raja negara Astina. Ia adalah putra kedua, seorang ksatria agung Korawa yang bersemayam di kesatriyan Banjarjungut dan karena itu ia disebut juga ksatria Banjarjungut. Dursasana sangat disayang oleh bapak, ibu dan saudara tuanya Prabu Suyudana. Ia suka dipuji dan berbuat sekehendak hatinya. Tak ada seorang pun yang bisa melarangnya. Kata-kala Dursasana kasar dan diikuti oleh ketawa. Ia tak pernah bisa tenang. Pada waktu berjalan, demikian pula pada waktu duduk, ia berlenggang panjang dengan tanggannya, suatu kebiasaan yang memang ganjil sekali. Dursasana diangkat sebagai pahlawan Astina untuk perang tanding kelak dengan Wrekodara dalam perang Baratayuda.

Dursasana sangat disayang oleh ibu-bapak. Ia tak pernah dilarang untuk berbuat apapun. Andaikan berbuat salah pun, ia dibiarkan saja.
Di dalam lakon Arjuna Papa, Arjuna menderita sengsara. Para Korawa merasa terbalas dendam mereka terhacap Pendawa. Arjuna tertangkap oleh Korawa dan disiksa, ketika Arjuna sedang disiksa oleh para Korawa, Dursasana, yang tertua di antara para Korawa yang menyiksa itu, senang sekali menyaksikan peistiwa penyiksaan itu. Tetapi kemudian tingkah laku Dursasana itu menemui pembalasanny dalam amukan Wrekodara.
Demikian pula dalam lakon Baleseagalagala. para Koawa merasa berhasil mengenyahkan kerabat Pendawa dari muka bumi, ketika para Pendawa mabuk di dalam perayaan dan tempat di mana perayaan diadakan dibakar oleh para Korawa, sehingga menurut dugaan mereka ini punahlah sudah para Pendawa.
Tetapi oleh pertolongan Dewa Bumi, Hyang Antaboga kepada para Pendawa dapat ditunjukkan jalan ke Saptapertala dengan seekor garangan, musang putih sebagai penunjuk jalannya dan sesudah mengalami peristiwa pembakaran itu, keluarga Pendawa malahan menemui kemuliaannya. Sesudah mengetahui, bahwa Pendawa dapat menyelamatkan diri dari kebakaran, para Korawa terheran-heran dan bernafsu untuk memusnahkan Pendawa.
Dalam perang Baratayuda, Dursasana benar-benar berhadapan dengan Wrekodara dan tewas oleh ksatria ini.

Dursasana bermata telengan putih, berhidung dempak, bermulut gusen. Berperawakan tinggi dan besar. Dalam anggapan Korawa, Dursasana adalah Wrekodaranya Astina dan menjadi imbangan Wrekodara yang sebenarnya.
Dursasana bermahkota bentuk topeng, berjamang dengan garuda membelakang, bersunting kembang kluwih. Berkalung ulur-ulur. Bergelang, berpontoh, dan berkeroncong. Berkain kerajaan lengkap.
Dalam lakon Alap-alapan Ulupi, cenitanya berpokok kawinnya Dewi Ulupi, putri Begawan Kanwa dan Yasarata, dengan Arjuna.

Lakon Alap-alapan berarti lakon perjodoan seorang ksatria. Dalam hubungan dengan negara Astina, ada putri tertentu yang akan dikawinkan dengan Dursasana, tetapi ternyata putri itu sudah kawin dengan Raden Arjuna dan marahlah pihak Astina. Kawinnya Dursasana dengan Ulupi di sini cuma menjadi buah tutur. Banyak memang lakon-lakon mengenai Korawa dan khususnya mengenai Dursasana.
Ada lakon-lakon lain mengenai Astina seperti mialnya akan kawinnya Pendita Durna dengan Dewi Setyaboma, tetapi kemudian putri ini kawin dengan Prabu Kresna.

Akan kawinnya Raden Lesmanamandrakumara, putra Prabu Suyudana, dengan Dewi Titisari, putri Prabu Kresna, akhirnya tak jadi dan pihak Astina mendapat malu besar, oleh karena Lesmana dipermainkan oleh orang-orang Dwarawati, negara Prabu Kresna. Menurut adat kebiasaan perkawinan orang Jawa, orang laki-laki harus dapat membatasi diri dalam soal makan dan hanya makan nasi putih saja misalnya, dalam hal mana dikatakan, bahwa dia putih.
Lesmana pun berbuat demikian, tetapi yang dimakannya ialah putihnya telur asin, yang dianggapnya putih juga.
Dalam perkawinan Prabu Suyudana dengan Dewi Banowati, Suyudana diminta mewujudkan suatu janji yang berat.

Duryodana (Suyodana)

Duryodana, sang pemimpin kurawa merupakan tokoh antagonis utama dalam cerita Mahabharata,Lawan para pandawa. Duryodana adalah putera sulung Prabu Drestarasta, Raja Astina dengan Dewi Gandari, putri Prabu Gandara dari negara Gandaradesa. Duryodana bersaudara seratus orang, dimana sembilan puluh sembilan diantaranya adalah laki-laki dan satu orang perempuan, yang disebut sebagai Sata Kurawa. Duryodana memiliki dua orang anak kembar bernama Lesmana Mandarakumara dan Lesmanawati dari pernikahannya dengan Banowati.


Kelahiran Duryodana dan para kurawa merupakan suatu hal yang tidak wajar. Gandari, ibu dari para kurawa hamil dalam jangka waktu yang cukup panjang, Ia cemburu pada Kunti yang telah memberikan Pandu tiga orang putra. Gandari pun melahirkan gumpalan daging berwarna keabu-abuan. Heran dengan hal tersebut, Gandari pun memuja Byasa, seorang petapa sakti yang memberikannya berkah seratus orang anak. Gumpalan daging tersebut dipotong oleh Byasa menjadi seratus bagian dan dimasukkannya kedalam pot. Pot yang berisi gumpalan daging tersebut ditanam didalam tanah dan digali satu tahun kemudian. Setelah satu tahun berlalu yang pertama dikeluarkan dari pot tersebut adalah Duryodana, dan kemudian para kurawa yang lainnya. Para Brahmana merasakan adanya pertanda buruk mengiringi kemunculannya dari dalam pot. Widura dan Bisma menyarankan agar anak tersebut dibuang, namun kecintaan Drestarastra kepada putera pertamanya tersebut membuatnya tidak mampu untuk melakukan hal tersebut.

Duryodana dikatakan memiliki tubuh yang terbuat dari petir karena ia sangat kuat. Duryodana sangat dihormati oleh adik-adiknya. Ilmu bela diri ia dapatkan dari gurunya, yaitu Krepa, Drona dan Balarama atau Baladewa. Senjata yang ia gunakan adalah gada. Duryodana memiliki sahabat seorang ksatria gagah perkasa bernama Karna, yang berani menentang Arjuna. Namun karena perbedaan kasta diantara mereka, maka Duryodana membela Karna dan menjadikannya raja di kerajaan Anga. Karna merupakan harapan Duryodana untuk memenangkan perang Bharatayuddha.

Duryodana memiliki sifat yang jujur, namun mudah dipengaruhi, licik dan menginginkan sesuatu yang serba enak. Dengan kekayaan dan kemegahan Indraprastha membuat Duryodana iri dengan Yudhistira. Para pandawa yang selalu membuat Duryodana jengkel membuatnya ingin menyingkirkan mereka, namun selalu gagal karena perlindungan dari Kresna. Untuk melakukan hal tersebut Duryodana dibantu oleh pamannya Sangkuni yang licik dan selalu memberikan ide-ide buruk untuk mempengaruhi Duryodana. Sangkuni yang berlidah tajam menghasut Duryodana untuk mengajak Yudishtira melakukan permainan dadu dengan taruhan harta dan kerajaan. Dengan kelicikannya Duryodana memenangkan permainan tersebut dan Yudhistira menyerahkan seluruh harta kekayaan bahkan adik dan istrinya kepada Duryodana.
Pandawa yang meminta kembali kerajaan mereka setelah masa pembuangan ditolak mentah-mentah oleh Duryodana. Meskipun pandawa berhak ikut serta dalam pemerintahan sebagai pangeran Kerajaan Kuru, Duryodana tetap bersikeras menolak dan menantang para pandawa untuk melakukan perang. Kresna pun mendatangi Duryodana untuk malakukan perdamaian, namun Duryodana tetap menolak dan terjadilah perang besar di Kurukshetra atau di Indonesia lebih dikenal dengan perang Barathayuddha

Duryodana didampangi oleh para ksatria kuat yang siap melindunginya dalam perang besar di Kurukshetra. Duryodana menggantungkan harapan untuk meraih kemenangan kepada Bisma dan Karna, sahabat yang bersumpah setia akan selalu memihak Duryodana. Namun para ksatria yang memihak Duryodana gugur satu-persatu, begitu pula Bisma dan Karna. Menjelang akhir peperangan Duryodana pun merasa cemas akan kekalahannya. Takut akan kekalahan puteranya, Ratu Gandari pun memberikan Duryodana kekuatan yang berasal dari kedua matanya yang ia tutup. Dengan kekuatan tersebut Duryodana akan kebal terhadap segala macam serangan. Untuk mendapatkan kekuatan tersebut Duryodana diharuskan mandi dengan keadaan telanjang dihadapan Ibunya. Karena malu setelah mendapat ejekan dari Kresna, Duryodana pun menutup bagian bawah perutnya, termasuk pahanya. Saat Gandari melepas penutup matanya kekuatan pun dilimpahkan ketuhuh Duryodana. Namun, bagian bawah perut yang ditutupi tidak mendapat kekuatan dan tidak kebal terhadap serangan.
Pada pertarungan terakhir, Yudhistira menawarkan Duryodana untuk bertarung dengan salah satu Pandawa. Yudhistira akan menyerahkan kerajaan kepada Duryodana apabila ia berhasil mengalahkan Pandawa. Duryodana pun setuju dan memilih bertarung melawan Bima dengan senjata gada. Keduanya memiliki kemampuan setara dan menuntut ilmu pada guru yang sama, yaitu Baladewa. Pertarungan berlajan sengit dan seimbang karena kekuatan mereka setara. Kresna pun mengingatkan Bima atas sumpahnya saat permainan dadu untuk mematahkan paha Duryodana karena melecahkan Dropadi. Bima pun mengingat sumpahnya dan langsung memukul dengan keras paha Duryodana menggunakan gadanya. Duryodana pun tersungkur dan roboh karena bagian yang dipukul tersebut tidak mendapatkan kekuatan kebal terhadap serangan. Bima yang ingin mengakhiri hidup Duryodana dicegah oleh Baladewa yang mengancam akan membunuhnya jika melakukan hal tersebut. Bima melanggar aturan dalam pertempuran gada karena memukul bagian paha, maka Baladewa pun sangat marah kepadanya. Kresna pun menyadarkan Baladewa dan membeberkan kecurangan-kecurangan yang dilakukan Duryodana dan ia lebih banyak melanggar aturan dalam peperangan. Duryodana pun gugur pada pertempuran hari kedelapanbelas. Duryodana pun masuk neraka, kemudian menikmati kesenangan di surga karena ia gugur di Kurukshetra, tanah suci yang diberkati.

Sunday, May 23, 2021

Wayang Golek

Wayang golek adalah pertunjukan wayang dari boneka kayu yang berasal dari Sunda. Cerita di dalam pegelaran wayang golek juga berasal dari Ramayana, Mahabrata dan cerita jagad pewayangan lainnya.
Seperti wayang pada umumnya, wayang golek juga diiringi oleh musik ketika ditampilkan. Biasanya alat musik yang digunakan adalah gamelan. Gamelan yang dimaksud tentunya gamelan Sunda yang termasuk Slendro.
Dalam gamelan Sunda, alat-alat di antara adalah saron, peking, selentem, kenong, gong, kempul, kendang indung, kendang kulanter, gambang dan rebab. Juga akan ada sinden yang akan mengiringi pertunjukan wayang golek dengan nyanyian yang indah.
Pola Pengadeganan Biasanya, pola pengadeganan wayang golek antara lain seperti ini susunannya:Tatalu alias dalang, sinden naik panggung lalu diiringi gending jejer atau kawit, murwa, nyandara dan biantara.
Babak unjal, lalu Paseban dan bebegalan.
Negara Sejen
Patepah
Perang Gagal
Panakawan atau Goro-goro
Perang Kembang
Perang Raket
Tutug

Fungsi Wayang Golek
Pertunjukan wayang golek ditujukan agar mampu membuat orang-orang bisa terhindar dari marabahaya. Ada beberapa orang yang diruwat atau istilahnya sukerta. Di antaranya:
Wunggal (anak satu-satunya)
Nanggung Bugang (adik dari seorang kakak yang meninggal dunia)
Suramba (4 orang putra)
Surambi (4 orang putri)
Pandawa (5 orang putra)
Pandawi (5 orang putri)
Talaga tanggal kausak (seorang anak lelaki yang diapit dua anak perempuan)
Samudra Hapit sindang (seorang anak perempuan yang diapit dua anak lelaki)
dan sebagainya

Anda pasti mengenal nama Cepot alias (nama aslinya) Sastrajingga. Dia adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ayah ibunya merupakan Semar badranaya dengan Sutiragen. Namun, ada yang menyebutkan bahwa Cepot sebenarnya lahir dari saung.
Cepot kerap menemani ksatria baik seperti Arjuna misalnya. Cepot kerap bertindak lucu dan konyol, meski sebenarnya yang di hadapannya adalah majikannya. Tak jarang justru dewa yang berada di depannya.
Meski demikian, lewat Cepot inilah dalang akan menyampaikan nasehat, pelajaran hidup dan sebagainya lewat humor dan kritiknya tersebut.
Lewat Cepot juga, pesan-pesan bebas bisa masuk ke penonton meski berada di tengah cerita. Tapi bukan berarti Cepot tidak pernah ikut perang.
Cepot bahkan bersenjata sejenis golok atau kalau di Sunda disebut bedog. Bedog ini deisebut Bedog Cepot. Inilah yang menjadi senjata bila Cepot ikut berperang.
Selain Cepot, ada Dawala. Dawala adalah adik Cepot. Dia anak kedua dari pasangan Semar Badranaya dan Sutiragen. Dawala biasanya menemani Cepot kemanapun pergi.
Selain itu ada Denawa atau bangsa buto atau raksasa. Mereka juga disebut buta yang berarti tidak bisa melihat petunjuk dewa, agama dan sebagainya. Denawa antara lain ada Denawan Acung, Denawa Calangap dan Denawa Huntu.
Sementara itu, ada pula Semar yang bedanya anak-anaknya bukanlah Petruk dan Bagong. Anak-anak Semar Badranaya dalam wayang golek antara lain Gareng, Cepot dan Dewala.
Itu penjelasan singkat atau pengantar tentang wayang golek. Berikutnya akan dibahas lebih lanjut cerita dan tokoh-tokoh lainnya dalam wayang golek Sunda.

Saturday, May 22, 2021

Pariksit

Ketika Abhimanyu gugur di palagan Kuruksetra Janin Pariksit masih berdiam di guogarbo Uttari Ketika terlahir, Parikesit jadi “bocah lola bapa”, Telah yatim sedari dalam kandungan bundanya


Citra Keagungan Raja Parikesit Dalam “Dunia Pewayangan Jawa”, khususnya jenis wayang purwo, yang kisahya bersumber kepada wiracarita Mahabharata, dikenal adanya seorang raja dari trah (garis ganeologis, alur keturunan) Pandawa, yakni Parikesit. Dalam teks Sanskrit susastra Mahabharatta maupun pada teks edisi terjemahannya ke dalam bahasa Jawa Kuna, tokoh ini ditulis dengan “Pariksit”. Pada urutan keluarga besar (dinasti, vamsa) Pandawa, Pariksit dapat dibilang “raja terakhir” keturunan kula Pandawa, sehingga acapkali dinyatakan sebagai “the last Pandawa”. Ayah Parikesit adalah Abhimanyu dengan ibui Utara (menurut versi Jawa bernama “Utari” atau “Untari” — istri Abhimanyu yang lainnya adalah Siti (Ksiti) Sundari. Abhimanyu adalah putra Arjuna. Adapun ayah dari Arjuna, yang adalah mula trah (disebut “vamsakara” atau “vamsakreta”) d dalam keluarga besar (dinasti) Pandawa adalah Pandu (acapkali disebut lengkap dengan “Pandu Dewanata”), yang dalam kitab wiracarita Mahabharatta dikisahkan sebagai raja nagari Hastinapura. Sebutan “Pandawa (Dewanagari: पाण्डव) di dalam bahasa Sanskerta berarti : anak Pandu. Parikesit dengan demikian berada di keturunan ke-4 dalam dinasti Pandawa. Pada masyarakat Jawa masa lalu, Parikesit tidak hanya dipahami sebagai ” seorang ksatria”, tokoh cerita di dalam susastra “Mahabharatta”. Namun, sebagaimana halnya peristiwa (baca “kisah”), tokoh cerita, beserta tempat-tempat kejadian yang dikisah oleh Mahabharatta diyakini sebagai nyata adanya. Bahkan, terdapat pandangan — yang dipengaruhi cara pandang “Javanisasi”, yang melokasikan tempat bagi terjadinya peristiwa -peristiwa itu berada di Jawa. Begitu pula, raja-raja yang terkisah di dalam Mahabharata, khususnya Parikesit, pada sebagian besar “silsilah mangiwo (kiwo = kiri)” adalah leluhur dari raja-raja di Jawa. Pada silsilah itu, Parikesit mempunyai lima orang permaisuri dengan 8 (delapan) orang putra. Salah seorang diantara mereka itu adalah Dewi Satapi (Tapen), yang menurunkan Yudayana dan Dewi Pramasti. Raja Yudayana meturunkan Gendrayana — sampai disini Kerajaan Hastina hilang). Lantas, Gendrayana menurunkan Jayabhaya, seorang raja di Kerajaan Kadiri pada Era Keemasan Yang menarik pada silsilah itu Jayabaya dinyatakan sebagai keturunan ke-4 dari Parikesit. Pernyataan itu memberi gambaran mengenai adanya penarikan garis keturunan (geneologis) antara Jayabhaya (penguasa di kerajaan Kadiri) dan Parikesit (raja Hastina di India). Tentu, tak cukup bukti tentang hubungan antara keduanya. Kendati demikian, historiografi tradisional Jawa menganggap terdapat “relasi” antara Kerajaan Kadiri dan Hastinapura. Relasi tersebut terkait dengan “Javanisasi (proses pen-Jawa-an)” yang telah terjadi semenjak masa Majapahit hingga ke masa-masa sesudahnya, dimana hal-hal yang sesungguhnya berada di India dialihlokasikan ke Jawa, dan kejadian-kejadian yang sebenarnya beda masa dicampuradukkan. Dalam konteks ini, kerajaan Hastina yang menghilang di India sejak pemerintahan Gendrayana dinarasikan dalam historiografi tradisional Jawa sebagai terus berlanjut di Jawa, yaitu di kerajaan Kadiri (Dhuha). Demikianlah, acap historiografi tradisional bersifat “anakronis”, sebagaimana misalnya tergambarkan pada “Silsilah Mangiwo” dari raja-raja Tanah Jawa. 
 
Latar Geneologis dan Kelahiran Parikesit 1. Kisah Heroik “Abhimanyu Gugur” Parikesit merupakan putera dari Abhimanyu alias Angkawijaya, yakni kesatria di Plangkawati. Ibunya adalah Dewi Utari, yaitu putri Prabu Matsyapati dengan Dewi Ni Yustinawati dari Kerajaan Wirata. Perkawinan Abhimanyu dan Utari pada susastra Jawa Kuna terkusah dalam kakawin Jawa Kuna “Abhimanyuwuwaha” — suatu judul susastra yang mengingatkan kita pada “Kakawin Arjunawiwaha”, yang mengisahkan menenai perkawinan ayahnya (Arjuna). Bila ditilik dari garis geneologis ayahnya, yakni Abimanyu, dalam dirinya mengalir “darah biru” Dinasti Pandawa. Parikesit boleh dibilang sebagai anggota keluarga Pandawa yang “selamat hidup” pasca perang besar Bharatayuddha. Namun nahas, ayahnya gugur sebagai ksatria sejati di palagan Kurukshetra dalam perang besar tersebut, sebuah perang saudara di lingkungan keluarga Bharattha. Oleh karena itu, pasca perang Bharatthayuddha itu tahta Hastinapura diampu Parikesit, menggantikan piutnya, yaitu Karimataya — abisekanama (nama gelar) dari Yudistira. Sebagai seorang penguasa (baca “raja”), Parikesit disosokkan sebagai seorang ksatria yang berwatak bijaksana, jujur, dan adil. Kepribadian.yang luhur itu justru tumbuh dabbberkembang dalam tantangan (change) hidup yang tidak mudah, hanya dengan asuhan Sang Ibu sebagai orang tua tunggal (single parent). Tantangan hidup telah dihadapi Parikesit sejak lahir. Bahkan, sebelum kelahiran (pra- marital), yakni masih berada di “goa garbha (kandungan)” Ibunya. Parikesit telah berstatus “yatim” sejak di kandungan ibu — bahasa Jawa Baru mengistilahi dengan “bocah lola”, 
yaitu anak yang tumbuh dan berkembang tanpa disertai orang tua kandungnya, yang pada konteks diri Parikesit adalah “lola bapa (tanpa disertai ayah kandungnya), lantaran sang ayah, yakni Abhimanyu, gugur sebagai kusuma nagara ketika janin Parikesit masih berada di dalam kandungan Dewi Utari. Parikesit lahir tanpa keberadaan ayah di kehidupannya. Kisah gugurnya Abhimanyu merupakan kisah yang penting di dalam wiracarita (Sanskerta: महाभारत) karya rakaman Begawan Byasa (Vyasa). Demikian pula diposisikan penting di dalam kakawin Jawa Kuna Bharatthayuddha karya Pu Sedah dan Panuluh di era kerajaan Kadiri. Bersama cerita “gugurnya Gatotkaca”,, kedua kisah itu mengharu-biru para pembacanya, namun sekaligus membanggakan –lantaran kedua Ksatria putra dari anggota keluarga Pandawa itu telah bertindak sebagai “martir”, yang bersedia berlalu altrustik lewat pengabdian berbela nagara. Abhimanyu putra Arjuna dan Gatotkaca putra Bhima dilukiskan pada kedua susastra itu sebagai “sang pahlawan”. Apabila ayahnya, yakni Abhimanyu dipredikati sebagai “sang pahlawan”, maka cukup alasan untuk menyatakan Parikesit sebagai “putra pahlawan” Keksatrian dari Abhimanyu (Dewanagari अभिमन्यु) secara heroik terkisah dalam kitab Mahabharatta, tepatnya di bagian (parwa) Bharattayuddha. Putra Arjuna dan Widyadari Subadra ini telah ditetapkan sebagai calon penerus dari Yudistira, atau pewaris tahta. Namun, Ia keburu gugur di palagan tempur Kurukshetra sebagai salah satu ksatria termuda dari pihak Pandawa – pada usia yang baru 16 tahun, malahan baru saja menikah (bahasa Jawa “manten anyar”) dengan Utari. Dalam mitologi, Abhimanyu alias Parthasuta, Parthātmaja, Saubhadra, ataupun Angkawijaya, Jaka Pengalasan, Jaya Murcita, Sumbadratmaja, Wanudara, Wirabatana ataupun Kirityatmaja adalah inkarnasi Warcasa, yakni putra Dewa Bulan. Arjuna membuat perjanjian dengan Warcasa bahwa putrnya hanya akan tinggal di bhmi dalam waktu16 tahun, dan karenanya Abhimanyu pun tewas dalam usia 16 tahun.. Abimanyu dianggap sebagai seirang kesatria “yang terberani” dari keluarga besar Pandawa, yang telah mengorbankan diri pada peperangan dalam usia yang masih sangat muda.ia turut serta membela ayahnya dalam pertempuran besar selama 18 hari. Sebagai “cucu” Dewa Indra, Abimanyu merupakan ksatria gagah berani dan ganas, kemampuannya setars dengan sang ayah (Arjuna). Walau berusia muda, namun Abhimanyu mampu melawan para kesatria besar di pihak Korawa, tidak terkecuali Drona, Karna, Duryodana, maupun Dursasana. Abhimanyu dipuji atas keberaniannya, dan memiliki rasa setia yang tinggi terhadap ayah, paman, dan sekutunya.

Kekalahan Abhimanyu lantaran kelicikan dari para perwira Korawa, dengan membunuhnya secara kroyokan pada pertempuran hari ke- 13 dalam formasi melingkar (cakrabhyuja). Terhadap formasi tempur ini, Pandawa tidak mempunyai pilihan selain menaruh harapan kepada Abimanyu, yang dikalkulasi memiliki pengetahuan dan ketrampilan perang tentang cara untuk menembus formasi cakrabyuha. Sayang sekali, meskipun mampu menembus formasi itu, namun tidak tahu cara keluar dari dalamnya. Untuk meyakinkan bahwa Abimanyu tidak terperangkap di dalam formasi cakrabyuha utu, maka Pandawa bersaudara dan sekutunya mengawal Abimanyu serta membantu keluar dari formasi cakrabyuja. Abimanyu berhasil menembus Cakrabyuja. Para Pandawa beserta sekutunya mencoba mengikutinya, namun dihadang oleh Jayadrata (raja Sindhu), yang menggunakan anugerah Siwa padanya untuk menahan serangan dari Pandawa.

Setelah tertinggal, makavAbimanyu musti berjuang sendirian menghadapi serangan dari pihak Korawa. Abimanyu berhasil membinasakan beberapa orang kesatria Korawa yang medekatinya, termasuk putra Duryodana, yaitu Laksmana. Demi menyaksikan putra terkasih terbunuh, murkalah Duryodana, dan memerintahkan segenap perwira Korawa, seperti Dursasana, Sangkuni, Aswatama maupun Karna untuk segera membunuh Abimanyu. Tanpa peduli akan aturan perang, sontak mereka menyerang Abimanyu. Setelah tidak berhasil untuk hancurkan baju zirah dari Abimanyu, Karna menghancurkan busur panah Abhimanyu dari arah belakang. Lantas hancurkan kereta perang (ratha)nya; membunuh kusir beserta kuda-kudanya, hingga seluruh senjata Abhimanyu turut terbuang. Namun hebatnya dari Abimanyu adalah mampu untuk bertahan sampai pedangnya patah dan roda kereta yang digunakan sebagai perisai hancur berkeping- keping. Tidak berapa kemudian, Abimanyu dibunuh oleh putra Dursasana dengan cara menghancurkan kepalanya menggunakan gada.


Kisah Kelahiran “Bocah Lola” Parikesit
Kata “lola” didapati dalam bahasa Jawa Baru, yang berarti seorang anak yang tumbuh dan berkembang tanpa disertai oleh salah satu ataupun kedua orang tua kandungnya. Istilah “lola, alola” ataupun “lolita” sebenarnya telah kedapatan di dalam bahasa Jawa Kuna dan Tengahan, yang merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta, namun artinya: tak tenang, gelisah, berlari kesana kemari mari, bergoyang, bergoncang, bergetar, atau rasa rindu (Zoetmulder, 1995:607). Arti demikian lebih menyukai kapada dampak psikologis dari kondisi lola (tak berayah, tak beribu, atau keduanya). Rasa rindu misalnya, acap terjadi pada diri anak yang “lola”. Bgitu pula halnya dengab perasaan gelisah atau tidak tenang, acap menggerakan pada bocah lola. Bahkan, lantaran tak berayah-ibu, bocah lola terobang- ambing sendirian dalam menghadapi gejolak kehidupan.

Mengingat dampak psikoligis pada ” bocah lola” itu, makan segenap agama perintahkan untuk menaruh belas kasih, kepedean atau uluran tangan kepada anak yang berstatus “lola”. Dalam agama Islam, sebutan untuknya adalah : (a) kata “yatim” untuk anak yang “lola ayah”, (b) kata “piatu” untuk anak yang “lola ibu”, serta (c) kata ” yatim-piatu” untuk anak yang “lola ayah dan lola ibu”. Ada status” lola” yang menimpa diri anak setelah beberapa lama kelahirannya, namun ada pula seorang anak yang telah lola sebelum kelahirannya, tepatnya “lola ayah”, karena ayah kandungnya meninggal ketika anak bersangkutan berada di dalam kandungan ibunya. Parikesit adalah salah seorang contoh mengenai anak yang ” lola bapa” sedari dalam kandungan ibunya.
Parikesit “Lola Bapa” Sedari di Kandungan Abimanyu gugur saat istrinya (Utari) sedang hamil tua. Dengan demikian satu-satunya anak Abimanyu, yaitu Parikesit, terlahir setelah kematian dirinya. Keberadaan “satu-satunya” pada dirinya bukanlsh semata karena Parikesit merupakan satu- datunya putra abhimanyu, namun juga merupakan satu- satunya keturunan dinasti pandawa yang masih hidup pasca Perang Bharatayuddha dan pasca perjalan maha berat oleh anggota keluarga besar Pandawa menuju swargga (nirwana) yang pada parwa ke-18, yaitu Swargorohanaparwa, dikisahlkan sebagai pendakian menuju ke puncak Meru (nama arkhais untuk “Himalaya”).

Pada sebelum kelahirannya, Parikesit nyaris tak selamat hidup. Mahabharatta memuat kisah bahwa pada perang Bhatattsyuddha di akhir hari ke-18 Aswatama bertarung dengan Arjuna . Keduamya sama-sama sakti, bahkan sama-sama keluarkan senjata bernama “Brahmāstra”. Oleh karena dicegah oleh Rsi Byasa, maka Aswatama dianjurkan untuk mengarahkan senjata tersebut kepada objek lain. Namun, Aswatama malahan memilih srahkan senjatanya ke kandungan Utari, dan menyebakan terbunuhnya Parikesit yang masih berada dalam kandungan ibunya (Utari). Atas pertolongan dari Kresna, maka Parikesit bisa dihidupkan kembali. Itulah sebab mengapa Aswatama dikutuk kelak bakal mengembara di dunia selama-lamanya.

Demikianlah, sejak masih dalam kandungan ibunya, Parikesit telah menghadapi cobaan berat. Pertama, ayahnya (Abhimanyu) gugur di medan laga. Kedua, dirinya pernah mati, lantaran terkena panah milik Aswatama, namun beruntung dihidupkan kembali oleh Kresna, sehingga keberlanjutan dari Dinasti Pandawa tidak terputus. Tergambar bahwa cobaan demi cobaan — baca “tantangan (changes)” telah dihadapi oleh Psrikesit, sehingga ia terlatih untuk kuat dan mampu dalam menghadapi tantangan hidup, sehingga ia kelak menjadi seorang Ksatria tangguh.

Setelah kelahirannya, Rsi Dhomya menyampaikan ramalannya pada Yudhistira bahwa kelak Parikesit akan menjadi pemuja setia kepada Dewa Wisnu, lantaran ia pernah dihidupkan kembali oleh Bhattara Kresna setelah panah milik Aswatama mengenai janinnya yang ketika itu masih berada di dalam andungann ibunya. Ini adalah salah satu contoh kejadian, dimana Parikesit mendapat perlindungan dari Dewa. Terkait itu, Parikesit mendapat sebutan diri sebagai “Vishurata”, yakni orang yang selalu mendapat perlindungan Dewata. Selain itu, Rsi Dhomya meramalkan bahwa kelah Parikesit akan menjadi orang yang mencurahkan kebajikan, ajaran agama maupun kebenaran. Kala menjadi seorang pemimpin, Parikesit menjadi seorang pemimpin yang bijaksana, sehingga membawa kemasyhuran bagi keluarganya. Sebagaimama anak-snak lain yang terlahir dalam kondisi “lola ayah”, secara psikologis Parikesit pun mengalami keresahan, bahkan kegoncangan perasaan. Berkat upaya untuk melatih dirinya menghadapi tantangan atau goncangan jiwa, maka membuahkan pribadi yang mampu menstabilkan dirinya dan tidak panik (tenang) di dalam menghadapi cobaan atau tantangan.

Ksatriabhakti Abhimamyu Bhakti Ksatria merupakan perilaku luhur pada etika kehidupan ksatria. Seorang ksatria barulah dapat disebut sebagai “ksatria” sejati apabila bersedia untuk mengabdikan diri (mabhakti) kepada nagari, bahkan rela nengorbankan jiwa dan raganya untuk kesentausaan serta kejayaan negeri. Bhakti nagari yang disertai dengan kesedian untuk mati dinamai “bela nagari” atau “labuh nagari”. Dalam episode Sejarah Perjuangan Kemerdekaan, yaitu pada era Pendudukan Jepang, pengorbanan yang demikian diistilahi dengan “Pembela Tanah Air (PETA).

Diantara para ksatria yang dikisahkan dalam kitab Mahabharatta, Abhimamyu layak mendapatkan predikat sebagai sosok ksatria yang riil melakukan ” dhamma ksatria” atau “ksatriabhakti”, menjalankan “labuh nagari” atau “bela nagari”. Abhimamyu gugur sebagai kusuma nagari dalam usia yamg masih muda. Bahkan, tidak sempat untuk mengenyam kesempatan sebagai “bapa (ayah)” untuk putra pertamanya, yaitu Parikesit. Lantaran, ketika gugur di medan perang besar “bharattayuddha”, buah cinta-kasihnya dengan Uttari itu masih berada di dalam kandungan bundanya. Abhimamyu adalah seorang teladan tentang “ksatria sejati”.